Semarang (ANTARA News) - Debat kedua, Minggu (17/2), yang akan menampilkan dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, seyogianya menawarkan solusi ketika menyampaikan visi, misi, dan program kerja mereka.

Keduanya perlu menawarkan suatu skema kebijakan yang konkret untuk mengatasi persoalan energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur yang akan menjadi tema debat tersebut.

Publik, khususnya calon pemilih, kata dosen Komunikasi Politik STIKOM Semarang Suryanto, bakal menilai di antara kedua peserta debat itu yang pantas menjadi Presiden RI periode 2019 sampai dengan 2024.

Suryanto berharap Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam debat tersebut menawarkan skema kebijakan alternatif yang jitu untuk mengatasi fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM) pada masa mendatang. Hal ini di luar skema pemberian subsidi.

Khusus terkait dengan BBM ini, menjelang debat capres kurang 7 hari, tepatnya pada tanggal 10 Februari 2019, PT Pertamina mengumumkan pemberlakuan harga baru.

Harga BBM umum untuk wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten jenis pertamax turbo semula Rp12 ribu menjadi Rp11.200,00 per liter.

Selanjutnya, BBM jenis pertamax dari Rp10.200,00 menjadi Rp9.850,00/liter, dexlite dari Rp10.300,00 menjadi Rp10.200,00/liter, dan dex semula Rp11.750,00 disesuaikan menjadi Rp11.700,00.

Sementara itu, harga BBM jenis pertalite tetap Rp7.650,00/liter, sedangkan premium Rp6.450,00/liter (harganya sama dengan di luar Jawa, Madura, Bali).

Terkait dengan tema pangan, menurut Suryanto, pesan akan mengena bila peserta debat capres menawarkan suatu skema kebijakan yang konkret untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan yang sampai saat ini masih banyak yang impor.

Debat sejatinya menampilkan pertautan komitmen politik antara pemilih dan pasangan calon presiden/wakil presiden. Namun, pada debat pertama, 17 Januari lalu, dia menilai makin jauh dari harapan.

Suryanto menilai pada debat pertama pasangan calon masih berkutat pada masalah yang dangkal dengan gagasan, penyampaian tidak substansial, mengada-ada, dan superartifisial (tidak alami).

Oleh karena itu, debat capres pada hari Minggu harus diisi dengan hal-hal positif, tidak politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau politik olok-olok yang merupakan bagian dari potret perpecahan lebih besar.

Setiap pasangan calon maupun tim kampanyenya harus mengembangkan komunikasi politik yang lebih cerdas dan kreatif dengan menawarkan program jelas dan berkontribusi bagi pencerdasan publik pemilih.

Bukan malah lebih banyak permainan kata-kata, nyinyir, dan berebut ruang publik yang sensasional yang tidak bermanfaat, kata Suryanto.



Lingkungan Hidup

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti sektor pangan dan lingkungan hidup. Bahkan, ICW telah melakukan pemantauan terhadap sektor pangan dan lingkungan hidup.

Hasil pemantauan menunjukkan adanya indikasi kerugian negara dan transaksi tidak dilaporkan dalam jumlah yang signifikan. Pasangan calon peserta Pilpres 2019 mesti menanggapinya dengan serius.

Dalam surat elektroniknya tertanggal 15 Februari 2019, ICW memandang perlu ada kecermatan untuk menengok isu pangan, lingkungan hidup, energi, dan infrastruktur yang menjadi tema debat yang menampilkan dua capres tersebut.

Firdaus Ilyas, Egi Primayogha, dan Mouna Wasef dari Divisi Riset Indonesia Corruption Watch menyatakan bahwa ICW rutin melakukan pemantauan terhadap keseluruh sektor tersebut. Pada saat ini, pemantauan berfokus pada sektor pangan, energi, dan lingkungan hidup.

Menurut mereka, adanya indikasi transaksi tidak dilaporkan ditemukan dalam pengelolaan impor pangan Indonesia, yaitu beras, jagung, kedelai, dan daging.

Bahkan, nilai transaksi yang tidak dilaporkan mencapai 1,451 miliar dolar Amerika Serikat (setara dengan Rp20,324 triliun). Ini didapat dari besar volume yang terindikasi tidak dilaporkan sebesar 2.743.296 ton.

Selama 2005 sampai dengan 2017, volume impor menurut data versi pemerintah (Badan Pusat Statistik) sebanyak 56.593.711 ton. Sementara itu, menurut negara, penjual volumenya sebanyak 59.337.007 ton.

Indikasi kerugian negara ditemukan dalam pengelolaan ekspor komoditas tambang, yaitu batu bara, timah, dan bijih nikel.

Dalam kurun waktu 2007 s.d. 2017, nilai indikasi kerugian negara dari tiga jenis tambang tersebut mencapai Rp144,762 triliun. Perinciannya, batu bara Rp130,334 triliun, timah Rp7,635 triliun, dan bijih nikel Rp6,793 triliun.



Akibat Ketidakjelasan

Masalah-masalah itu, menurut ICW, terjadi akibat ketidakjelasan visi dan cita-cita pemerintah dalam pengelolaan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur.

Terdapat ketidakjelasan dari segi perencanaan dan inkonsistensi kebijakan sehingga menciptakan loophole di regulasi dan kelembagaan. Pada sisi lain, ketergantungan terhadap sumber daya alam untuk dijadikan sumber penerimaan juga masih tinggi.

Koordinasi antarinstansi pemerintah yang berwenang juga dapat dikatakan buruk. Menurut ICW, terdapat ragam jenis data berbeda yang digunakan masing-masing instansi.

Biaya produksi pun tinggi, terutama untuk pangan dan energi sehingga memunculkan hal-hal seperti inefisiensi, rantai nilai panjang, dan budaya broker.

Masalah-masalah lain juga berbaris untuk diselesaikan. Pengawasan dan penegakan hukum terkait dengan pengelolaan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur dinilai ICW sangat buruk.

Transparansi dan akuntabilitas lemah, bisnis hanya dikuasai oleh segelintir elite. Dampaknya manfaat untuk publik seluas-luasnya tidak dirasakan. Penerimaan negara rendah, dan indikasi penyimpangan dan korupsi akan terus ditemukan.

Kondisi tersebut harus direspons serius oleh dua capres. Siapa pun yang terpilih harus melakukan perbaikan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Selama ini, lingkungan hidup tidak pernah diperhatikan secara serius sehingga berdampak semakin buruk pada kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan kesehatan warga.

ICW memandang perlu ada paradigma berpikir yang mementingkan generasi mendatang. Selain itu, perlu ada inovasi dan komitmen dari kedua kandidat untuk menuntaskan permasalahan.

Oleh karena itu, pemilihan umum (pemilu) presiden harus menjadi ajang koreksi untuk permasalahan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur.*


Baca juga: Isu lingkungan diprediksi "tenggelam" dalam Debat Capres

Baca juga: Debat capres dan pembangunan kelautan-perikanan


 

Pewarta: Kliwon
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019