- (ANTARA) - Mungkin orang awam mengira tidak ada kehidupan beragama di negara komunis seperti China.

Padahal ideologi negara tidak bisa serta-merta meniadakan agama dalam kehidupan sosial bangsanya. Meski dalam praktiknya, tentu saja warga tidak se-leluasa menjalankan peribadatan seperti halnya di negara demokrasi.

Namun setidaknya keberadaan masjid, gereja dan vihara di negeri tirai bambu itu, cukuplah menjadi bukti bahwa masih ada tanda-tanda kehidupan beragama di negara komunis tersebut.

Konstitusi Republik Rakyat China menyatakan bahwa rakyatnya menikmati kebebasan beragama dan melarang diskriminasi berdasarkan keagamaan serta melarang organ negara, organisasi publik atau individu mengharuskan atau melarang orang-orang untuk menganut agama tertentu.

“Konstitusi menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama dan kepercayaannya, termasuk kebebasan tidak beragama,” demikian ditegaskan wakil presiden Asosiasi Islam China di Beijing Abdul Amin Jin Rubin saat menerima kunjungan delegasi ASEAN Elites China Tour 2019, pada Febuari.

Penegasan yang sama juga disampaikan Wakil Menteri Departemen Publisitas Pusat China Jiang Jianguo. Kepada para awak media dari Indonesia dan Malaysia itu ia meyakinkan bahwa Pemerintah China membebaskan masyarakat dengan beragam agama hidup berdampingan, mereka bebas menjalankan agama atau aliran kepercayaan.

Ketika ANTARA berkunjung ke Provinsi otonomi Xinjiang bersama rombongan tersebut, hal senada terlontar dari pernyataan Presiden Xinjiang Islamic Institute Abdurikif Tumunyaz. Bahkan para imam di sejumlah masjid di kawasan Xinjiang yang dikunjungi delegasi  memberikan keterangan yang seragam mengenai bagaimana Pemerintah China menjamin kehidupan beragama bagi warganya.

Untuk membuktikan adanya kebebasan beragama utamanya bagi kaum muslim, delegasi yang diundang atas prakarsa Grup Penerbit Internasional China (CIPG) dibawa berkunjung ke sejumlah masjid baik di Beijing maupun di wilayah Pemerintah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).

Di Beijing, terdapat 71 masjid dengan jumlah muslim sekitar 260 ribu orang dari total 23 juta muslim di China yang tersebar di berbagai daerah dengan konsentrasi terbesar di Xinjiang, Ningxia, Gansu dan Qinghai. Sedangkan jumlah imam di Beijing ada 150 orang.

Di ibu kota China, delegasi berkunjung ke Masjid Dongsi, salah satu masjid tertua khas dinasti Ming yang berumur 800 tahun.Nama Dongsi diambil dari lokasi keberadaannya di Distrik Dongcheng, masjid yang juga menjadi tempat lahirnya Akademi Islam China pertama itu.

Berada di atas lahan 10.000 meter persegi, Masjid Dongsi juga dilengkapi ruang perpustakaan yang menyimpan berbagai manuskrip kuno. Ada Alquran tulis tangan yang dibuat sejak Dinasti Ming (1368-1644). Di perpustakaan Fuad itu terdapat juga buku Guide of The Islamic warisan Dinasti Qing (1644-1911), Tafsir Baidowi, buku-buku fiqih serta pahatan ayat Alquran di atas batu.

 

Suasana di halaman Masjid Dongsi ((ANTARA/Siti Zulaikha))
 

Melawat ke Xinjiang

Xinjiang, merupakan provinsi terunik di wilayah kekuasaan Republik Rakyat China. Secara kasat mata saja, paras penduduknya paling berbeda dari rakyat China pada umumnya. Warga Xinjiang rata-rata berparas perpaduan antara Eropa dan Timur Tengah. Kenyataan itu bisa dipahami, karena 45,84% penghuni wilayah otonomi Xinjiang adalah etnis Uighur yang serumpun dengan bangsa Turki dan bermigrasi dari Barat Laut Mongolia.

Begitu menjejakkan kaki di tanah Xinjiang, akan tertangkap suasana ke arab-araban. Papan petunjuk jalan menggunakan aksara Uighur berpadu dengan Hanzi yang abjadnya mirip huruf Arab. Sebagian besar bangunan mulai dari kantor pemerintahan, apartemen, hotel, sekolah dan rumah makan bergaya Timur Tengah. Meski logo palu arit sebagai lambang Partai Komunis China juga bertebaran, berbaur dengan ornamen kubah warna hijau dan kuning emas yang melambangkan budaya Islam. Perpaduan yang unik. Nuansa Islami di wilayah negara komunis.

Di Xinjiang ada 24.200 masjid dari 24.400 tempat ibadah yang berada di kawasan otonomi setingkat provinsi itu. Dari sekian banyak masjid itu delegasi ASEAN berkesempatan mengunjungi beberapa di antaranya. Pertama masjid di kompleks Kampus Institut Islam yang terletak di Distrik Toutunhe, barat laut Urumqi. Kemudian di Kota Kashgar, delegasi mengunjungi masjid Heytgah dan masjid di daerah perdesaan di Shufu serta Moyu di Hotan.

Dari kesemua masjid itu, ada suasana yang sama yakni sunyi layaknya museum. Setiap pengunjung yang datang, bukannya melepas alas kaki lalu berwudhu seperti lazimnya tempat ibadah muslim di tanah air, melainkan menjejakkan kaki ke mesin untuk membaluti sepatu dengan lapisan plastik agar tidak mengotori karpet ketika berjalan di ruangan masjid, tidak juga dijumpai jamaah yang beribadah di dalam masjid. Tidak juga ada suara adzan berkumandang.

Menurut para imam yang memimpin masjid-masjid itu, memang masjid hanya ramai di hari Jumat atau hari-hari besar Islam seperti hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada bulan Ramadhan, pemerintah setempat memasok makanan dan minuman untuk keperluan jamaah berbuka dan sahur.

Sementara suasana masjid pada umumnya sepi, padahal aturan di negara ini melarang warga menjalankan ritual ibadah di ruangan non-keagamaan. Semisal pemeluk Islam tidak boleh menjalankan sholat di ruang publik termasuk di sekolah dan tempat kerja. Larangan yang sama berlaku untuk pemeluk agama lain.

Terlepas dari aturan dan larangan itu, di Xinjiang dari beberapa muslim yang ANTARA temui di kediamannya mereka mengaku tidak sepenuhnya menunaikan sholat lima waktu. Termasuk muslim yang tengah mengikuti program pendidikan di kamp vokasi akibat tuduhan aksi ekstremisme.

Namun setiap kali ANTARA bersua dengan warga muslim Uighur di Kashi, Shufu dan di perdesaan Moyu – Hotan, perjumpaan sesama saudara seiman itu sungguh menghadirkan suasana haru-biru. Sapaan “Assalamu’alaikum” saja kontan membuat air mata mereka berjatuhan.

Kelas menari di Kamp Vokasi Shule County. (ANTARA/Siti Zulaikha) (ANTARA/Siti Zulaikha)
 

Kenapa Xinjiang bergolak?

Agak sulit dipercaya jika warga Xinjiang yang rata-rata rupawan itu gemar melakukan kekerasan apalagi sampai aksi terorisme mengingat di setiap lokasi kunjungan delegasi ASEAN mereka selalu menampilkan tarian dan nyanyian tradisional mereka.

Dalam setiap jamuan makan, tak pernah lupa diiringi oleh tari-tarian khas Uighur dan Kyrgyz. Menyanyi dan menari seolah sudah mendarah daging bagi sebagian besar warga Xinjiang. Kegiatan yang memasok suasana gembira, bahkan hingga larut.

Sebuah kesan yang sangat bertolak belakang dengan apa yang diperoleh para delegasi saat mengunjungi Xinjiang Expo yang menampilkan pameran antiterorisme dan ekstremisme.

Dokumentasi berupa foto, video dan barang bukti senjata serta bahan-bahan peledak dipertontonkan di gedung itu. Dokumentasi itu adalah rangkuman dari 2000an aksi kekerasan dalam kurun tahun 1992 hingga 2015. Ruangan itu menjadi begitu horor karena dipenuhi gambar-gambar yang menyeramkan, antara lain situasi pascaledakan bom yang menampilkan korban bersimbah darah, potongan tubuh, penggorokan leher seorang imam masjid, peledakan bus yang memperlihatkan korban gosong terbakar dan lain sebagainya.

Pemerintah Xinjiang menjadikan pameran antiteror sebagai publisitas program melawan ekstremisme, separatisme dan terorisme. Yang mengganggu pikiran adalah, benarkah para pelaku teror itu warga Xinjiang yang dalam kesehariannya merdu dalam menyanyi dan gemulai dalam tarian nan rancak?

Pemerintah China menganggap rangkaian gerakan separatisme di wilayah paling barat China itu berorientasi untuk mendirikan negara Islam di Xinjiang. Presiden Institut Islam Xinjiang Abdurikif Tumunyaz menyebut, sikap ekstrem beragama merasuki kehidupan warga akibat pengaruh dari luar.

“Kekuatan ekstrem mengarahkan warga Uighur ke jalur yang salah. Tujuannya agar warga melawan pemerintah, kemudian memisahkan kawasan (Xinjiang) dari China,” ujar Abdurikif.

Sikap melawan pemerintah itu dia contohkan melalui kampanye kelompok ekstremis agar warga tidak mau tinggal di permukiman yang dibangun pemerintah dan tidak juga menggunakan jalan yang dibangun pemerintah.

“Mereka menyarankan orang harus merobek semua dokumen resmi yang diberikan pemerintah termasuk kartu identitas, sertifikat nikah dan surat domisili rumah,” terangnya. Menurut mullah yang telah belajar agama di Universitas Al Azhar Kairo Mesir itu, tiga ancaman yaitu separtisme, ekstremisme dan terorisme berasal dari luar tapi punya akar dan pengikut di kawasan Xinjiang.


 

Baca juga: Kamp vokasi: cara China merangkul Xinjiang

Baca juga: Beijing undang diplomat EU kunjungi Xinjiang

Baca juga: Menyibak gelap lorong Kamp Vokasi Uighur Xinjiang (bagian 1)

Baca juga: Menyibak gelap lorong Kamp Vokasi Uighur Xinjiang (Bagian 2 - Habis)


Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019