Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perhubungan mengkaji penggunaan satelit nano untuk mendukung sektor perhubungan mulai dari darat, laut dan udara.

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub) Rosita Sinaga dalam FGD mengenai satelit nano di Jakarta, Jumat, mengatakan pihaknya akan membuat tim kecil untuk mengkaji implementasi teknologi satelit nano bagi bidang perhubungan.

"Karena manfaatnya, kita perlu diskusi lebih lanjut. Kita akan buat tim kecil agar ini bisa diimplementasikan," katanya.

Ide mengenai penggunaan satelit nano di bidang perhubungan muncul dari pemenang Transhub Challenge, Mata Garuda. Perusahaan rintisan (startup) digital itu memiliki konsep untuk membangun satelit nano sehingga dapat menyediakan jaringan Internet of Things (IoT) yang terintegrasi secara masif.

Khusus di bidang transportasi, jaringan IoT akan dapat memberikan data mengenai posisi pesawat, hingga titik kemacetan di jalan raya secara "real time".

Chief of Technology Officer (CTO) Mata Garuda William Tansil menjelaskan penggunaan layanan yang startup itu kerjakan akan meliputi pemantauan hingga bisa untuk penyediaan akses internet dengan tambahan perangkat sensor khusus.

"Contoh pesawat mengirim sinyal untuk memberitahu posisi mereka. Dengan satelit nano, sinyal itu bisa tertangkap dan dari satelit itu nanti dikirim informasinya sehingga bisa kelihatan real time posisi pesawat ada di mana," jelas William.

Untuk mengimplementasikan konsep tersebut, Mata Garuda akan bekerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan sejumlah pemangku kepentingan terkait termasuk Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Airnav.

"Harapannya semoga Indonesia bisa memiliki satelit sendiri yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan salah satunya di bidang transportasi dan mungkin bisa dikembangkan di bidang IoT sehingga harga komunikasi bisa semakin murah atau bahkan gratis," kata William.

Kepala Bidang Diseminasi Lapan Wahyudi Hasbi mengatakan potensi pengembangan satelit nano sangat besar di masa depan. Satelit nano yang berukuran kecil, sekitar 10x10 cm dengan berat 1-10 kg membuat harganya jauh lebih murah.

"Satelit kecil begini dengan teknologi baru kini umurnya bisa sampai 7 tahun sehingga lebih efisien dan ekonomis. Satelit nano juga bisa di-'customized' sehingga penggunaannya bisa lebih spesifik," jelasnya.

Selain itu, pangsa pasar satelit nano juga disebutnya cukup besar karena hampir setiap tiga bulan ada peluncuran satelit nano baru di berbagai negara. Satelit nano, lanjut Wahyudi, juga sangat cocok untuk penyediaan layanan data dan IoT.

"Makanya saat ini banyak startup muncul dengan ide seperti ini. Tapi di Indonesia mungkin baru ini startupnya. Kemudian ada satu lagi di Surya University yang akan meluncurkan satelit nano mereka pada Desember 2019 mendatang," jelasnya.

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno berharap teknologi satelit nano bisa diaplikasikan untuk membantu pemerintah mengatur angkutan dengan muatan berlebihan (over dimension overload/ODOL).

"'Tracking' (pelacakan) mungkin bisa ya. Tapi apa mungkin bisa juga dengan satelit ini terpantau dimensi atau muatan mereka sehingga tidak perlu melewati jembatan timbang. Kalau bisa, ini tentu akan sangat bagus untuk dikembangkan," katanya.

Penggunaan satelit nano juga diharapkan bisa digunakan untuk pelintasan sebidang kereta api hingga untuk mengurangi kecelakaan kapal laut.

Baca juga: Kemenhub libatkan milenial dalam penelitian transportasi
Baca juga: Menhub ingin Balitbang fokus ke pengembangan regulasi


Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019