... menjadi penerbang tempur itu tentunya lebih berat, perlu intelijensi, fisik, kemampuan, dan lain sebagainya. Tadi saya dinaikkan sampai 4G. Wah, begitu berat sekali...
Jakarta (ANTARA) - Jumat pagi itu (5/4), lima Sukhoi Su-30 Flanker dari Skuadron Udara 11 TNI AU bersiap di apron VIP Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta. Semburan udara panas mesin-mesin berukuran besar Saturn AL-1 dari vectoring thrust nozzle-nya memberi pemandangan tersendiri karena pemuaian udaranya. Jangan lagi dibilang suara melengking tinggi memekakkan telinganya pesawat tempur kursi ganda itu.

Dalam nomenklatur penerbangan tempur dunia, Sukhoi Su-27/30 Flanker dan turunan atau pengembangannya termasuk dalam heavy fighter, bermesin ganda dengan kecepatan di angka 2,5 Mach dan jarak jelajah sekitar 3.000 mil laut dan terbang pada ketinggian maksimal sekitar 55.000 kaki dari permukaan laut. Yang diakui unik dari Sukhoi Su-27/30 Flanker ini adalah rancang bangun aerodinamika dan kekuatan strukturnya sehingga dia mampu terbang dengan manuver aneh-aneh, dengan manusia pengawak sebagai pembatasnya.

Secara azazi, jajaran Sukhoi Su-27/30 dari Skuadron Udara 11 yang bermarkas di Pangkalan Udara Hassanudin, Makassar, ini adalah untuk pencegat dan penguasaan superioritas udara. Jadi, lawan yang sepantar dengan dia juga harusnya bukan sekedar pesawat tempur pancar gas di generasi di bawahnya, karena nilai strategis yang dia miliki.

Para penerbang tempur TNI AU yang mengawaki dia juga dipersiapkan untuk misi-misi pamungkas seperti itu, dengan tuntutan kemampuan fisik, psikologi, intelijensia, loyalitas tinggi pada negara, dan kemahiran bermanuver di udara secara taktik dan strategis, pun secara terintegrasi dengan sistem pertahanan lain TNI AU dan TNI secara keseluruhan.

Akan tetapi, pada Jum’at itu, para penerbang tempurnya serta teknisi dan unit pendukung tengah menyiapkan “operasi” yang berbeda, yaitu menerbangkan tiga kepala staf matra TNI dalam suatu penerbangan khusus. Misi itu adalah dalam rangka memberi wing penerbang kehormatan kepada Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Andika Perkasa, dan Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Siwi S Adjie. Adapun Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Yuyu Sutisna, menjadi tuan rumah yang juga terbang dalam flight istimewa itu.

Sutisna, sesudah menyelesaikan penerbangan selama 30 menit itu, kepada wartawan, menyatakan, misi itu adalah, “Sebagai penghargaan kepada pejabat tertentu atas jasa-jasa dan kerja sama, sebagai ucapan terima kasih dari TNI AU kepada TNI AD dan TNI AL, dalam hal ini kepada kepala staf TNI AD dan kepala staf TNI AL atas kerja samanya yang selama ini dilaksanakan membantu TNI AU dalam segala bidang. Kita ketahui, kerja sama dengan TNI AD dan TNI AL di bidang pendidikan, latihan, dan operasi adalah sangat solid, sehingga sebagai ucapan terima kasih.”

“Karena itulah kami memberi kehormatan berupa wing penerbang kelas satu kehormatan, suatu kelas penerbang paling tinggi di dalam TNI AU. semoga kita bisa bekerja sama semakin erat dan solid lagi,” kata dia.

Adapun kehadiran Sukhoi Su-30 Flanker di Jakarta itu, kata dia, karena mereka sedang dalam misi operasi tempur pengamanan ibu kota negara. Menjamin kekuatan payung udara dari serbuan udara pihak lawan di obyek-obyek vital negara —Jakarta sebagai ibu kota negara masuk dalam klasifikasi ini— adalah juga salah satu tugas pokok TNI AU.

“Lagi pula kedua kepala staf ini ada di tempat, maka kami acarakan pemberian wing penerbang kehormatan ini,” kata dia. Wing penerbang kehormatan yang diberikan kepada Perkasa dan Adjie juga dari kelas paling utama, yaitu wing penerbang kelas 1 kehormatan, kelas yang paling tinggi.

Setelah tiba di ruang tunggu VIP Suma 1 Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, ketiga pucuk pimpinan ketiga matra TNI itu berganti kostum, memakai cover-all penerbang warna hijau olive dengan insignia dan brevet-brevet yang telah mereka miliki selama ini. Di dalam ruangan yang telah ditentukan, mereka mendapatkan briefing tentang hal-hal yang bisa mereka hadapi di udara, hal-hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan, yang tidak boleh dan boleh dilakukan, dan lain-lain.

Termasuk adalah penjelasan manuver-manuver yang akan mereka alami selama 30 menit di dalam kursi belakang (back seat) Sukhoi Su-30 Flanker itu. Yang tidak kalah penting adalah pemeriksaan kondisi terakhir kesehatan mereka, di antaranya memastikan indikator utama kesehatan dan kondisi fisik mereka ada pada keadaan optimal, di antaranya tekanan darah dan denyut jantung.

Namanya saja pesawat tempur strategis-taktis, mereka dirancang untuk tidak “terbang manis” seperti pesawat terbang komersial umum, melainkan bisa dikendalikan dalam manuver paling liar yang mungkin bisa dilakukan secara sengaja. Tiba-tiba terbang terbalik, menukik tajam sambil berputar dan berbelok, menanjak pada sumbu aksis tegak lurus ke udara, dan lain sebagainya; manusia pengawak harus bisa tetap punya kesadaran (consciousness) semaksimal mungkin. Jelas bukan hal remeh, bukan seperti di film-film.

Karena itulah pilot pengawak dan pengawak kedua di bangku belakang (bisa kopilot atau spesialis misi) harus mampu beradaptasi pada keadaan itu. Salah satu instrumen untuk membantu manusia pengawak mampu melakukan itu semua adalah G-suit yang bentuknya seperti ban pinggang besar dan celana kedua di luar cover-all, yang dihubungkan dengan selang khusus untuk meniupkan atau mengeluarkan udara ke instrumen itu.

Teorinya sederhana saja, saat penerbang terkena gaya G (gravitasi) positif maka darah akan mengalir dari bagian atas tubuh ke kaki, dan pembuluh darah bisa pecah sementara suplai darah di otak berkurang drastis serta jantung terbeban berat secara tiba-tiba. Saat itulah G-suit bekerja dengan menekan bagian kaki sesuai besaran gaya G yang menimpa mereka.

Gaya sebesar 1G adalah pada keadaan di mana tubuh menerima tekanan sebesar bobot badannya sendiri, demikian seterusnya pada angka G yang semakin bertambah. Jadi, jika tubuh menerima 9G maka dia menerima beban seberat sembilan kali berat badannya. Akan amat sangat sulit sekedar untuk mengangkat tangan sendiri pada keadaan itu.

Sebaliknya, jika gaya G yang menimpa pilot-kopilot adalah G negatif —misalnya saat manuver menukik tajam dari ketinggian terjadi dalam kecepatan tinggi— maka G-suit tidak akan bekerja. Untuk mengantisipasi kedua kondisi yang bisa menghilangkan kesadaran penerbang, mereka juga dilatihkan teknik pernafasan khusus guna mengurangi dampak paparan gaya G itu.

Setelah mendapatkan briefing, ketiga perwira tinggi bintang empat itu berjalan dalam derap langkah yang sama menuju titik persiapan di dekat ketiga Sukhoi Su-30 yang disiapkan dengan dua Su-30 sebagai cadangan. Ketiga Su-30 Flanker itu sudah diimbuhi empat bintang sesuai warna matra masing-masing pimpinan puncak matra TNI itu.

Sesuai pembagian, Sutisna ada di bangku belakang Sukhoi Su-30 bernomor registrasi 3009 yang dikemudikan Letnan Kolonel Penerbang Wanda Russel Surijohansyah, yang adalah komandan Skuadron Udara 11, Perkasa ada dalam kursi belakang Sukhoi Su-30 yang dipiloti Mayor Penerbang I Gusti Ngurah Sorgalaksana (kepala Subdinas Keselamatan Terbang dan Kerja Wing 5), dan Adjie di Sukhoi Su-30 yang dipiloti Mayor Penerbang Bambang Baskoro Adi.

“Kami akan terbang dalam formasi di ketinggian 18.000 kaki dari permukaan laut, di atas Pelabuhan Ratu, Sukabumi selatan. Ada empat sampai lima manuver akan kami laksanakan sesuai dengan keadaan,” kata Surijohansyah, yang menjadi komandan misi penerbangan kehormatan itu. Di atas wilayah itu memang sudah ditetapkan sebagai arena penerbangan uji.

Setelah menaiki tangga dan duduk di kursi masing-masing, helm dikenakan, dan tanda menyingkirkan penahan ban dilepas diberikan marshall, satu demi satu Sukhoi Su-30 Thunder flight itu meninggalkan apron menuju landas pacu dengan azimuth 270-90 itu.

Untuk kemudian, satu demi satu Thunder flight lepas landas secara mulus hingga 30 menit kemudian.

“Kesan saya di udara, menjadi penerbang tempur itu tentunya lebih berat, perlu intelijensi, fisik, kemampuan, dan lain sebagainya. Tadi saya dinaikkan sampai 4G. Wah, begitu berat sekali,” kata Adjie setelah mendarat.

Oleh sebab itu, kata dia, dengan mengetahui kondisi pesawat tempur kita dan kemampuan para penerbang kita, kita bisa semakin merasakan kecintaan kepada semua matra TNI yang ada. “Manuver yang paling berkesan itu ya manuver yang sampai 4G itu. mau dinaikkan sampai lebih tadi, tapi ya sudah cukup,” kata dia.

Kesan Perkasa berbeda lagi. “Tadi sepertinya manuver itu cuma 2G. 2G saja rasanya kesadaran agak hilang, jadi dari situ saya lihat KASAU naik sampai 4G, saya katakan, waah… KASAU ini luar biasa. dari situ saya bisa semakin menghargai, karena 2G saja kesadaran rasanya hilang, sementara para penerbang tempur kita pastilah luar biasa. Kita patut bangga,” kata dia.

Ditanya soal airmanship di antara ketiga matra karena TNI AL dan TNI AD memiliki Pusat Penerbangan TNI AL dan Pusat Penerbangan TNI AD, dia berkata, “Karena kami masih baru, maka pastilah kami harus lebih banyak belajarlah dari teman-teman penerbang di TNI AU. Pengalaman mereka yang sudah lama dan jenis pesawat terbangnya yang lebih beragam dan lebih canggih, jauh lebih cepat, jadi harus lebih banyak belajar.”

Adjie berpendapat bahwa ke depan rasanya perlu dikembangkan suatu kolaborasi pendidikan, latihan, operasi dan perawatan di bidang sayap udara ini matra-matra TNI.

Sebagai penutup, Sutisna menyatakan, “Saya sangat menghormati dan sangat salut kepada para kepala staf matra TNI ini, yang baru sekali terbang sudah mampu menghadapi 2G dan 4G. Karena perlu latihan dan penyesuaian. ini sebetulnya, bukan karena lemah atau tidak; melainkan karena kebiasaan saja.”

“Mereka (pilot tempur) jika berlatih di udara bisa sampai 9G tapi mereka ada latihannya setiap tahun di human centrifuge. Jadi semua itu karena latihan, maka itulah tentara itu perlu latihan yang rutin.”

Selepas itu, upacara penyematan wing penerbang kelas 1 kehormatan dilaksanakan. Wing penerbang dengan logo pesawat tempur Sukhoi Su-30 dan nama serta jabatan penerimanya resmi dan sah menempel di dada kiri penerimanya.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019