Jakarta (ANTARA) - Sangat menyedihkan melihat fakta konsumsi rokok di Indonesia saat ini di mana prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun melonjak hingga mencapai 9,1 persen pada 2018 dari 7,2 persen pada 2013 (Riskesdas, 2018).

Angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik dan juga tertinggi dalam sejarah Indonesia.

Saat ini, perilaku merokok masih menjadi salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan manusia di Indonesia karena rokok berdampak pada berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan, ekonomi, dan pendidikan.

Selain itu, melepaskan diri dari jeratan candu nikotin yang terkandung di dalam rokok bukanlah hal yang mudah. Hal ini akan menghambat penurunan prevalensi merokok di Indonesia dan menjadi ancaman nyata terhadap Indonesia, terutama pada anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa.

Indonesia telah menargetkan untuk mencapai “Generasi Emas” pada 2045, karena pada tahun tersebut diperkirakan akan menjadi puncak bonus demografi bangsa ini. Bonus demografi adalah kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif lebih banyak daripada yang nonproduktif. Sayangnya, bonus demografi terancam akan menjadi bumerang apabila konsumsi rokok di Indonesia tidak dikendalikan secara optimal.

Pemberdayaan anak-anak dan pemuda secara optimal merupakan suatu peluang bagi Indonesia untuk dapat tumbuh dengan pesat dan optimal. Namun, yang terjadi saat ini justru anak-anak dan pemuda berada di bawah bayang-bayang jerat industri rokok.

Oleh karena itu, kita harus berupaya seoptimal mungkin agar industri rokok tidak memiliki celah sedikit pun untuk merusak generasi muda.

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam memerangi dampak buruk akibat perilaku merokok masih dipertanyakan, karena hingga saat ini masih enggan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Padahal, jika saja Indonesia berani untuk berkomitmen melalui FCTC, maka kebijakan-kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia akan lebih kuat, sehingga upaya pengendalian tembakau dapat lebih efektif.

Dengan upaya-upaya yang efektif, kita dapat mengatasi pertumbuhan perokok anak yang semakin tinggi. Salah satu contoh negara lain yang juga berada di kawasan Asia Tenggara, yaitu Thailand, telah melakukan upaya besar untuk mengendalikan konsumsi rokok pada anak. Upaya yang dilakukan, yaitu melalui pendekatan politik dan teknis untuk menaikkan cukai produk tembakau serta menandatangani FCTC.

Harga rokok di Thailand sudah tergolong mahal, yaitu Rp26.394 untuk rokok biasa, Rp40.401 untuk rokok medium, dan Rp53.868 untuk rokok premium. Dengan harga yang mahal tersebut, anak-anak tidak akan mudah menjangkau rokok sehingga jumlah konsumsi rokok pada anak-anak dapat diturunkan.

Selain itu, Thailand juga merupakan negara yang secara tegas dan berani menerapkan larangan merokok pada seluruh area dalam ruangan, termasuk di tempat-tempat publik dan juga sudah tidak menyediakan ruangan untuk merokok atau 100 persen tidak ada ruangan khusus untuk merokok.

Jadi, jangan harap Anda bisa dengan leluasa merokok di sembarang tempat di Thailand, karena bagi yang melanggar akan dikenai denda Rp920.000 hingga Rp2.300.000. Tanda larangan merokok juga sudah bayak dipasang pada tempat-tempat umum dengan memuat informasi tentang denda yang harus ditanggung oleh pelanggar, termasuk di tempat rekreasi seperti pantai.

Penjualan rokok di Thailand pun tidak sebebas penjualan rokok di Indonesia. Anda tidak akan mudah menemukan pemandangan bungkus-bungkus rokok berjejeran di rak-rak toko. Thailand sudah menerapkan kebijakan di mana rak atau etalase rokok di setiap toko swalayan, toko dan tempat perbelanjaan lainnya tidak boleh tampak oleh pembeli sehingga di toko-toko biasanya terdapat tirai atau penutup pada rak atau etalase rokok.

Peraturan ini diterapkan sebagai salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap warganya dari bahaya rokok, terutama untuk mereka yang masih berusia di bawah umur. Semestinya, Indonesia bisa belajar dari Thailand mengenai keberhasilan mereka menurunkan prevalensi merokok.

Kuatnya gerakan pengendalian tembakau dan besarnya komitmen Pemerintah Thailand untuk melindungi warganya dari dampak buruk akibat rokok menjadi kunci keberhasilan penurunan konsumsi rokok di negara tersebut.

Sama halnya dengan pemangku kebijakan di Indonesia, pemangku kebijakan di Thailand juga menghadapi berbagai macam upaya campur tangan industri rokok dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengendalian tembakau.

Contohnya, ketika industri rokok menolak perluasan ukuran peringatan kesehatan bergambar dari 55 menjadi 85 persen dengan menuntut Kementerian Kesehatan Masyarakat hingga pengadilan.

Namun, keberpihakan Pemerintah Thailand terhadap kesehatan dan kesejahteraan warganya mampu menepis satu per satu intervensi yang dilakukan oleh industri rokok. Pelajaran lain yang dapat kita petik adalah industri rokok akan terus melakukan berbagai cara untuk melemahkan kebijakan-kebijakan pengendalian tembakau. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan yang kuat dan konsisten.

Komitmen dari pemerintah mengenai pengendalian tembakau harus berani dan mampu dituangkan dalam produk kebijakan yang serius bukan hanya slogan kesehatan.

Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan perilaku merokok yang menjadi salah satu isu kesehatan yang paling berat di Indonesia.

Pemerintah harus konsisten untuk mencapai tujuan jangka panjang dengan meningkatkan daya saing generasi muda dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

*) Suci Puspita Ratih dan Danty Novitasari adalah peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI)
 

Copyright © ANTARA 2019