Saya optimistis sampai 2020 akan tertangani 'transboundary haze'
Singapura (ANTARA) - Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan bahwa asap lintas batas negara sudah menjadi sejarah untuk Indonesia.

Kepada ANTARA di sela-sela The 6th Singapore Dialogue on Sustainable World Resources di Singapura, Kamis, Nazir mengatakan asap lintas batas sudah nol sejak 2016.

Hal yang perlu dicatat, lanjutnya, pada 2019 ketika gambut di Riau terbakar, lahan di Malaysia juga terbakar. Angin mengarah ke Sumatera, namun karena tidak terlalu besar asapnya tidak sampai.

“Kita sudah usaha sekuat mungkin. Presiden juga memantau, hasilnya baik dalam tiga tahun ini. Hasil koordinasi lebih bagus, sumber daya manusia dan kelembagaan sudah bagus dan terlatih,” katanya.

“Saya optimistis sampai 2020 akan tertangani 'transboundary haze'” ujar dia.

Nazir mengatakan tidak mungkin tidak ada titik api, tapi kalau tidak ada asap lintas batas di ASEAN itu mungkin terjadi. Swedia dan Amerika Serikat (AS) yang tidak memiliki ladang berpindah pun juga mengalami kebakaran hutan dan lahan cukup luas.

Kebakaran hutan di AS mencapai empat juta hektare (ha) di 2016 dan 2,6 juta hektare di 2017.

Presiden Jokowi, lanjutnya, memerintahkan untuk melakukan tiga hal mulai dari pencegahan munculnya asap karena karhutla dengan melaksanakan restorasi gambut, mengembangkan sistem peringatan dini yang dibangun bersama dengan BNPB, BPPT dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memonitor kebasahan gambut, lalu respon cepat di mana sumber daya manusianya sudah terlatih dan selalu siaga di sana.

Bahkan, menurut Nazir, gambut juga masih masuk dalam visi dan misi Presiden Jokowi selanjutnya, sehingga tetap akan dijaga. Dengan demikian, seharusnya kabut asap bukan lah sebuah isu, tetapi sudah menjadi sejarah untuk Indonesia.

Dengan semua upaya-upaya kuat yang telah dilakukan tersebut, Nazir menolak jika ada yang menyebut penurunan titik api di Indonesia lebih karena anjloknya harga sawit global.

Independent Development Specialist, Apichai Sunchindah dalam lokakarya bertema "ASEAN bebas asap 2020, apakah kita sudah mengarah ke sana?" mengatakan target ASEAN bebas asap 2020 terlalu ambisius, meski tidak masalah menetapkan target seperti itu.

“Semoga beruntung dengan nol asap. Tapi pada dasarnya secara teknikal (target tersebut) bukan benar-benar nol,” ujar dia.

Data ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC), kata dia, menunjukkan kondisi negara-negara yang berada di daratan dan kepulauan ASEAN. Ada tren penurunan titik api di 2015 dan seterusnya.

Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei di 2015 mengalami penurunan besar. Mungkin ini karena Pemerintah Indonesia mulai serius, mereka membentuk BRG, dengan demikian dapat mengontrol api dan asap.

Jika melihat titik-titik grafik kebakaran hutan dan lahan tertinggi awalnya Apichai berpikir kebakaran itu terjadi secara random di kawasan selatan ASEAN, namun kalau diperhatikan lebih seksama terlihat ada pola.

Sedangkan jika melihat titik-titik grafik tertinggi kebakaran hutan dan lahan di kawasan utara ASEAN seperti Kamboja, Thailand dan Myanmar maka polanya sangat jelas. Dengan demikian, menurut dia, persoalan karhutla tersebut dapat di atasi, yang dilakukan hanya memperkuat kolaborasi agar api tidak terlanjur menyebar.

Baca juga: Badan Restorasi Gambut ingatkan 2019 iklim cuaca lebih kering

Baca juga: Hutan Rawa Tripa diperkirakan hanya tersisa 5.000 hektare


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019