Pembangunan energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga air, akan mengurangi konsumsi energi fosil yang boros dan polutif
Jakarta (ANTARA) - Rencana pemerintah untuk menghentikan impor solar dinilai sebagai momen bagus guna mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan sehingga akan menghemat belanja APBN untuk bahan bakar fosil hingga triliunan rupiah.

"Pembangunan energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga air, akan mengurangi konsumsi energi fosil yang boros dan polutif," kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Sonny Keraf di Jakarta, Minggu.

Sonny merupakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Persatuan Nasional dan duduk di DEN dari unsur pemerhati lingkungan hidup.

Kebijakan menghentikan impor solar dinyatakan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Jumat (10/5).

Penghentian impor solar dan avtur dikarenakan pemerintah ingin mengoptimalkan produksi dalam negeri sekaligus menyeimbangkan defisit neraca transaksi berjalan.

Langkah konkret menindaklanjuti rencana penghentian impor solar adalah segera membangun kilang pengolahan minyak mentah dalam negeri.

Sonny mengingatkan faktor keseimbangan neraca perdagangan dan dampak lingkungan harus menjadi pertimbangan dalam menghitung risiko tersebut.

“Sudah tepat jika Menko (bidang Perekonomian) dengan persetujuan Presiden mendorong kebijakan ini. Dalam jangka pendek memang ada risikonya, tapi lebih bagus dalam jangka panjang,” katanya.

Mencari jalan tengah

Soal protes dari organisasi yang mengatasnamakan lingkungan terhadap proyek pembangkit listrik energi terbarukan, Sonny menyayangkan hal itu.

Menurut dia, LSM lingkungan sering melihat hanya pada satu aspek saja, misalnya konservasi ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati.

“Padahal energi terbarukan, seperti PLTA dan geotermal, juga diperlukan untuk kepentingan lingkungan hidup, khususnya pengurangan emisi karbon dari bahan bakar fosil,” katanya.

Dia meminta agar mereka yang kerap protes pada pengembangan energi terbarukan untuk mau duduk bersama mencari jalan tengah.

“Agar kedua-duanya (energi terbarukan dan konservasi ekosistem) bisa jalan tanpa saling menegasi,” katanya.

Saat ini sejumlah proyek PLTA sedang dibangun. Salah satunya adalah PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Proyek bertipe peaker itu bisa menghasilkan listrik hingga 510 MW dan menyangga hingga 15 persen saat beban puncak Sumatera Utara.

Saat beroperasi pada 2022, PLTA Batang Toru akan menghemat solar pembangkit listrik tenaga diesel hingga 400 juta dolar AS atau Rp5,6 triliun per tahun.

Pembangkit itu juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 1,6 juta-2,2 juta metrik ton CO2 per tahun. Jumlah itu mencakup 4 persen dari target pengurangan emisi di sektor energi pada 2030.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyatakan, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bersama pembangkit listrik geotermal sangat diandalkan untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam produksi listrik nasional.

Jonan berharap, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus memberikan dukungan bagi pengembangan PLTA dan geothermal agar penggunaan energi terbarukan bagi pengendalian perubahan iklim bisa semakin meningkat.

Menurut dia, PLTA dan geotermal menyumbang 10 persen untuk bauran energi terbarukan dalam produksi listrik nasional saat ini. Sementara sumber energi terbarukan lainnya seperti panel surya, bayu, dan biodisel baru menyumbang 3 persen.

Total porsi energi terbarukan dalam produksi listrik nasional saat ini adalah 13 persen.
​​

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019