Jakarta (ANTARA) - Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Arif Satria menjadikan teknologi sebagai solusi pertama dalam mencegah pencemaran laut dari sampah plastik yang mengancam biota laut.

"Solusi pertama teknologi, bagaimana mengembangkan sistem daur ulang yang efektif," kata Arif kepada Antara saat dihubungi dari Jakarta, Senin.

Arif yang tengah melakukan kunjungan kerja di London mengatakan keberadaan plastik di laut mengkhawatirkan karena mengancam biota laut. Hal ini terbukti dari penemuan paus yang terdampar di Wakatobi beberapa waktu lalu, di dalam perutnya terdapat sampah plastik.

"Solusi teknologi yang lain adalah teknologi bioplastik agar bisa terurai," kata mantan Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB ini.

Lulusan doktoral kebijakan laut dari Kagoshima Univiersity, Jepang, itu mengatakan solusi kedua yang bisa dilakukan yakni mengubah gaya hidup ke arah ramah lingkungan.

Gaya hidup ramah lingkungan menurut dia, yakni menggunakan kantong belanja yang bisa dipakai berkali-kali. Cara ini sudah pernah dilakukan oleh zaman dulu yang setiap belanja selalu membawa tas belanjaan dari rumah.

Arif mengatakan di IPB para anggota Agrianita IPB (organisasi istri dan pegawai perempuan IPB) telah membuat komunitas ibu-ibu pengrajin daur ulang. Langkah ini sebagai tren positif yang perlu dikembangkan.

"Di beberapa kelurahan di Bogor juga ada kegiatan ini. Kita semua perlu mendorong sejumlah komunitas untuk melakukan hal tersebut sebagai salah satu sumber mata pencaharian alternatif," katanya.

Solusi yang ketiga lanjut Arif, yakni melalui kebijakan dan hukum. Perlu ada penegakan hukum bagi yang membuang sampah sembarangan sebagaimana diterapkan di berbagai negara seperti Singapura.

"Namun industri juga harus didorong bagaimana mengurangi kandungan plastik dalam kemasan," kata Arif.

Upaya mencegah sampah plastik masuk ke laut terus digaungkan secara global, bahkan sepuluh kepala negara/pemerintah anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah mengesahkan Deklarasi Bangkok.

Deklarasi Bangkok tentang Melawan Sampah Laut di Kawasan ASEAN disahkan pada sesi pleno KTT ke-34 ASEAN di The Athenee Hotel, Hotel Luxury Collection di Bangkok, Thailand, Sabtu (22/6).

Secara terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan sampah yang dibuang harus dibikin berguna, sehingga tidak lagi menjadi kendala pencemaran di sungai dan perairan lainnya.

"Ini yang harus dikerjakan berasama-sama oleh yang punya kepentingan terhadap sungai dari perairan," katanya.

Menurut Sarwono, masih banyak hal yang harus dikerjakan pemerintah Indonesia untuk mencegah sampah plastik masuk ke perairan.

Ia mengatakan upaya tersebut harus diselesaikan dari hulu, mengurangi volume sampai yang masuk ke perairan, memanfaatkan kembali sebagian dan yang tidak bisa dimanfaatkan harus dicari cara untuk bisa dikonversi sebagai energi.

"Misalnya, salah satu contoh pembangkit energi yang bahan bakunya dari sampah itu sudah ada tapi kecil-kecil tidak cukup," kata Sarwono saat ditemui di Bogor, Minggu (23/6).

Sawono menambahkan, Indonesia kalah jauh dari Singapura. Negara tetangga tersebut bisa tidak ada sampah karena semua sampah dimanfaatkan menjadi teknologi.

"Jadi ada rumusnya, tinggal dikerjakan secara lebih masif," kata Sarwono yang aktif di kegiatan lingkungan.

Baca juga: BaliFokus: butuh komitmen kuat implementasikan Deklarasi Bangkok

Baca juga: Indonesia cukup memimpin dalam menyuarakan penanganan sampah plastik

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019