Jakarta (ANTARA) - Sidang sengketa hasil Pilpres 2019 telah usai, namun hingga saat ini masih belum terlihat tanda-tanda akan ada pertemuan di antara kedua pasangan calon tersebut, setidaknya untuk meredam situasi panas yang terjadi di masyarakat.

Konflik tersebut masih terjadi meskipun lembaga tertinggi yang berwenang dalam memutuskan perkara sengketa hasil Pilpres yakni Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh gugatan Prabowo-Sandiaga terkait kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Salah satu gugatan yang ditolak oleh mahkamah adalah klaim perolehan suara Prabowo-Sandiaga yang seharusnya memenangkan Pemilu 2019 dengan suara 52 persen atau 68.650.239, unggul daripada pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin yang memperoleh suara 48 persen atau 63.573.169 orang.

Menurut majelis hakim, gugatan Prabowo-Sandiaga itu tidak dapat diterima sebab kubunya tidak dapat melampirkan bukti hasil rekapitulasi di daerah serta saksi yang didatangkan tidak bisa membuktikan klaim hasil rekapitulasi versinya dengan rekapitulasi yang dilakukan berjenjang oleh KPU.

"Pemohon tidak melampirkan bukti hasil rekapitulasi yang lengkap dari 34 provinsi, dan sebagian besar model C1 tersebut merupakan hasil foto atau scan C1 yang tidak diuraikan dengan jelas mengenai sumbernya," kata hakim MK, Arief Hidayat, saat membacakan putusan sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis malam (27/6).

Setelah putusan MK tersebut, Prabowo-Sandiaga beserta tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) memberikan pidatonya di rumah Prabowo, di Jalan Kertanegara, Jakarta. Dalam pidatonya, pihaknya menghormati hasil yang telah diputuskan dan disahkan dari sidang gugatan sengketa di MK.

"Kami menghormati hasil Mahkamah Konstitusi itu. Kami menyerahkan seluruhnya kebenaran dan keadilan yang hakiki kepada Allah SWT," ujar Prabowo di Jakarta, Kamis malam (27/6).

Juga baca: Fahri Hamzah: Rekonsiliasi harus dilakukan pascaputusan MK

Juga baca: Menhan Ryamizard sebut rekonsiliasi Jokowi-Prabowo perlu dilakukan

Juga baca: Sultan berharap rekonsiliasi Jokowi-Prabowo terwujud


Wacana Rekonsiliasi

Beberapa wacana rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo sudah mulai berembus beberapa saat sebelum sidang putusan MK. Sebagian masyarakat Indonesia pun mendesak supaya rekonsiliasi di antara kedua tokoh tersebut benar-benar terjadi guna meredam kondisi yang memanas sepanjang Pemilu 2019.

Arif, mahasiswa di universitas di Jakarta berpendapat mereka perlu bertemu supaya antarpendukung tidak lagi saling menyalahkan satu sama lain.
Senada dengan Arif, seorang content creator, Lulu juga mendukung upaya rekonsiliasi itu supaya masyarakat Indonesia bisa mengerti dan menerima hasil Pilpres yang sudah ditetapkan.

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, rekonsiliasi memiliki makna sebagai upaya memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan semula.
Seperti diketahui, hubungan Jokowi-Prabowo sempat akrab, karena Partai Gerindra-nya Prabowo mengusung Jokowi ke kontestasi Pilkada DKI Jakarta pada 2012.

Dukungan Prabowo kepada Jokowi-Basuki Purnama juga diperkuat Ketua Umum DPP PDI-P, Megawati Soekarnoputri, untuk kontestasi itu. Mereka juga bahkan terlihat cukup sering melakukan kegiatan bersama di muka publik.



Bahkan sebelumnya, pada 2009, ikatan antara Megawati dengan Prabowo sangat erat karena mereka berdua mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009 (koalisi Partai Gerindra dan PDI Perjuangan), bersaing dengan pasangan Susilo Yudhoyono-Boediono (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB), dan Wiranto-Jusuf Kalla (Partai Golkar-Partai Hanura).
 Partai Gerindra sebagai pendatang baru, cukup mendapat posisi penting saat itu. 

Akan tetapi, sejak Pilpres 2014, "kemesraan" itu mulai tampak longgar karena kontestasi politik di antara Prabowo Subianto-Jokowi. Gugatan kecurangan Pilpres 2014 juga dilayangkan kepada MK. Putusan MK saat itu pun sama yaitu menolak semua gugatan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa (yang juga didukung partai politik Radjasa, PAN).

Namun sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden Indonesia untuk periode 2014-2019, Prabowo pada akhirnya memutuskan untuk bertemu dan mengucapkan selamat untuk Jokowi. Prabowo juga hadir di Gedung Parlemen saat upacara pelantikan presiden dilaksanakan pada 20 Oktober 2014, dan dia berdiri dan memberi hormat kepada Jokowi saat namanya disebut dalam pidato kenegaraan perdana Jokowi itu.

Pada Pemilu 2019, mereka berdua kembali bertarung. Berbagai macam narasi hoaks dan fitnah yang saling dilempar pendukung masing-masing kubu, dengan berbagai saluran di antaranya media sosial. Hingga pada akhirnya Prabowo-Sandi dinyatakan kalah, gugatan pun ditolak MK, upaya pertemuan antara mereka berdua masih belum muncul.

Wakil Presiden terpilih, KH Ma'ruf Amin, dalam peringatan haul Syeikh Nawawi Al Bantani ke-126 di Serang, Banten, Jumat (28/6), mengatakan, akan segera menggagendakan pertemuannya dengan Prabowo-Sandiaga guna membahas rekonsiliasi pascapilpres serta mempersatukan kembali para pendukung kedua kubu.

"Saya kira pembicaraan awal sudah, tinggal menunggu kapan pertemuan formalnya. Tapi deal-deal atau komunikasi tidak langsung sudah. Sedang mencari waktu yang tepat," katanya.

Sementara BPN melalui Juru Bicara BPN, Dahnil Simanjuntak, mengatakan rekonsiliasi tidak diperlukan karena hubungan antara Jokowi dan Prabowo baik-baik saja.

"Rekonsiliasi, memang ada apa? Sejak awal khan keterangan saya tidak perlu ada rekonsiliasi karena tidak ada yang konflik," kata dia, di Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (27/6).

Keutuhan Bangsa
Sesudah sidang pembacaan hasil sidang perselisihan Pemilu 2019 oleh Mahkamah Konstitusi dilaksanakan, publik dan pers kemudian juga menyoroti sikap politik Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris, mengatakan, rekonsiliasi tidak ada hubungannya dengan kompromi atau bagi-bagi kekuasaan seperti yang pernah disampaikan beberapa elit politik.

Namun dia berpendapat, rekonsiliasi menjadi penting untuk merajut kembali keutuhan bangsa yang cenderung terpecah-belah karena polarisasi dukungan berlandas orientasi politik pemilih pada Pilpres 2019. "Tapi rekonsiliasi ada syaratnya, Prabowo harus mengakui kekalahannya dalam Pemilu sebagai sebuah kompetisi demokratis," kata dia, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (29/6).

Sementara Direktur Eksekutif Paremeter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan, rekonsiliasi antara Jokowi-Prabowo Subianto sebagai simbol politik di tingkat elit. Dengan rekonsiliasi, menurut dia, dapat membuat pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang berjumlah sekitar 68 juta dapat menerima Jokowi sebagai presiden Indonesia yang terpilih.

Prabowo Subianto dalam pidato yang diberikan setelah putusan MK, sama sekali tidak mengucapkan selamat atas terpilihnya Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin sebagai pasangan calon terpilih. Dosen UIN Syarif Hidatullah itu bilang, sikap yang ditampilkan Prabowo justru dapat membuat pendukungnya semakin yakin dengan narasi kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2019.

Ia melanjutkan, apabila pertemuan itu terjadi akan menjadi penanda islah karena Jokowi dan Prabowo adalah simbol politik saat ini. Mereka berdua perlu bertemu dan menyampaikan pidato kenegaraannya supaya masalah di akar rumput termasuk isu hoaks dan fitnah bisa terselesaikan.

Pengamat Politik Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, dalam diskusi publik yang diselenggarakan di Kantor DPP PA GMNI, Jakarta, juga berpendapat serupa. "Ini (rekonsiliasi) akan berkolerasi dengan situasi pascaputusan (MK). Jika pihak yang bersengketa di MK sama-sama menerima dan menghormati putusan MK akan menjadi kata kunci untuk meredam polarisasi yang hampir terjadi di seluruh elemen masyarakat," ujarnya.

Rekonsiliasi atau pertemuan antara Jokowi dan Prabowo bagaimanapun perlu dilakukan. Bukan semata-mata untuk membangun jembatan koalisi atau bagi-bagi jatah kekuasaan lewat transaksi politik.

Namun rekonsiliasi sebagai simbol dan makna politik guna mengobati perkubuan yang terlanjur terjadi di masyarakat karena Pilpres.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019