Jakarta (ANTARA) - Jika hidup manusia adalah pementasan drama, kebohongan manusia adalah tragedi.

Begitupun dengan perjalanan seorang Ratna Sarumpaet, kebohongan dirinya dianiaya dua lelaki di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, barangkali jadi adegan plot-twist alias alur cerita yang tak pernah diduga oleh para kerabatnya, sejawat dan masyarakat yang mengenalnya sebagai seniman, sutradara teater dan aktivis prodemokrasi era Orde Baru.

Ratna memang mengaku, ia berbohong karena didorong malu dengan operasi plastik wajahnya. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mengingat Ratna juga menyampaikan kabar dusta itu secara sengaja ke sejawat di tengah iklim politik yang panas.

Sejumlah orang yang menerima kabar dusta Ratna, di antaranya Rocky Gerung, Deden Syarifuddin, Said Iqbal, Basari dan Simon Aloysius. Tak ketinggalan, Fadli Zon dan Nanik S Deyang. Mereka adalah orang-orang yang sedang berada pada rivalitas politik saat kasus Ratna mencuat.

Dari sana, kebohongan menyebar cepat bak pesan berantai di media sosial Facebook dan Twitter. Warganet bereaksi. Ada yang menghujat, ada yang curiga.

Ratna pada akhirnya memberi klarifikasi. Ia bercerita ihwal kebohongannya bahwa wajah lebam dan bengkak didapat dari bekas operasi sedot lemak di bagian pipi kanan dan kiri, bukan dari tinju dua lelaki.

Namun, emosi publik terlanjur terpantik. Ratna dilaporkan ke aparat hukum karena telah menyebarkan berita bohong. Ia pun mendekam di bui sejak medio Oktober 2018.

Proses hukum Ratna berjalan hingga ke persidangan. Puncaknya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada medio Juli 2019 menjatuhkan vonis penjara dua tahun ke perempuan kelahiran Taruntung itu. Vonis hakim tentu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang mendakwa Ratna enam tahun penjara.

Ratna beserta kuasa hukum dan penuntut umum tak memberi sanggahan ataupun persetujuan terhadap isi putusan setelah vonis dibacakan. Sidang pembacaan putusan yang berlangsung selama lima jam itu ditutup dengan langkah Ratna yang maju menyalami Hakim Ketua Joni beserta dua anggota majelis Krisnugroho dan Mery Taat Anggarasih.
 
Ratna Sarumpaet menyalami Hakim Ketua Joni usai mendengar vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (11/7/2019). (ANTARA News/Genta Tenri Mawangi)

Tak ketinggalan, ia juga menyalami para penuntut umum atau jaksa. Salah satunya Daroe Tri Sadono.

Ratna sempat gusar saat ditanya tanggapannya mengenai vonis hakim. Depan awak media usai persidangan, Ratna bersikeras kebohongannya itu tak menyebabkan onar di masyarakat.

Walaupun demikian, tepat di usianya yang mencapai 70 tahun pada 16 Juli 2019, Ratna pun memilih menghabiskan 15 bulan sisa masa tahanannya di penjara. Dari Atiqah Hasiholan, putrinya, Ratna mengaku lelah meneruskan proses hukum dan ingin fokus menulis buku dalam beberapa bulan ke depan.

Baca juga: Atiqah: keluarga sepakat Ratna Sarumpaet tidak banding
Baca juga: Ratna ultah ke-70 di dalam Rutan PMJ, adakan tumpengan
Baca juga: Selepas vonis, Ratna Sarumpaet minta pindah ke Pondok Bambu


Jera
Aturan hukum yang melandasi hukuman untuk Ratna Sarumpaet adalah Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Aturan “lawas” itu ditetapkan oleh Presiden Soekarno dan diumumkan oleh Sekretaris Negara AG Pringgodigdo. Dalam pasal penyebaran berita bohong, pelaku diancam dengan hukuman maksimal 10 tahun.

Walaupun demikian, jaksa tidak mendakwa Ratna dengan ancaman maksimal. Bahkan hakim pun menjatuhkan vonis jauh lebih ringan dari tuntutan penuntut umum.

Pertanyaannya kemudian, apakah hukuman itu adil untuk pelaku dan masyarakat yang dirugikan karena kebohongan tersebut? Apakah vonis itu dapat memberi efek jera sehingga mereka yang hendak menyebarkan berita dusta dapat mengurungkan niat melakukan tindak pidana itu?

Terlepas dari masa hukuman yang tak sesuai dengan tuntutan penuntut umum, Daroe Tri Sadono mengatakan vonis hakim menunjukkan beleid itu masih berlaku dan unsur-unsurnya dapat dibuktikan di persidangan.

Menurut Daroe, hukuman dua tahun merupakan kewenangan majelis hakim yang telah menjatuhkan vonis sesuai fakta-fakta di persidangan.
Majelis Hakim membacakan putusan untuk kasus penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (11/7/2019). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)

Saat ditemui usai sidang pembacaan putusan, Daroe menjelaskan, pihaknya masih akan mempertimbangkan putusan hakim. Poin yang jadi perhatian penuntut umum, di antaranya mengenai dampak dari vonis majelis hakim terhadap pemberian efek jera untuk pelaku serta penegakan hukum ke depannya.

Majelis hakim sebenarnya sudah mempertimbangkan cuma melihat situasinya perbuatan itu dilakukan ketika peristiwa politik tengah memanas. Jaksa telah mengungkapkan status dan peran yang bersangkutan (Ratna Sarumpaet).

"Kita ingin memberi pelajaran kepada publik bahwa seseorang dengan peran dan status tertentu ketika dia mengucapkan sesuatu akan ada dampaknya ke masyarakat,” kata Daroe saat menjawab pertanyaan ANTARA mengenai tanggapan untuk vonis hakim.

Daroe juga tak dapat memastikan vonis dua tahun itu dapat memberi efek jera atau tidak. Akan tetapi, secara umum, keputusan hakim menghukum Ratna merupakan upaya memperlihatkan kepada kalangan masyarakat yang punya pengaruh bahwa tingkah laku dan ucapan mereka dapat memantik emosi publik serta berpotensi menyebabkan keonaran sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menentukan sikap.

Baca juga: Ratna tolak dirinya disebut buat onar
Baca juga: PN Jaksel vonis Ratna Sarumpaet dua tahun penjara


Pelajaran berharga
Terlepas dari banyaknya kegaduhan dan perdebatan kontra-produktif soal kebohongan Ratna Sarumpaet, ada pelajaran berharga atau blessing in disguise yang dapat jadi renungan bersama, yaitu pentingnya tetap jujur dalam ucapan dan perbuatan.

Sissela Bok lewat bukunya Lying, moral choice in public and private life (Vintage Books, 1979) mengatakan sikap jujur merupakan dasar yang menentukan keutuhan masyarakat.

Dalam tulisannya, dia mengajukan pertanyaan retoris, “apa yang akan terjadi jika masyarakat tak dapat lagi membedakan mana pernyataan jujur dengan yang dusta?”

Jawaban dia, keutuhan masyarakat akan rusak. Berawal dari kebohongan, bukan hanya keonaran dan kegaduhan yang dapat terjadi, tetapi juga kekerasan, bahkan perang antarwarga.

Barangkali karena akibatnya yang cukup berbahaya, sastrawan ternama abad ke-14 asal Italia, Dante Alighieri lewat novelnya “Inferno”, menempatkan para pembohong di lapisan terakhir neraka atau yang disebut Malebolge.

Walaupun kisah Dante adalah khayalan, tetapi fiksi bagi sebagian besar sastrawan dan filosof adalah cerminan dari sikap sebuah peradaban dalam memandang suatu masalah.

Singkatnya diceritakan dalam novel yang menjadi tonggak sejarah literatur Eropa itu, seorang penyair bernama Vigil memiliki kesempatan untuk menyaksikan delapan tingkat neraka.

Di dua tingkat terakhir, Vigil menemui jiwa para pembohong yang menjalani hukumannya. Dante membayangkan hukuman pembohong bukan bara api neraka, tetapi mati tenggelam berulang kali oleh air mata kesedihan mereka sendiri.

Hukuman itu barangkali adalah metafor untuk menunjukkan tidak ada artinya penyesalan apabila kebohongan telah disampaikan. Namun pesan moralnya tak berbeda dari kasus yang dialami Ratna: “jangan ada lagi dusta di antara kita”.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019