Masyarakat juga harus diberikan pendidikan menghadapi asap, menggunakan alat pelindung diri hingga menjaga kualitas udara dalam ruangan tetap sehat
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengharapkan ppemerintah dapat memberikan penanganan kesehatan yang maksimal bagi masyarakat di daerah yang berpotensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Yang pasti kunjungan ke rumah sakit akan meningkat,” kata Ketua Umum PDPI, dr Agus Dwi Susanto di Jakarta, Rabu (31/7).

Agus mengakui pemerintah telah berbuat banyak untuk masyarakat usai karhula yang begitu besar tahun 2015.

Ia mengatakan bahwa dampak kebakaran tidak hanya dari satu aspek saja, tetapi bagi PDPI akan memantau dari aspek kesehatan masyarakat.

“Tahun 2015 lalu kami telah mengeluarkan rekomendasi untuk pemerintah dan sebagian sudah dilaksanakan,” ujarnya.

Ia menjelaskan dilihat dari aspek kesehatan, yang pasti masyarakat akan terdampak asap karhutla karena berhubungan dengan organ paru-paru. Risiko besar mereka terkena penyakit insfeksi saluran pernafasan akut (ISPA), serangan asma hingga serangan paru kronik yang meningkat.

“Masyarakat juga harus diberikan pendidikan menghadapi asap, menggunakan alat pelindung diri hingga menjaga kualitas udara dalam ruangan tetap sehat,” kata Agus.

Sementara itu, praktisi kanker paru-paru, dr. Sita L Andarini mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian terkait efek kebakaran hutan terhadap manusia. Risiko dampak kesehatan dapat mengakibatkan sesak nafas, infeksi paru, daya tahan paru turun berakibat penyakit asma hingga terjadinya infeksi paru.

Komponen asap kebakaran hutan terdiri atas gas yakni CO, CO2, NOx, SOx, Ozone dan lainya, kemudian partikulat yakni PM10, PM2.5, ultrafine particles dan uap.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mencatat 28 provinsi di Indonesia terancam kekeringan dengan risiko sedang hingga tinggi di tahun 2019.

“Luas wilayah terancam 11.774.437 hektare dan diperkirakan jiwa terpapar sebanyak 48.491.666 jiwa,” kata Deputi bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana Kemenko PMK, Dody Usodo.

Ia menjelaskan berdasarkan pengamatan Badan Meteoroiogi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) musim kemarau di Indonesia diperkirakan mulai Juli hingga Oktober 2019. Musim kemarau itu, akan jauh lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya.

“Puncak kekeringan di bulan Agustus 2019,” katanya.

Ancaman bahaya kekeringan dan karhutla tentu harus selalu diwaspadai, terutama di berbagai wilayah rawan, karena muncul dampak kekeringan dan hawa panas musim kemarau tersebut, demikian Dody Usodo.

Baca juga: PPDI beri saran pencegahan-penanganan polusi udara di Jakarta

Baca juga: Mendikbud : kesehatan siswa lebih penting saat kabut asap melanda

Baca juga: PDPI ingatkan kesadaran masyarakat bahaya kanker paru


Pewarta: Fauzi
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019