Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima permohonan perkara sengketa pileg salah satu calon anggota DPRD Partai Demokrat atas nama Yandri Nasir karena tidak menguraikan maksud PSU yang dimohonkan.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu, Mahkamah menilai pemohon telah menguraikan dengan jelas perbedaan perolehan suara versi pemohon dengan KPU. Di dalam petitum angka 3, pemohon meminta dilakukan PSU di 27 TPS sebagaimana yang diuraikan dalam pokok permohonan.

Namun, Mahkamah tidak dapat memastikan apakah PSU yang dimaksud pemohon adalah penghitungan suara ulang atau PSU dalam pengertian pemungutan suara ulang.

"Bahwa apabila dikaitkan dengan sistem hukum pemilu, secara hukum istilah pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda," jelas Aswanto.

Baca juga: Sidang Pileg, MK tidak terima permohonan caleg Berkarya Maluku Utara

Baca juga: Sidang Pileg, MK akan putus 72 perkara sengketa Pileg 2019

Baca juga: Berita hukum kemarin, sidang sengketa Pileg hingga korupsi BPJS


Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan perbedaan pemungutan suara ulang dengan penghitungan suara ulang berdasarkan Pasal 371 Ayat (1), Ayat (2), dan Pasal 374 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Berdasarkan aturan tersebut, bila yang dimaksudkan oleh pemohon adalah penghitungan suara ulang, tidak perlu dilaksanakan pemungutan atau pencoblosan ulang di TPS. Namun, cukup dengan menghitung kembali surat suara dengan cara membuka kotak suara pada TPS yang dipersoalkan.

"Merujuk pada perbedaan tersebut, kedua istilah tersebut lazim disingkat menjadi PSU. Namun, pemohon tidak menguraikan dan memberikan penjelasan apakah PSU yang dimaksud adalah pemungutan atau penghitungan suara ulang, yang secara yuridis memilkii konsekuensi yang berbeda," jelas Aswanto.

Karena Mahkamah tidak bisa memastikan PSU yang dimaksud itu pemungutan atau penghitungan, petitum pemohon dinilai tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Akibatnya, Majelis Hakim Konstitusi memutuskan untuk tidak dapat menerima permohonan pemohon karena permohonan yang dinilai tidak jelas atau kabur.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019