Rangkap jabatan di Partai Golkar memang bukan hal yang dilarang. Karena tidak ada aturannya memang
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Andi Nursyam Halid menilai posisi rangkap jabatan dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto kontraproduktif dengan kinerja partai.

"Rangkap jabatan di Partai Golkar memang bukan hal yang dilarang. Karena tidak ada aturannya memang," katanya, saat diskusi "Kupas Tuntas Persoalan Kepemimpinan Partai Golkar" di Jakarta, Rabu.

Andi menceritakan sejarah beberapa ketua umum Partai Golkar yang pernah merangkap jabatan, tetapi mereka mampu menjalankannya secara baik di kedua jabatan yang dipegang.

Namun, kata dia, kondisinya justru kontraproduktif bagi Airlangga yang menjabat Ketua Umum Golkar, sekaligus menteri yang berada di bawah presiden.

"Saya melihat Pak Airlangga saat ini produktif sebagai menteri. Beliau cukup berhasil sebagai menteri. Tetapi, agak bertolak belakanglah, tidak produktif di partai. Ini penilaian pribadi saya," tutur Andi.

Kontraproduktif itu, kata dia, bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti konsolidasi organisasi sampai tingkat daerah yang tidak berjalan baik dan mekanisme proses pengambilan keputusan tidak dijalankan dengan baik.

Ia menyebutkan Partai Golkar juga mengalami penurunan signifikan dalam perolehan suara pada Pemilu 2019 sehingga turun dari urutan kedua menjadi ketiga meski dari penghitungan kursi masih di urutan kedua.

Andi menilai rangkap jabatan itu membelenggu posisi ketua umum karena juga menjadi pembantu langsung presiden sehingga akhirnya menjadikan partai kurang memiliki nilai tawar.

Sementara itu, Koordinator Barisan Pemuda Partai Golkar (BPPG) Abdul Aziz tidak mempermasalahkan rangkap jabatan oleh ketua umum, asalkan melihat posisi dan nilai tawarnya.

"Menurut saya, bukan salah Ketua Umum melakukan rangkap jabatan. Cuma yang jadi masalah di saat jabatan rangkapnya itu posisi eksekutif," ucapnya.

Artinya, kata Aziz yang juga Wakil Ketua Umum AMPG itu, nilai tawar Airlangga sebagai Ketua Umum Partai Golkar menjadi sirna karena posisinya pembantu presiden.

"Beda dengan SN (Setya Novanto), beliau rangkap jabatan Ketua DPR RI, sebagai legislatif. Secara garis besar, Ketua DPR RI dan Presiden adalah posisi yang sejajar," ujarnya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019