Sapta Dasawarsa C(h)ina

Sapta Dasawarsa C(h)ina

Christine Susanna Tjhin, anggota pakar dalam China Policy Group, Foreign Policy Community Indonesia (FPCI)

Penulis adalah seorang pengamat lepas. Saat ini juga sebagai salah satu anggota pakar dalam China Policy Group, Foreign Policy Community Indonesia (FPCI).

Jakarta (ANTARA) -- Di usia ke-70 tahun, China menjulang dengan karakteristik yang lebih asertif dan berwawasan keluar sebagaimana terwujud dalam mega proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative atau BRI).

Usai sudah era Togungynghu prinsip yang dipegang Deng Xiaoping dan penerus-penerusnya dalam mengelola relasi China dengan dunia luar, di mana China lebih baik tidak menonjolkan diri dan menjaga jarak yang sehat dari politik internasional.

Banyak faktor yang dipandang sebagai motivasi di balik karakteristik ini menguatnya rasa percaya diri karena kemajuan di berbagai bidang, mengelola ekses kapasitas produksi, mengkonsolidasi posisi strategis di kawasan dan lainnya. Namun, yang paling esensial adalah kepentingan rejim penguasa untuk menciptakan lingkungan eksternal yang kondusif bagi keberlanjutan laju ekonomi China.

Prestasi Prima Tujuh Dekade

Sepanjang sejarah modern China, tujuan pertumbuhan ekonomi menempati posisi dominan dalam tata kelola negara berpenduduk 1,4 miliar ini. Semua kebijakan lainnya didesain untuk menopang tujuan tersebut. Rentetan prestasi di bawah ini adalah hasil dari proses tujuh dekade tersebut.

GDP tahun 2018 mencapai $13,61 triliun dibanding tahun 1952 yang hanya $30 miliar. Jumlah warga miskin tahun 1978 sebesar 770 juta jiwa, kini 16,6 juta. Tahun 1978 ekonomi China menduduki peringkat 11, kini menjadi terbesar kedua dunia. Cadangan devisa tahun 1952 adalah $108 juta, kini melebihi $3 triliun.

Investasi keluar tahun 1982 sebesar $40 juta, kini $135 miliar (peringkat kedua dunia). Kontribusi China terhadap pertumbuhan global tahun 1961 hingga 1978 hanya 1.1%, kini 28.1%. Angka turis keluar negeri tahun 1995 sekitar 5 juta dengan pengeluaran $3,7 miliar, kini 149,72 juta turis berpelesir dengan pengeluaran $257,7 miliar.

Lompatan kinerja pembangunan infrastruktur sejak akhir 1940 hingga kini: Jalur keretaapi meningkat 5 kali lipat (131.000 km), jalan tol 59 kali lipat (4,85 juta km), transportasi laut naik 72,7 persen (127.000 km), dan udara 734 kali lipat (8,38 juta km). Jumlah kota termodernisasi dari 132 kota menjadi 672 kota.

Sektor teknologi dan digital pun mencengangkan. China telah mengirim astronot ke angkasa dan memelopori program ke Mars. Ekonomi digital, teknologi 5G, kecerdasan buatan, teknologi hijau dan energi terbarukan, kloning hewan, kereta cepat dan inovasi lain merupakan contoh sektor-sektor di mana China telah berada di garis terdepan bersama negara-negara maju.

Problem Pelik Hantu Korupsi

Di balik silaunya kinerja China, masih begitu banyak masalah dan kompleksitas yang tumbuh seiring prestasi di atas. Tantangan terpelik adalah korupsi. Survei persepsi masyarakat dalam Buku Biru Kemasyarakatan yang setiap tahun disusun oleh Akademi Ilmu Sosial China (CASS) mencatat pergeseran sentimen masyarakat terhadap korupsi dari peringkat 20 besar, menjadi lima besar. Sentimen serupa terbaca di sejumlah survei media sosial oleh sejumlah perusahan online terbesar (Sina, Tencent dan Baidu).

Kemarahan terhadap korupsi juga menjadi salah satu alasan terbesar di balik konflik sosial di China yang jumlahnya terus bertambah dari 8.700 insiden sosial (demo, petisi, pemogokan, konflik vertikal dan horisontal) di tahun 1993, menjadi 172.000 (estimasi konservatif) di tahun 2014.

Presiden Xi Jinping menyadari secara akut betapa borok besar ini mengancam legitimasi partai sebagai rejim penguasa dan segera memulai perburuan lalat dan harimau setelah pelantikannya.

Menurut Komisi Pusat untuk Inspeksi Disiplin atau KPID (Zhngyng jwi), hingga tahun 2017, lebih dari 2,7 juta pejabat terjaring, sekitar 1,5 juta orang dihukum, 58,000 terpidana, termasuk sekitar 120 harimau (pejabat tinggi sipil, BUMN dan militer). Kasus paling gegar jagad antara lain: Zhou Yongkang, orang terkuat nomor tiga di lembaga paling berkuasa di China, Komite Tetap Politbiro; serta Xu Caihou, salah satu pejabat militer tertinggi di Komisi Militer Pusat.

Nilai aset sitaan pun fantastis. Aset sitaan dari Zhou Yongkang dan anteknya dilaporkan lebih dari $14,5 miliar. Di tahun 2017, Xinhua melaporkan pemerintah menyita aset koruptor yang kabur keluar negeri sejumlah $1,48 miliar dan $102,5 juta dari otoritas daerah. Aset bernilai $519 miliar dilaporkan disita di tahun 2018.

Lalu mengapa Indeks Persepsi Korupsi China masih fluktuatif? (lihat grafik, 100 berarti nol korupsi) Seberapa besar pun jumlah lalat dan harimau yang terjaring tidaklah cukup jika pemerintah China tidak menemukan penyelesaian problem sistemik dalam sistem tata kelola pemerintahan.

Lembaga Sakti Anti Korupsi China

Bulan Maret 2018, Kongres Nasional Rakyat mengamandemen konstitusi untuk membentuk sebuah suprabodi anti korupsi, Komisi Pengawas Nasional atau KPN (Guji jinwi). KPN mengambil alih fungsi tiga lembaga yang ada - Kementerian Pengawasan (Jinchb), Biro Nasional Pencegahan Korupsi (Fngfbij) dan sejumlah departemen khusus di bawah Kejaksaan Agung Rakyat (Gojinyun).

Selain memiliki otoritas yang lebih sakti (wewenang penyidikan dan penahanan tersangka), jangkauannya pun tidak lagi terbatas pada pegawai pemerintah, tapi juga anggota ke-sembilan partai, kongres nasional dan kongres konsultatif politik rakyat, dirinya sendiri, pengadilan dan kejaksaan, BUMN, federasi industri dan dagang, serta mereka di organisasi yang mengelola urusan publik.

Kritik terbesar ada pada relasi KPN dengan partai penguasa. Meski hukum yang ada belum membahas hubungan KPN dan KPID secara eksplisit, dari kacamata politik, KPID lebih kuat. KPID dikepalai oleh Zhao Leji, salah satu anggota 7 Dewa Komite Tetap Politbiro, sedangkan KPN dikepalai Yang Xiaodu, anggota Politbiro dan Wakil Kepala KPID.

Masih terlalu dini untuk menghakimi efektifitas KPN. Yang jelas, banyak yang dipertaruhkan di sini, mulai dari pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, stabilitas sosial politik, hingga citra kepemimpinan China di mata dunia.

Hantu Korupsi Menggentayangi BRI

Di usianya yang ke-enam, BRI terus bertumbuh secara dinamis. Menurut Bank Dunia, kucuran dana untuk pembangunan infrastruktur di lebih dari 80 negara (rel kereta api, jalan dan pelabuhan saja) sebesar $575 miliar. Morgan Stanley memprediksi investasi akan mencapai $1.3 triliun di tahun 2027.

Masifnya skala BRI ini, suka atau tidak, tak jarang bertautan dengan praktek kotor korupsi di berbagai negara. Satu contoh adalah kasus proyek 1MDB dan mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.

Gerakan anti korupsi di China memang masih berorientasi pada pelanggaran domestik. Nyaris tak terdengar kabar kalau perusahaan China yang terlibat praktek kotor di luar negeri juga mendapat sanksi dari pemerintah mereka. Pembiaran seperti ini memperkuat tuduhan sejumlah pihak bahwa China mengekspor korupsi.

Sebenarnya China sudah memiliki payung hukum untuk itu. Tahun 2011, untuk pertama kalinya amandemen UU Hukum Pidana mengkriminalkan perusahaan dan individu China yang melakukan penyuapan terhadap pejabat negara asing dan organisasi internasional. Selain itu, China telah menandatangani 55 perjanjian ekstradisi dan 64 perjanjian bantuan peradilan dengan 77 negara, termasuk Indonesia tahun 2009.

Pengarusutamaan agenda anti korupsi ke dalam BRI mulai digalakkan di pertengahan 2017. Di akhir 2017, KPID melakukan program eksperimen perdana dengan Laos. Beberapa inspektur KPID ditempatkan dalam BUMN China yang terlibat dalam proyek kereta api di lapangan. Kedua negara juga membentuk Tim Pengawas Gabungan. Thailand dan Filipina telah mengutarakan minatnya untuk mengadopsi sistem pengawasan serupa.

Sinergi Gerakan Anti Korupsi Indonesia dan China

Dapatkah praktek serupa diterapkan di Indonesia? Di antara sengatan politik identitas dan sentimen rasial, maraknya hoaks terkait China, serta gonjang ganjing politik hukum anti korupsi di Indonesia, upaya sinergi gerakan anti korupsi kita dengan China akan sangat sulit, tapi bukan tidak mungkin.

Pertama, segala bentuk pengawasan dan tindak anti korupsi harus jernih, adil dan berbasis bukti. Problem korupsi dalam investasi asing bukan hal baru dan bukan eksklusif dengan China saja. Sentimen primordial, kepenting politik yang sempit, politisasi gerakan anti korupsi dan kurangnya saling pemahaman antar negara tidak bisa dibiarkan terus menjadi kendala untuk penerapan tata kelola yang bersih. Jangan sampai potensi kerjasama anti korupsi dinodai oleh semangat anti aseng atau tuduhan antek komunis yang tidak mendasar dan destruktif.

Kedua, perlu mencari solusi konstitusional untuk sengkarut UU KPK yang kontroversial itu. UU tersebut harus dibahas kembali dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih terbuka dan efektif. KPK adalah pilar utama gerakan anti korupsi yang kekuatan dan kredibilitasnya harus tetap dijaga.

Ketiga, koordinasi yang lebih efektif antar lembaga terkait harus terus diupayakan baik di dalam negeri maupun bersama lembaga di China. Selain itu, sinergi ini harus bisa melampaui kegiatan seremonial, seperti kebiasaan menandatangani ratusan MoU tanpa follow-up yang berarti.

Selama KTT BRI kedua bulan April lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut menandatangani pernyataan bersama Inisiatif Beijing untuk Jalan Sutra Bersih, yang berkomitmen untuk kerjasama yang terbuka, hijau dan bersih. Nyaris tidak ada pesan itu dalam pemberitaan di media lokal, ataupun kejelasan langkah lanjutan dari inisiatif tersebut. Pemerintah nampak lebih terobsesi dengan berapa jumlah perusahaan yang beralih dari China ke Indonesia akibat perang dagang
Keempat, sinergi yang optimal harus juga merangkul sektor swasta dan masyarakat sipil. Kedua elemen ini memiliki pengalaman dan pemahaman dengan keunikan masing-masing dan bisa berkontribusi secara konstruktif dalam proses pengawasan dan konsultasi kebijakan.



Pewarta :
Editor : PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2024