Tanjungpinang (ANTARA) - Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Prof Agung Dhamar Syakti mengingatkan masyarakat tidak mengonsumsi bagian pencernaan siput laut gonggong.
"Bagian pencernaan gonggong berada di ujung di dalam cangkangnya. Memang pada bagian itu, agak lebih enak, lembut dan seperti berlemak, tetapi tidak sehat," kata Agung, di Tanjungpinang, Jumat.
Menurut dia, penelitian terhadap gonggong cukup menarik lantaran merupakan makanan khas masyarakat Pulau Bintan dan Batam. Wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut juga suka mengonsumsi gonggong.
Gonggong juga menjadi salah satu menu andalan di restoran "seafood".
Berdasarkan hasil penelitian dosen dan mahasiswa Umrah, ditemukan kandungan zat yang berbahaya di bagian pencernaan gonggong. Zat itu seperti mikroplastik dan timbal.
Gonggong yang mengandung timbal hidup di perairan yang tercemar limbah dari pertambangan bauksit di Pulau Bintan. Bahkan peneliti juga menemukan cacing dan telur cacing berukuran mikro di bagian pencernaan gonggong.
"Gonggong hidup di pasir yang mengonsumsi organik di sekitarnya. Perairan yang tercemar timbal dan mikroplastik itu menyebabkan gonggong tidak higienis pada bagian tertentu," ucapnya.
Agung mengatakan gonggong sebagai makanan khas masyarakat Pulau Bintan dan Batam, boleh dikonsumsi. Namun kiat memasak gonggong yang higienis sebaiknya dimulai dengan melepaskan tubuhnya dari cangkang, kemudian memotong bagian pencernaan sebelum dimasak.
Namun bagi masyarakat dan pedagang, bentuk gonggong tidak lagi eksotis atau unik bila dimasak atau direbus tanpa cangkang sehingga kerap seluruh tubuh dan cangkang dimasak sehingga kelihatan menarik, dan lebih banyak.
Masyarakat tetap boleh mengonsumsi gonggong yang dimasak utuh, namun sebaiknya tidak mengonsumsi bagi pencernaan gonggong tersebut agar lebih sehat.
"Peneliti Umrah juga menemukan tubuh gonggong yang layak dikonsumsi, sangat baik untuk kesehatan tubuh. Namun tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan," tuturnya.
"Bagian pencernaan gonggong berada di ujung di dalam cangkangnya. Memang pada bagian itu, agak lebih enak, lembut dan seperti berlemak, tetapi tidak sehat," kata Agung, di Tanjungpinang, Jumat.
Menurut dia, penelitian terhadap gonggong cukup menarik lantaran merupakan makanan khas masyarakat Pulau Bintan dan Batam. Wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut juga suka mengonsumsi gonggong.
Gonggong juga menjadi salah satu menu andalan di restoran "seafood".
Berdasarkan hasil penelitian dosen dan mahasiswa Umrah, ditemukan kandungan zat yang berbahaya di bagian pencernaan gonggong. Zat itu seperti mikroplastik dan timbal.
Gonggong yang mengandung timbal hidup di perairan yang tercemar limbah dari pertambangan bauksit di Pulau Bintan. Bahkan peneliti juga menemukan cacing dan telur cacing berukuran mikro di bagian pencernaan gonggong.
"Gonggong hidup di pasir yang mengonsumsi organik di sekitarnya. Perairan yang tercemar timbal dan mikroplastik itu menyebabkan gonggong tidak higienis pada bagian tertentu," ucapnya.
Agung mengatakan gonggong sebagai makanan khas masyarakat Pulau Bintan dan Batam, boleh dikonsumsi. Namun kiat memasak gonggong yang higienis sebaiknya dimulai dengan melepaskan tubuhnya dari cangkang, kemudian memotong bagian pencernaan sebelum dimasak.
Namun bagi masyarakat dan pedagang, bentuk gonggong tidak lagi eksotis atau unik bila dimasak atau direbus tanpa cangkang sehingga kerap seluruh tubuh dan cangkang dimasak sehingga kelihatan menarik, dan lebih banyak.
Masyarakat tetap boleh mengonsumsi gonggong yang dimasak utuh, namun sebaiknya tidak mengonsumsi bagi pencernaan gonggong tersebut agar lebih sehat.
"Peneliti Umrah juga menemukan tubuh gonggong yang layak dikonsumsi, sangat baik untuk kesehatan tubuh. Namun tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan," tuturnya.