Di antara dua perumahan mewah Batam, Centre Point dan Mitra Raya, seorang warga membangun rumah di atas pohon, karena dia mengaku tidak mampu menyewa rumah paling sederhana sekalipun.

Rumah pohon itu adalah sebuah kontradiksi bagi kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia, Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Pada 2010, Bank Indonesia mencatat Batam tumbuh 8,4 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Namun, agaknya pertumbuhan ekonomi itu tidak dirasakan seluruh warga Batam.

Contoh paling dekat adalah Marit, yang terpaksa membangun rumah di atas pohon karena tidak mampu menyewa rumah.

Sejak Mei 2010, ayah enam anak itu menempati rumah seluas dua kali dua meter yang terletak sekitar dua meter di atas tanah.

Dari kayu-kayu sisa yang terhanyut di parit dan tergeletak di pinggir jalan, Marit membangun rumah pohonnya. Untuk atap, Marit menggunakan plastik tebal yang dibuang warga.

"Saya hanya beli paku saja, lainnya saya kumpulkan," kata Marit.

Selain karena tidak memiliki uang untuk sewa rumah, ia mengatakan kapok membangun rumah di atas tanah karena kerap digusur.

Terakhir, ia digusur dari rumah liarnya di Kampung Bugis.

Rumah kayu dua lantai itu digunakan layaknya tempat tinggal. Di lantai satu, ia menempatkan sejumlah barang seperti kompor minyak tanah kecil, panci, baju dan lainnya. Barang paling mewah adalah jam dinding bewarna putih mengkilat yang ditancapkan di dinding kayu reyot.

Jika hujan, ia mengaku rumahnya tidak bocor. "Hanya seperti di kapal, rumah goyang-goyang," kata dia. Sedang lantai dua digunakan Marit untuk tidur.

"Seringnya saya tinggal sendiri, tapi kadang ada anak saya yang datang," kata dia.

Sebagai penerang, Marit menggunakan lampu teplok.

Untuk keperluan mandi cuci kakus, Marit mengatakan dirinya mengandalkan parit dan kolam yang berada di sekitarnya.

       
Rp150.000 per hari

Mata pencarian sehari-hari, Marit menggali pasir di parit-parit untuk dijual sebagai bahan baku bangunan.

"Sehari bisa dapat Rp100.000 sampai Rp150.000," kata dia.

Namun memang, ia tidak bisa mengumpulkan pasir setiap hari, tergantung cuaca dan kesiapan lori yang menjemput pasir.

Menurut dia, pendapatan itu tidak bisa membiayai kebutuhan hidup di kota industri yang tinggi.

"Harga beras 1 kg saja lebih dari Rp10.000," kata dia.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam Ricky Indrakari mengatakan berdasarkan survei bersama Dewan Pengupahan untuk hidup layak di Batam dibutuhkan dana Rp1,3 juta per bulan .

Ia menyayangkan ada seseorang yang tinggal di atas rumah pohon.

"Ini kan mempertontonkan kemiskinan," kata dia.

Ricky mengatakan seharusnya Dinas Sosial lebih memperhatikan fakir miskin dan orang terlantar seperti yang diamanatkan UU.

Apalagi, kata dia, pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan biaya cukup besar untuk pengentasan kemiskinan.

"Agaknya Dinas Sosial belum mampu menyesuaikan pertumbuhan Batam dari kota besar menjadi kota metropolis," kata dia.
  
Jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Batam yang mencapai 8,3 persen pada 2010, keberadaan rumah pohon amat kontradiktif.

Menurut Ricky, angka pertumbuhan ekonomi kota tidak bisa dijadikan patokan tingkat kesejahteraan warganya.

"Angka pertumbuhan itu hitungan makro, bukan dari kesejahteraan warga," kata dia.

Ia mengatakan yang terjadi di Batam adalah orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin, akibat kebijakan pembangunan yang salah.

"Gap antara yang tinggi dan rendah lebar," kata dia.

Seharusnya, kata dia, pembangunan ekonomi berorientasi investasi, bukan padat modal seperti yang dijalankan pemerintah, agar peningkatan ekonomi bisa lebih dirasakan masyarakat. (Y011/KWR/Btm1)
   
   

Pewarta :
Editor : Jo Seng Bie
Copyright © ANTARA 2025