Jakarta (ANTARA) - Apa yang pertama kali terlintas ketika mendengar kata Pulau Penyengat? Ya, tentu langsung terbayang dalam benak, sebuah pulau dengan banyak serangga yang siap menyengat siapa pun yang mendekat.
Akan tetapi tenang saja, pengunjung yang menjejakkan kaki di pulau seluas 2,4 km persegi ini bukan lebah penyengat yang akan siap menyapa. Melainkan sebuah dermaga dengan beberapa kapal kayu penyeberangan yang sigap memanjakan mata, tak ketinggalan aroma asap ikan yang tengah dibakar juga menggoda indera penciuman seakan siap menggoyang lidah.
Menuju pulau kecil dapat ditempuh sekitar 10-15 menit dari dermaga yang terletak di kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, menggunakan kapal motor atau populer disebut pompong dengan harga sekali jalan Rp9.000 per orang.
Menaiki kapal kayu bermesin motor ini, penumpang akan dimanjakan dengan bangunan permukiman penduduk yang berdiri kokoh di atas genangan air laut serta deburan ombak yang menerjang seakan mengajak melamunkan pikiran dan membebaskan pikiran dari jerat hiruk pikuk aktivitas keseharian.
Memasuki bulan Juli-Agustus, angin laut memang terasa kencang, namun sang nakhoda pompong nampak menyiapkan alat pelampung bagi penumpang untuk berjaga-jaga. Sesosok pria tengah baya itu juga sigap membawa penumpang ke dermaga tujuan dengan selamat setelah memecah goncangan ombak.
Dermaga dengan ornamen khas Melayu bernuansa kuning dan hijau menyambut, becak motor alias bentor pun berjejer menunggu penumpang. Tak jauh dari dermaga, terlihat sebuah masjid dengan warna kuning mencolok dengan kubah yang gagah menyambut. Bangunan itu adalah Masjid Raya Sultan Riau.
Masjid peninggalan masa Kerajaan Riau-Lingga ini menjadi salah satu lokasi para pengunjung untuk berfoto serta menunaikan ibadah shalat lima waktu. Pembangunan masjid ini dilakukan masyarakat secara bergotong royong dengan memberikan bantuan tenaga, pikiran, hingga makanan.
Dengan banyaknya warga yang menyumbang telur, pada bahan bangunan masjid ini konon dicampur putih telur yang tidak termakan. Karenanya, masjid ini kerap kali dikenal sebagai masjid putih telur.
Bergeser ke lokasi lain yang juga kental akan sejarah serta tidak dipungut biaya masuk alias gratis, pengunjung dapat berkeliling menuju Benteng Pertahanan Bukit Kursi. Benteng ini masih berkaitan dengan kerajaan Riau-Lingga yang menjadikan benteng terbesar di Pulau Penyengat ini sebagai pusat pertahanan pada masa Yang Dipertuan Muda ke-IV, Raja Haji Fisabililah. Di Benteng ini, masih menyimpan meriam-meriam yang ada di sudutnya.
Di sisi lain Pulau Penyengat, terdapat sebuah balai desa adat yang diberi nama Balai Adat Indera Perkasa, gedung yang menghadap ke laut ini bakal memanjakan pengunjung dengan nuansa Melayu yang kental dan sarat akan sejarah masa lalu.
Balai yang terdiri atas balai utama, dikelilingi lima balai kecil ini memiliki pekarangan yang cukup luas sehingga mampu menampung cukup banyak tamu untuk acara-acara besar.
Melihat lebih dekat di balai utama, terdapat deretan karya sastra berupa puisi yang disebut Gurindam 12 yang tersemat di dinding pintu masuk balai. Gurindam ini merupakan puisi Melayu lama karya Raja Ali Haji yang dikenal sebagai sastrawan serta Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat. Sajak indah itu selesai ditulis Raja Ali Haji pada 23 Rajab 1264 Hijriah atau 1874 Masehi pada saat ia berusia 38 tahun.
Berkeliling ke lokasi lain yang jaraknya tidak terlalu jauh, pengunjung dapat berwisata religi di makam Engku Putri Raja Hamidah dan Raja Ali. Makam ini rupanya menjadi salah satu lokasi wisata religi yang kerap didatangi wisatawan Nusantara (wisnus) maupun wisatawan mancanegara (wisman). Konon, pengunjung yang menginginkan momongan kerap kali memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa di tempat ini.
Menilik lebih dalam terkait seni budaya di Pulau Penyengat, terdapat prosesi khas Melayu, yakni prosesi tepuk tepung tawar yang dilakukan pada acara-acara tertentu ini memiliki makna yang mendalam dan lekat akan doa.
Berkesempatan menikmati prosesi khas adat Melayu ini, Menteri Pariwisata (Menparekraf) Sandiaga Uno mengungkapkan tradisi ini patut untuk dilestarikan karena memiliki makna yang mendalam.
“Ini merupakan tradisi yang sarat akan kearifan budaya kita, dan ini harus kita lestarikan karena itu mengandung banyak sekali dari doa yang baik,” ujar Mas Menteri, sapaan akrabnya.
Tradisi ini merupakan prosesi adat Melayu Riau peninggalan raja-raja terdahulu yang biasanya dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas terkabulnya satu keinginan atau usaha.
Sementara prosesi dilakukan dengan menaburkan “tepung tawar” yang terdiri dari berbagai bahan, di antaranya beras putih, beras yang dicampur bubuk kunyit, beras yang dipanggang tanpa minyak (beras bertih), air mawar yang dicampur sari beras atau dikenal bedak dingin atau air tepung tawar dan dicipratkan dengan media daun gandarusa, daun cuang-cuang, serta daun ribu-ribu.
Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Raja Ak Hafiz menuturkan, beras kunyit memiliki makna agar diberikan kemurahan rezeki, beras putih melambangkan kesucian serta air tepung tawar sebagai penyejuk hati.
Kuliner
Berwisata kurang lengkap rasanya jika belum menikmati sajian lokal khas daerah. Di Pulau Penyengat, lokasi kuliner sangat mudah dijumpai dan tak jauh dari dermaga kedatangan.
Pulau ini menyuguhkan kenikmatan makanan laut atau boga bahari yang masih segar dengan bumbu racikan khas seperti ikan bakar dengan bumbu merah yang tebal, disajikan dengan sambal terasi dan sambal acar yang pedas dan sedikit asam. Pilihan lain yakni ikan kuah asam pedas yang segar dan mengguncang lidah kala lapar melanda.
Sembari menunggu ikan maupun makanan laut lainnya dimasak, pengunjung akan ditawarkan seporsi otak-otak ikan bakar yang dibungkus dengan daun kelapa. Berbeda dengan otak-otak ikan yang kerap ditemui di Jakarta dengan warna putih pucat, otak-otak ikan di Pulau Penyengat ini justru berwarna merah dan memiliki aroma khas daun kelapa yang membungkusnya.
Kudapan ini disajikan begitu saja usai dibakar, tanpa didampingi sambal untuk cocolan. Varian otak-otak ikan pun ada dua macam, ada yang terbuat dari ikan dan sotong. Potongan daging ikan maupun sotong pun masih terlihat teksturnya, rasa gurih dengan sedikit pedas .
Hal lain yang unik di sini adalah minuman khas para raja Johor-Riau Lingga yang bisa dicicipi yang bernama air dohot.
Minuman tradisional yang masuk dalam nominasi minuman tradisional terpopuler dalam ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2019 ini dari buah kering berupa kurma China (buah dohot), kismis, longan/kelengkeng, buah kesemek, dan goji beri atau kici. Buah-buahan kering itu lantas dimasak hingga mendidih dan didiamkan selama 3-4 jam sebelum disajikan. Memiliki rasa manis yang ringan, serta aroma yang menyegarkan, minuman ini juga dikenal sebagai pembongkar panas alias pereda panas dalam serta memiliki khasiat melancarkan buang air besar secara alami.
Kunjungan Wisatawan
Pulau Penyengat yang berada di dalam gugusan Kepulauan Riau ini rupanya kerap kali dikunjungi wisatawan asal Malaysia dan Singapura. Hal ini tak lepas dari kerterkaitan dari sisi sejarah masa lalu, yakni kerajaan Riau-Lingga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, jumlah wisman yang berkunjung ke provinsi itu pada Mei 2023 tercatat sebanyak 52.430 wisman asal Singapura, kemudian sebanyak 15.647 wisman asal Malaysia.
Disusul 4.806 wisman India, kemudian 3.854 wisman Tiongkok, serta 2.102 kunjungan wisman Filipina.
Jumlah kunjungan wisman ke Kepri pada Mei 2023 juga mengalami peningkatan sebesar 316,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022.
Dengan keindahan serta kekayaan sejarah yang dimiliki, Pulau Penyengat termasuk kompleks istana yang ada di dalamnya, sejak 19 Oktober 1995 telah dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu situs warisan dunia.
Plt. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Luki Zaiman Prawira pun berharap, ke depannya pulau yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional ini mampu menarik kunjungan wisman dan wisnus lebih banyak lagi.
Pulau Penyengat sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya Nasional.
"Sebagai pulau bersejarah dan banyaknya karya sastra, zaman dulu sebagai sumber bahasa kita, bahasa Melayu, salah satunya Gurindam 12 serta banyaknya situs sejarah," ujarnya.
Dengan warisan sejarah lintas bangsa dan sepenting itu, Pulau Penyengat bakal menjadi objek wisata berkelas dunia yang dikunjungi lebih banyak lagi wisatawan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjelajahi Pulau Penyengat yang lekat akan adat Melayu Riau