Tanjungpinang (ANTARA) - Pemkot Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), melalui Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) membina 50 Kelompok Wanita Tani (KWT) guna memperkuat ketahanan pangan daerah.
"Satu KWT terdiri sekitar 10 sampai 20 orang," kata Kepala Bidang Pangan DP3 Kota Tanjungpinang, Yesi Perdeawati, Selasa.
Ia menyebut KWT tersebut digalakkan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam aneka jenis tanaman hortikultura, seperti cabai rawit, bawang merah, sawi, bayam, kol, kacang panjang, tomat serta pare.
Adapun bibit hingga pupuk tanaman dibantu oleh DP3 Tanjungpinang dengan melewati tahapan seleksi terlebih dahulu.
KWT yang menerima bantuan pertanian itu pada tahun pertama, maka tidak berhak lagi menerima di tahun kedua.
Namun setelah dua tahun kemudian, katanya, KWT bisa kembali mengajukan bantuan serupa ke DP3.
"Harapan kami, KWT dapat mandiri dan berkembang, sehingga tidak tergantung dengan bantuan pertanian dari pemerintah daerah," ujar Yesi.
Yesi menyampaikan pemanfaatan pekarangan rumah untuk bercocok tanam, minimal dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan keluarga tanpa harus membeli di pasar.
Di samping itu, lahan tanaman pangan yang dimanfaatkan KWT ialah pekarangan sendiri, sehingga tak perlu khawatir diganggu oleh orang lain.
Ia mengakui selama ini, warga Tanjungpinang hampir 100 persen menumpang di atas lahan milik perusahaan/orang lain untuk menanam tanaman pangan, seperti cabai. Jika sewaktu-waktu lahan itu dialih fungsikan, misalnya untuk tambak udang. Maka, produksi tanaman pangan ikut terhenti dan tak bisa lagi dipanen.
"Makanya, sekarang kita dorong tiap-tiap lingkungan RT, punya KWT untuk membangun ketahanan pangan, paling tidak dimulai dari keluarga," ujar Yesi.
Lebih lanjut Yesi mengutarakan Tanjungpinang termasuk daerah rawan ketahanan pangan, karena bukan sentra penghasil pertanian.
Menurutnya 98 persen kebutuhan pangan di ibukota Provinsi Kepri ini didatangkan dari daerah lain. Artinya, cuma dua persen yang bisa dipenuhi dari dalam daerah, yaitu komoditas cabai dengan jumlah produksi sebanyak 20 ton per tahun.
Ia menjelaskan kebutuhan cabai secara keseluruhan untuk warga Tanjungpinang, dipasok dari daerah Medan, Bukit Tinggi sampai Pulau Jawa.
Sedangkan komoditas lainnya, seperti bawang putih, 100 persen diimpor dari negara China melalui pintu masuk Singapura dan Malaysia.
"Termasuk bawang merah, ada yang diimpor dari Myanmar hingga India," ungkapnya.
Yesi menambahkan upaya yang bisa dilakukan DP3 bersama instansi terkait dalam menjaga ketersediaan bahan pangan di Tanjungpinang ialah, menjamin kelancaran distribusi bahan pangan dari daerah penghasil ke Kota Tanjungpinang.
Ketika distribusi lancar, maka akan berpengaruh pada stabilitas pasokan dan harga bahan pangan di daerah setempat.
"Apalagi distribusi pangan ke Tanjungpinang tidak bisa melalui jalur darat, melainkan dengan kapal laut atau pesawat udara. Ketika harga tiket pesawat mahal atau ombak laut kuat, tentu bisa mengganggu stok dan harga pangan," ucapnya.
Kendati demikian, Yesi memastikan sejauh ini stok bahan pangan di Tanjungpinang relatif aman dan harga terkendali.
Memang ada beberapa komoditas sembako naik di pasaran, seperti beras dan cabai, namun masih dalam batas wajar dipicu faktor cuaca dan gagal panen di daerah penghasil.
"Satu KWT terdiri sekitar 10 sampai 20 orang," kata Kepala Bidang Pangan DP3 Kota Tanjungpinang, Yesi Perdeawati, Selasa.
Ia menyebut KWT tersebut digalakkan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam aneka jenis tanaman hortikultura, seperti cabai rawit, bawang merah, sawi, bayam, kol, kacang panjang, tomat serta pare.
Adapun bibit hingga pupuk tanaman dibantu oleh DP3 Tanjungpinang dengan melewati tahapan seleksi terlebih dahulu.
KWT yang menerima bantuan pertanian itu pada tahun pertama, maka tidak berhak lagi menerima di tahun kedua.
Namun setelah dua tahun kemudian, katanya, KWT bisa kembali mengajukan bantuan serupa ke DP3.
"Harapan kami, KWT dapat mandiri dan berkembang, sehingga tidak tergantung dengan bantuan pertanian dari pemerintah daerah," ujar Yesi.
Yesi menyampaikan pemanfaatan pekarangan rumah untuk bercocok tanam, minimal dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan keluarga tanpa harus membeli di pasar.
Di samping itu, lahan tanaman pangan yang dimanfaatkan KWT ialah pekarangan sendiri, sehingga tak perlu khawatir diganggu oleh orang lain.
Ia mengakui selama ini, warga Tanjungpinang hampir 100 persen menumpang di atas lahan milik perusahaan/orang lain untuk menanam tanaman pangan, seperti cabai. Jika sewaktu-waktu lahan itu dialih fungsikan, misalnya untuk tambak udang. Maka, produksi tanaman pangan ikut terhenti dan tak bisa lagi dipanen.
"Makanya, sekarang kita dorong tiap-tiap lingkungan RT, punya KWT untuk membangun ketahanan pangan, paling tidak dimulai dari keluarga," ujar Yesi.
Lebih lanjut Yesi mengutarakan Tanjungpinang termasuk daerah rawan ketahanan pangan, karena bukan sentra penghasil pertanian.
Menurutnya 98 persen kebutuhan pangan di ibukota Provinsi Kepri ini didatangkan dari daerah lain. Artinya, cuma dua persen yang bisa dipenuhi dari dalam daerah, yaitu komoditas cabai dengan jumlah produksi sebanyak 20 ton per tahun.
Ia menjelaskan kebutuhan cabai secara keseluruhan untuk warga Tanjungpinang, dipasok dari daerah Medan, Bukit Tinggi sampai Pulau Jawa.
Sedangkan komoditas lainnya, seperti bawang putih, 100 persen diimpor dari negara China melalui pintu masuk Singapura dan Malaysia.
"Termasuk bawang merah, ada yang diimpor dari Myanmar hingga India," ungkapnya.
Yesi menambahkan upaya yang bisa dilakukan DP3 bersama instansi terkait dalam menjaga ketersediaan bahan pangan di Tanjungpinang ialah, menjamin kelancaran distribusi bahan pangan dari daerah penghasil ke Kota Tanjungpinang.
Ketika distribusi lancar, maka akan berpengaruh pada stabilitas pasokan dan harga bahan pangan di daerah setempat.
"Apalagi distribusi pangan ke Tanjungpinang tidak bisa melalui jalur darat, melainkan dengan kapal laut atau pesawat udara. Ketika harga tiket pesawat mahal atau ombak laut kuat, tentu bisa mengganggu stok dan harga pangan," ucapnya.
Kendati demikian, Yesi memastikan sejauh ini stok bahan pangan di Tanjungpinang relatif aman dan harga terkendali.
Memang ada beberapa komoditas sembako naik di pasaran, seperti beras dan cabai, namun masih dalam batas wajar dipicu faktor cuaca dan gagal panen di daerah penghasil.