Istanbul (ANTARA) - Pengeboman di Gaza yang sudah berlangsung selama hampir tiga pekan telah menyebabkan penderitaan yang mengerikan bagi anak-anak, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan air.
Ketika berbicara kepada Anadolu, Abdul Latif Baker, 10 tahun, mengungkapkan perjuangannya sehari-hari untuk bertahan hidup.
Ia mengatakan dia harus berusaha keras untuk bisa makan, dan terpaksa memanggang rotinya sendiri di atas api di luar karena pendudukan Israel telah menghancurkan toko-toko roti dan rumah-rumah mereka.
“Kami hampir tidak bisa mendapatkan air, dan air ini biasanya tidak bisa diminum," katanya, menambahkan.
“Kami keluar mencari karton dan kayu bakar untuk menyalakan api dan membuat roti,” kata Majd Al-Hessi, yang berusia 12 tahun.
Majd berharap agar perang segera berakhir.
“Saya tidak ingin kehilangan keluarga atau teman-teman saya.”
Sementara itu, Mohammad Baker, 16 tahun, mengungkapkan bahwa dia ingin menjadi dokter atau insinyur suatu hari nanti. Dia juga mengatakan sangat ingin merasakan kebebasan dan bisa melihat tanah airnya merdeka.
Hampir 7.200 orang tewas dalam perang Israel-Hamas, termasuk sedikitnya 5.791 warga Palestina dan 1.400 warga Israel.
Sebanyak 2,3 juta penduduk Gaza sudah mulai kehabisan makanan, air, obat-obatan dan bahan bakar, sedangkan konvoi bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Gaza masih jauh dari mencukupi.
Sementara itu, dalam pemberitaan sebelumnya disebutkan, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada Rabu mengatakan blokade Israel selama bertahun-tahun di Gaza telah menyebabkan 80 persen warganya bergantung pada bantuan internasional.
“Sebelum krisis saat ini, blokade selama puluhan tahun telah melemahkan perekonomian Gaza, menyebabkan 80 persen penduduknya bergantung pada bantuan internasional,” kata UNCTAD dalam sebuah pernyataan.
Badan tersebut mengatakan tingkat pengangguran di Gaza pada 2022 mencapai 45 persen, dibandingkan dengan 13 persen di Tepi Barat.
Pernyataan tersebut juga mencatat bahwa pada 2022, Palestina menghadapi sejumlah tantangan yang semakin besar, termasuk pencaplokan tanah dan sumber daya alam oleh Israel, kemiskinan endemik, menyusutnya ruang fiskal, penurunan bantuan luar negeri, dan penumpukan utang publik dan swasta.
UNCTAD menyebut tinggal di Gaza pada 2022 berarti terkurung di salah satu ruang terpadat di dunia. Warga Gaza sering kali mengalami pemadaman listrik, kekurangan air bersih, dan sistem pembuangan limbah yang tidak memadai.
Jalur Gaza saat ini berada dalam situasi yang sangat sulit. Serangan gencar Israel telah menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, dan lebih dari separuh penduduknya telah mengungsi. Lebih dari 6.546 orang terbunuh dalam serangan Israel di Gaza.
Sebanyak 2,3 juta penduduk Gaza mulai kehabisan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar. Adapun konvoi bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Gaza hanya membawa sebagian kecil dari yang dibutuhkan.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Anak-anak di Gaza kesulitan dapat makanan dan air bersih
Ketika berbicara kepada Anadolu, Abdul Latif Baker, 10 tahun, mengungkapkan perjuangannya sehari-hari untuk bertahan hidup.
Ia mengatakan dia harus berusaha keras untuk bisa makan, dan terpaksa memanggang rotinya sendiri di atas api di luar karena pendudukan Israel telah menghancurkan toko-toko roti dan rumah-rumah mereka.
“Kami hampir tidak bisa mendapatkan air, dan air ini biasanya tidak bisa diminum," katanya, menambahkan.
“Kami keluar mencari karton dan kayu bakar untuk menyalakan api dan membuat roti,” kata Majd Al-Hessi, yang berusia 12 tahun.
Majd berharap agar perang segera berakhir.
“Saya tidak ingin kehilangan keluarga atau teman-teman saya.”
Sementara itu, Mohammad Baker, 16 tahun, mengungkapkan bahwa dia ingin menjadi dokter atau insinyur suatu hari nanti. Dia juga mengatakan sangat ingin merasakan kebebasan dan bisa melihat tanah airnya merdeka.
Hampir 7.200 orang tewas dalam perang Israel-Hamas, termasuk sedikitnya 5.791 warga Palestina dan 1.400 warga Israel.
Sebanyak 2,3 juta penduduk Gaza sudah mulai kehabisan makanan, air, obat-obatan dan bahan bakar, sedangkan konvoi bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Gaza masih jauh dari mencukupi.
Sementara itu, dalam pemberitaan sebelumnya disebutkan, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada Rabu mengatakan blokade Israel selama bertahun-tahun di Gaza telah menyebabkan 80 persen warganya bergantung pada bantuan internasional.
“Sebelum krisis saat ini, blokade selama puluhan tahun telah melemahkan perekonomian Gaza, menyebabkan 80 persen penduduknya bergantung pada bantuan internasional,” kata UNCTAD dalam sebuah pernyataan.
Badan tersebut mengatakan tingkat pengangguran di Gaza pada 2022 mencapai 45 persen, dibandingkan dengan 13 persen di Tepi Barat.
Pernyataan tersebut juga mencatat bahwa pada 2022, Palestina menghadapi sejumlah tantangan yang semakin besar, termasuk pencaplokan tanah dan sumber daya alam oleh Israel, kemiskinan endemik, menyusutnya ruang fiskal, penurunan bantuan luar negeri, dan penumpukan utang publik dan swasta.
UNCTAD menyebut tinggal di Gaza pada 2022 berarti terkurung di salah satu ruang terpadat di dunia. Warga Gaza sering kali mengalami pemadaman listrik, kekurangan air bersih, dan sistem pembuangan limbah yang tidak memadai.
Jalur Gaza saat ini berada dalam situasi yang sangat sulit. Serangan gencar Israel telah menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, dan lebih dari separuh penduduknya telah mengungsi. Lebih dari 6.546 orang terbunuh dalam serangan Israel di Gaza.
Sebanyak 2,3 juta penduduk Gaza mulai kehabisan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar. Adapun konvoi bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Gaza hanya membawa sebagian kecil dari yang dibutuhkan.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Anak-anak di Gaza kesulitan dapat makanan dan air bersih