Jalur Gaza, Palestina (ANTARA) - Warga Palestina di Jalur Gaza menyambut bulan suci Ramadan di antara reruntuhan bangunan dan kelaparan akibat 16 bulan perang tanpa henti yang telah mengubah daerah kantong itu menjadi zona bencana.
Sebelum perang, jalan-jalan di Gaza menjadi hidup dengan panggilan untuk shalat yang menandai datangnya Ramadan. Pasar-pasar dihiasi dengan lampu-lampu perayaan dan anak-anak melafalkan ayat-ayat Al Quran.
Sekarang, tradisi itu hanya tinggal kenangan. Suara adzan tenggelam oleh tangisan para korban, sementara pasar yang dulu ramai kini hanya tinggal tumpukan puing.
Setiap sudut Gaza menyimpan luka-luka perang dengan banyak rumah, masjid, dan sekolah hancur.
Namun, meskipun mengalami penderitaan luar biasa, warga Palestina di Gaza tetap berupaya melestarikan tradisi Ramadan mereka.
Di antara reruntuhan, lentera-lentera digantung, dan mural-mural warna-warni dilukis di dinding-dinding yang hancur, sebagai upaya untuk menghadirkan secercah harapan di antara kenyataan yang suram.
"Kami menciptakan kehidupan dari warna-warna," kata seorang pemuda yang menghiasi jalan-jalan, kepada Anadolu.
"Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan. Kami menyambut Ramadan dengan harapan bahwa Ramadan akan membawa kedamaian dan keamanan."
Di Khan Younis, Gaza selatan, seorang pria Palestina berdiri di kiosnya yang menjual Qatayef, kue kering tradisional Ramadan yang menjadi makanan pokok ketika berbuka puasa.
“Suasana tahun ini adalah yang tersulit yang pernah kami alami,” katanya kepada Anadolu.
“Tidak ada kegembiraan, tidak ada perayaan. Pada tahun-tahun sebelumnya, genderang akan bergema di jalan-jalan, dekorasi digantung, dan kebahagiaan akan terasa. Tetapi hari ini, semuanya berbeda.”
Kursi kosong saat berbuka puasa
Ramadhan di Gaza kali ini tidak seperti sebelumnya. Pertemuan keluarga yang dulu menjadi ciri khas bulan suci kini dibayangi oleh kesedihan, karena puluhan ribu orang berduka atas orang-orang terkasih yang hilang dalam perang.
Bantuan makanan langka, dan persediaan terbatas yang masuk ke Gaza melalui pedagang harganya jauh melampaui apa yang mampu dibeli oleh banyak keluarga yang kehilangan mata pencaharian mereka.
“Lebih dari dua juta orang menghadapi kekurangan pasokan makanan pokok. Harga telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat kelangsungan hidup sehari-hari menjadi semakin sulit,” kata Ismail Al-Thawabta, direktur jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza, kepada Anadolu.
“Puluhan ribu orang yang mengungsi tinggal di kamp-kamp yang bahkan tidak memiliki kebutuhan paling mendasar,” ujarnya, menambahkan.
Kota yang hancur
Setiap bagian Jalur Gaza menceritakan kisah kehancuran. Lingkungan yang dulunya berkembang pesat kini hancur menjadi puing-puing, sementara penduduknya terbunuh, mengungsi, atau terpaksa berjuang untuk bertahan hidup.
Namun, terlepas dari semua itu, warga Palestina tetap bertekad untuk menjalankan ibadah Ramadan.
Salat Tarawih akan diadakan di antara reruntuhan, dan doa akan dikumandangkan dari sisa-sisa masjid yang hancur.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Warga Gaza sambut Ramadan di antara reruntuhan dan kelaparan
Komentar