Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menyoroti ruwetnya proses perizinan penyelenggaraan event, yang menyebabkan Indonesia ketinggalan konser penyanyi pop Amerika, Taylor Swift.

Menurut Jokowi, Indonesia kalah cepat dibandingkan Singapura dalam urusan perizinan penyelenggaraan event, kemudahan akses, dan pelayanan untuk mendatangkan artis-artis internasional tersebut.

“Kita tahu, yang baru saja diselenggarakan (konser) Taylor Swift di Singapura pada Maret lalu. Diselenggarakan enam hari di Singapura dan Singapura adalah satu-satunya negara ASEAN yang menyelenggarakan itu,” kata dia dalam Peresmian Peluncuran Digitalisasi Layanan Perizinan Penyelenggaraan Event di Jakarta, Senin.

Presiden pun meyakini bahwa separuh dari total 360.000 penggemar Taylor Swift yang menonton konser di Singapura, adalah warga Indonesia.

“Apa yang terjadi kalau kita berbondong-bondong nontonnya ke Singapura? Itu ada yang namanya capital outflow. Aliran uang dari Indonesia menuju ke Singapura. Kita kehilangan. Kehilangan uang bukan hanya untuk beli tiket, tetapi kehilangan uang Indonesia untuk bayar hotel, makan, untuk transportasi,” ujar Jokowi.

Selain Taylor Swift, Presiden Jokowi menyebut rumitnya proses perizinan menjadi alasan Coldplay hanya menyelenggarakan satu kali konsernya di Indonesia pada November tahun lalu.

Padahal, di negara lain seperti Singapura dan Thailand, band asal Inggris itu tampil hingga beberapa hari karena besarnya antusiasme penonton.

“Saya pastikan lebih dari separuh (penontonnya) dari Indonesia, karena di sini tiketnya baru 20 menit saja sudah habis (terjual), tetapi mau nambah tidak bisa. Kenapa? Saya tanya ke penyelenggara, karena memang urusan perizinan kita ruwet,” tutur Jokowi.

"Padahal yang saya dengar kualitas suara sound system waktu Coldplay di GBK dengan yang di sana (luar negeri), itu bagus yang di sini. Ini yang harus kita tepuk tangani. Tetapi (Indonesia) hanya dapat sehari. Inilah yang harus kita selesaikan," katanya, menambahkan.

Jokowi merasa lemas...
 



Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo mengaku sempat merasa "lemas" saat mengetahui penyelenggaraan ajang balap MotoGP Mandalika di Nusa Tenggara Barat perlu mengurus sekurangnya 13 perizinan.

Presiden mengemukakan hal itu ketika memberikan contoh kerumitan perizinan penyelenggaraan acara internasional maupun nasional di Indonesia dalam arahannya pada acara Peresmian Peluncuran Digitalisasi Layanan Perizinan Penyelenggaraan Event di Jakarta, Senin.

"Saya beri contoh MotoGP di Mandalika, saya cek kepada panitia, ini efeknya luar biasa, dampak ekonominya Rp4,3 triliun. Bisa menyerap, melibatkan tenaga kerja itu 8.000 orang. UMKM yang terlibat kurang lebih 1.000. Begitu saya tanya bagaimana mengenai perizinan, 'lemas' saya, ternyata ada 13 izin yang harus diurus," ujar Jokowi.

Presiden menyampaikan keruwetan perizinan dalam penyelenggaraan MotoGP itu salah satunya karena banyaknya nama surat perizinan. mulai dari surat rekomendasi, surat pemberitahuan, hingga lainnya.

Menurut Kepala Negara, surat-surat itu sama saja halnya dengan bentuk perizinan, yang seluruhnya membuat perizinan menjadi rumit.

Jokowi memerinci penyelenggaraan ajang MotoGP Mandalika memerlukan perizinan, antara lain, mulai dari surat persetujuan desa, surat rekomendasi Ikatan Motor Indonesia (IMI) NTB dan IMI Pusat, surat rekomendasi dari polsek, polres, Polda NTB, hingga Mabes Polri.

Tidak hanya itu, penyelenggaraannya juga memerlukan surat dukungan dari RSUD NTB, dinas kebakaran, surat pemberitahuan kepada Bea Cukai karena mendatangkan barang-barang dari luar, surat pemberitahuan ke Kawasan Ekonomi Khusus NTB, hingga surat pemberitahuan kepada Indonesia National Single Window (INSW).

"Kalau saya jadi penyelenggara event itu 'lemas' sebelum bertanding event-nya. Mungkin masih ada tambahan lagi izin yang sudah saya sebut, atau mungkin duit saya sudah habis dahulu sebelum event terjadi," kata Jokowi.




Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jokowi: Perizinan ruwet, Indonesia ketinggalan konser Taylor Swift

Pewarta : Yashinta Difa Pramudyani
Editor : Yuniati Jannatun Naim
Copyright © ANTARA 2024