Kala itu pelabuhan Negeri Riau di Bumi Melayu mampu tampil menjadi tempat berkumpulnya kapal-kapal dagang yang datang dari Nusantara, Asia bahkan Eropa.
Utusan-utusan kapal dagang VOC-Belanda yang datang berdagang ke pelabuhan itu, sangat kagum dengan kemampuan Negeri Riau dalam mengelola pelabuhannya pada masa Laksamana Tun Abdul Jamil ini.
Situasi pelabuhan Negeri Riau ketika itu menyerupai peranan yang telah dimainkan oleh pelabuhan Negeri Melaka lebih dari seratus tahun sebelumnya.
Pelabuhan Negeri Riau yang sekaligus jadi pusat pemerintahan kerajaan Riau Lingga Johor Pahang di Sungai Carang, ketika itu digambarkan sebagai sebuah entrepot antarbangsa. Sebuah pelabuhan penyalur komoditi dagang antarbangsa yang dilengkapi dengan gudang-gudang, dan pegawai-pegawai yang terampil dalam mengendalikan dan mengatur arus keluar masuk barang niaga.
Meskipun tidak memproduksinya, ketika itu Negeri Riau mampu menyediakan komoditi lada, timah, dan berbagai jenis kain corak terbaru dengan harga yang murah.
Begitu pula halnya dengan berbagai komoditi dagang lainnya yang dibutuhkan dalam perdagangan antarbangsa pada abad 17 dan 18 itu.
Willem Valentyn dalam misinya ke Kerajaan Johor, melaporkan bahwa pelabuhan Negeri Riau ketika itu juga mampu menyediakan emas, kayu gaharu, kelembak (sejenis gaharu juga), batu benzoar yang digunakan untuk bahan obat, sarang burung, gading, kapur barus, tembaga, beras, sutera putih dari Cina, tembikar, kuali besi Cina, laken (sejenis kain merah), benang emas Jepang, dan Candu.
Komoditi utama yang dihasilkan oleh Negeri Riau adalah gambir, hasil hutan, lada dan juga hasil laut.
Semua itu menjadi faktor daya tarik utama orang datang ke Riau. Namun seiring berjalan waktu, kegemilangan pelabuhan Negeri Riau seakan tinggal cerita.
Sungai Carang yang kini bagian dari Kota Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau itu tidak lagi dilewati kapal-kapal besar. Sesekali hanya dilewati kapal nelayan berukuran kecil. Kawasan yang tadinya riuh dengan suara aktivitas kapal dagang antarabangsa, telah berubah sunyi bagai kota mati tak berpenghuni.
Sri Bintan Pura
Lebih kurang seabad berlalu, kejayaan pelabuhan Riau tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Kepulauan Riau. Pasang surut pelabuhan Riau juga tidak dapat dilepaskan dari hubungan Riau Johor dengan Belanda.
Konon di zaman Kerajaan Riau Lingga,
Belanda dan Inggris juga terlibat persaingan sengit dalam perebutan penguasaan ekonomi maritim. Inggris membangun Singapura sebagai pelabuhan yang utama di Selat Melaka.
Belanda pun mengantisipasinya dengan membangun pelabuhan-pelabuhan bebas untuk menyaingi Singapura. Salah satunya pelabuhan Tanjungpinang, cikal bakal pelabuhan Sri Bintan Pura (SBP) yang sekarang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia I atau Pelindo I (Persero).
Menurut Peneliti Pusat Penelitian Arekologi Nasional Dedi Arman, pelabuhan Tanjungpinang dibangun Belanda sebagai pelabuhan internasional untuk menyaingi Singapura yang dikuasai Inggris tahun 1825.
Tahun 1829, pelabuhan Tanjungpinang menjadi pelabuhan bebas. Beberapa pelabuhan bebas lainnya juga dibangun oleh Belanda, seperti di Sambas, Pontianak, Sukadana, Lampung, Makasar, Manado, Kema, Ambon, Banda, Ternate, dan Kaili. Pelabuhan-pelabuhan ini dibuka sebagai pelabuhan ekspor dan impor kapal-kapal asing.
Namun dalam perjalanannya, keberadaan pelabuhan bebas itu gagal menyaingi Singapura, karena negara tetangga diuntungkan berada di dekat Selat Malaka, yang kemudian sekarang dikenal sebagai jalur perdagangan tersibuk di dunia.
Kondisi yang demikian itu akhirnya membuat Belanda memilih menutup pelabuhan bebas atau internasional. Satu di antaranya pelabuhan Tanjungpinang.
Setelahnya, Belanda mulai membangun sarana dan fasilitas pelabuhan Tanjungpinang dengan konstruksi kayu, persisnya pada tahun 1925. Tanjungpinang kala itu menjadi pusat ibu kota Keresidenan Riau. Ini terjadi setelah Kerajaan Riau Lingga resmi dibubarkan pada tahun 1913.
Sementara itu, Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang baru diresmikan pada tanggal 21 Januari 1984 oleh Direktur Jendral Perhubungan Laut, Pongky Soeparjo bertepatan dengan peresmian terminal penumpang.
Menurut Dedi Arman nama Sri Bintan Pura bermakna "Pintu gerbang Kepulauan Riau yang permai dan terletak di pulau Bintan (Tanjungpinang-Bintan) yang gemerlapan".
Sri Bintan Pura sampai sekarang menjadi satu-satunya pelabuhan penumpang dan barang di Pulau Bintan yang dikelola Pelindo I Cabang Tanjungpinang.
Pelabuhan zaman now
Di bawah pengelolaan PT Pelindo I sebagai salah satu BUMN yang bergerak di bidang jasa kepelabuhan di Indonesia. Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang terus berkembang menjadi salah satu pelabuhan penumpang terpadat di Indonesia.
Jumlah penumpang di pelabuhan Sri Bintan Pura mencapai 2.800 sampai 3.000 orang per hari. Terdiri dari penumpang pelabuhan domestik maupun internasional. Saat akhir pekan, jumlahnya bisa melonjak sampai 4.000 orang per hari.
Pelabuhan ini memiliki 66 armada kapal yang melayani pelayaran antarpulau. Seperti Batam, Karimun, Lingga hingga ke pulau terluar Indonesia, yakni Natuna dan Anambas.
Di samping itu, juga menjadi gerbang utama masuknya para wisatawan mancanegara (Wisman) melalui pelayaran internasional dari dan ke negara tetangga Malaysia serta Singapura.
Turis asing memang gemar berwisata ke Pulau Bintan, terutama kawasan wisata Lagoi di Kabupaten Bintan. Sebuah destinasi wisata bertaraf internasional yang terkenal dengan panorama alam semula jadi dan keindahan pantainya. Sebaliknya, warga Kepulauan Riau gemar bepergian ke negeri jiran, baik itu untuk kepentingan liburan, pekerjaan hingga pengobatan orang sakit.
Namun, sekarang kondisinya agak sedikit berbeda, sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, lebih khusus Kepulauan Riau pada awal tahun 2020. Jumlah penumpang berikut aktivitas pelayaran di pelabuhan Sri Bintan Pura mengalami penurunan drastis.
Pelabuhan domestik hanya melayani dua atau tiga kali pelayaran penumpang dalam sehari. Sementara aktivitas di pelabuhan internasional lumpuh total sejak akhir Maret 2020. Ini imbas adanya larangan perjalanan orang lintas negara di tengah kondisi pandemi COVID-19.
Dampak dari kebijakan itu, pendapatan Pelindo I dari pass masuk penumpang internasional pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang hilang sekitar Rp1,5 miliar per bulan selama pandemi.
Buat sementara waktu pelabuhan yang berada persis di depan pulau bersejarah "Pulau Penyengat" itu hanya mengandalkan pendapatan dari pass masuk penumpang domestik dengan rata-rata mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
"Sekarang aktivitas kapal domestik sudah berangsur ramai lagi, seiring melandainya penyebaran kasus COVID-19 di Kepulauan Riau," kata Asisten Manajer Pelayanan Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang Raja Junjungan Nasution.
Di sisi lain, Pelindo I Cabang Tanjungpinang terus berinovasi mengikuti perkembang Zaman Now atau erat kaitannya dengan kemajuan teknologi terkini. Ini guna meningkatkan mutu pelayanan maksimal kepada masyarakat pengguna jasa di pelabuhan itu.
Sejak tahun 2017, pelabuhan Sri Bintan Pura menjadi satu-satunya pelabuhan di Indonesia yang menerapkan sistem pembayaran non tunai atau digital.
Pelabuhan itu telah memberlakukan e-Birthing untuk jasa tambat kapal, e-Money untuk biaya masuk pelabuhan dan e-Pass untuk biaya masuk pelabuhan dengan menggunakan e-Money.
Khusus E-Money, Pihak Pelindo I bekerjasama dengan Bank Mandiri, BNI dan BRI.
"Program transaksi elektronik ini dilakukan sebagai upaya mendukung program pemerintah meminimalisir pungutan liar," kata Junjungan.
Sebagai catatan, Pelindo I Cabang Tanjungpinang membawahi empat zona pelabuhan di Pulau Bintan. Selain pelabuhan Sri Bintan Pura, ada Pelabuhan bongkar muat Sri Payung di kilometer enam Tanjungpinang, Pelabuhan peti kemas Sri Bayintan dan Pelabuhan khusus Kapal Tanker di Tanjung Uban, Kabupaten Bintan.
Optimalisasi bisnis maritim
Provinsi Kepulauan Riau dengan letak geografis 96 persen lautan (4 persen daratan) diklaim memiliki potensi bisnis maritim yang besar, namun selama ini belum tergarap secara maksimal.
Dengan sumber daya alam laut yang begitu melimpah, ianya diyakini dapat menopang perekonomian daerah hingga nasional di tengah sulitnya ekonomi dipicu pandemi COVID-19.
Berdasarkan catatan pengamat maritim Kepulauan Riau Iskandarsyah. Sektor maritim di wilayah itu mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp6 triliun per tahun. Asal dikelola secara baik dan profesional.
Salah satu sektor potensial yang bisa dikelola, yaitu pemanfaatan ruang laut 0-12 mil. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dari situ terdapat beberapa turunan bisnis yang bisa digenjot, antara lain retribusi jasa labuh jangkar, reparasi kapal, suplai bahan pokok serta kebutuhan logistik lainnya bagi kapal-kapal besar yang berlabuh di perairan itu.
Dirjen Politik dan Pemerintah Umum Kemendagri Bahtiar Bacharuddin pun pernah menyoroti sektor maritim di Kepulauan Riau belum dimanfaatkan secara optimal bagi mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD). Tak heran kalau pendapatan daerah atau APBD setempat, 65 persen bergantung dengan dana transfer pemerintah pusat atau APBN.
Sementara 97 persen pendapatan murni di Kepulauan Riau berasal dari sektor pajak kendaraan bermotor (PKB). Artinya, dari sektor maritim sangat kecil sekali, hanya sekitar tiga persen. Provinsi ini ternyata belum mampu memanfaatkan sekaligus menikmati hasil dari laut yang begitu luas.
Potensi kekayaan maritim di Kepulauan Riau ini rupanya tidak luput begitu saja dari pantauan dan perhatian Pelindo I.
Pada tahun ini perusahaan yang mengelola 16 cabang pelabuhan di Provinsi Aceh, Sumut, Riau, dan Kepulauan Riau itu menargetkan memperkuat marine service atau layanan kelautan sebagai salah satu strategi perseroan.
Pengembangan bisnis ini akan dipusatkan di wilayah Selat Malaka dan Kepulauan Riau (Kepri).
"Berada di tengah Selat Malaka sebagai jalur perdagangan tersibuk di dunia yang dilintasi 80.000 kapal per tahun, kegiatan marine service ini merupakan hal yang sangat penting,” ujar Direktur Operasional dan Komersial Pelindo I Ridwan Sani Siregar melalui siaran pers tertulis, Selasa (8/6).
Pelindo I akan terus mengembangkan layanan pemanduan dan penundaan kapal di Kuala Tanjung PIE yang memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang secara cepat.
Lokasinya yang berada di tengah jalur utama Selat Malaka yang dilewati 25 persen komoditas perdagangan dunia dan didukung hinterland yang kuat di 10 provinsi di Pulau Sumatra, menjadikan posisi Kuala Tanjung PIE semakin strategis dan berpotensi besar sebagai simpul penting dalam jaringan logistik dan supply chain global.
Kuala Tanjung PIE terdiri dari dua bagian yang saling terintegrasi, yaitu Kawasan Pelabuhan (Kuala Tanjung Multipurpose Terminal) dan Kawasan Industri (Kuala Tanjung Industrial Zone).
Kemudian, intelligent marketing dilakukan dengan fokus melakukan identifikasi customer khususnya di wilayah Batam, Karimun, dan perairan Selat Malaka.
Pelindo I akan meningkatkan pasar pelayanan kegiatan ship to ship (STS) di cabang pelabuhan Tanjung Balai Karimun dan Pulau Nipah, Kepulauan Riau.
Dalam bisnis marine service, kata Ridwan, Pelindo I dapat melaksanakan kegiatan labuh jangkar (anchorage area) di Perairan Nipah dengan alih muat (ship to ship), pencucian kapal (tank cleaning), pencampuran bahan (blending), pengisian minyak atau air bersih (bunker), dan berlabuh jangkar (logistic supply, Laid Up & Ship Chandler) sesuai dengan izin yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan.
Hal yang sama juga dilaksanakan di Perairan Tanjung Balai Karimun. Pihaknya optimis bisnis STS transfer di Karimun dan Nipah bisa terus berkembang. Pelindo I terus berupaya menjalin kerjasama dengan pemilik kapal dan melakukan direct marketing kepada customer untuk masuk ke Karimun maupun Nipah.
Pelindo I pun sedang melakukan evaluasi terhadap regulasi perairan Iyu Kecil Nongsa sehingga dapat dilakukan pelayanan marine advisory untuk menjamin keselamatan kapal saat melintasi perairan tersebut.
Perairan Iyu Kecil Nongsa merupakan bagian dari perairan Selat Malaka dengan perlintasan kapal yang padat, dangkal, dan sempit, sehingga diperlukan wajib pandu di perairan tersebut.
"Dengan wajib pandu di daerah tersebut, maka akan memberikan rasa aman dan nyaman serta mengurangi pencemaran laut akibat kecelakaan kapal yang melintasi perairan tersebut, “jelas Ridwan.
Selanjutnya, Pelindo I turut memperluas jaringan dengan melakukan kolaborasi dan partnership. Pelindo I bekerja sama dengan berbagai pihak untuk optimalisasi bisnis marine service. Salah satu mitra yang digandeng adalah PT Kawasan Industri Dumai (KID). Kolaborasi kedua belah pihak ditandai dengan penandatanganan kerjasama operasi pelayanan jasa pemanduan, penundaan dan jasa lainnya di Jakarta pada Maret 2021.
Kerja sama tersebut dilakukan untuk kegiatan pelayanan kapal di Tersus milik PT KID – Pelintung dalam jangka waktu selama 5 tahun. Hal ini merupakan bentuk komitmen Pelindo I dalam pemenuhan kewajiban sebagai operator pelabuhan dalam memberi kepastian Keselamatan Pelayaran.
Terakhir adalah dengan menerapkan IoT pada sektor bisnis marine service. Pelindo I terus menginisiasi dan mengembangkan sejumlah layanan digital di seluruh lingkungan Pelindo I yang didesain khusus bagi para pengguna jasa agar dapat diakses secara mudah, aman, dan di mana saja.
Layanan digital kepelabuhanan yang dikembangkan Pelindo I berupa i-Marine dan Port Operation Command Center (POCC). Pelindo I juga akan meningkatkan pasar pelayanan kegiatan ship to ship (STS) di cabang pelabuhan Tanjung Balai Karimun dan Pulau Nipah, Kepulauan Riau.
Sistem i-Marine dapat membantu pengguna jasa membuat perencanaan tambat, layanan online meeting, informasi posisi kapal, layanan pemanduan dan penundaan secara online, air kapal, dispatching pilot assignment, dan tugboat secara real time. Ada pun sistem POCC digunakan sebagai pusat kendali dan koordinasi pelayanan kapal dan terminal serta monitoring antrean kapal.
Lanjut Ridwan menjelaskan sistem i-Marine dan POCC ini memiliki kontribusi signifikan dalam mendukung bisnis kepelabuhanan, seperti memaksimalkan ketepatan perencanaan penambatan, meningkatkan kinerja operasional, memastikan tercapainya one day billing, ketepatan dalam koordinasi dan pengambilan keputusan serta menyediakan informasi jadwal kegiatan kapal, bongkar muat, dan kegiatan operasional pelabuhan lainnya secara real time.
Pengembangan layanan bisnis marine service juga seiring dengan peningkatan layanan digitalisasi pelabuhan untuk memberikan kemudahan dan nilai tambah bagi Pelindo I.
Harapannya, Pelindo I mampu memberikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para pengguna jasa.
Masa depan pelabuhan Indonesia
Seakan ingin mengulang kembali kejayaan pelabuhan Nusantara masa lampau, untuk masa depan pelabuhan Indonesia yang lebih baik. Pemerintah pusat melalui Kementerian BUMN mengambil kebijakan merger PT Pelindo yang direncanakan mulai berjalan 1 Oktober 2021.
Mengutip KBBI, Merger adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan sehingga terbentuk sebuah bisnis hasil merger yang baru.
Dengan begitu, Pelindo yang dulunya dibagi per wilayah kerja yakni Pelindo I, II, III dan IV. Maka sebentar lagi akan beralih status menjadi satu layanan kepelabuhan Indonesia atau BUMN Pelabuhan Indonesia (Persero).
Direktur SDM Pelindo III Edi Priyanto dalam Webinar Executive Talks yang ditaja Airangga Executive Education, Rabu (15/9), mengatakan penggabungan empat badan usaha itu diharapkan dapat meningkatkan konektivitas nasional, standarisasi layanan pelabuhan nasional dan layanan logistik yang integerasi.
Penggabungan ini juga akan memudahkan koordinasi dalam pengembangan kawasan industri dan ekonomi khusus di area sekitar pelabuhan masing-masing.Ini harapannya akan mendorong peningkatan konektivitas daerah hinterland atau pesisir. Ouputnya diharapkan dapat meningkatkan volume perdagangan, ekspor-impor dan logistik yang makin meningkat.
"Dampaknya, berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah hingga nasional," kata Edi.
Berdasarkan kajian komprehensif, pemerintah memang memilih merger dibanding holding seperti kebanyakan BUMN lainnya. Ini karena merger Pelindo dianggap paling sesuai dalam menata bisnis pelabuhan di Indonesia agar lebih baik.
Meskipun Pelindo I sampai IV memiliki wilayah kerja yang berbeda, namun bisnis yang dijalankan tetap sama yaitu di bidang jasa. Baik itu petikemas dan non petikemas, marine hingga logistik.
Dengan adanya penggabungan ini, maka ke depan kontrol dan kendali teknis akan jadi lebih lebih baik. Perencanaannya juga akan lebih holistik untuk pengembangan jaringan pelabuhan dan harapannya secara bertahap dapat menurunkan biaya logistik yang masih tinggi.
Namun demikian, proses merger ini dipastikan tak berjalan mulus. Ada tantangan yang harus dihadapi. Khususnya di lingkup internal Pelindo itu sendiri.
Sebagai contoh saja, setelah merger nanti perusahaan menjadi satu kesatuan organisasi. Perubahan jabatan dan posisi adalah hal yang paling logis terjadi. Bisa jadi posisi itu hilang, berkurang atau bahkan bertambah. Tak ayal, ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran bagi sumber daya manusia (SDM) di Pelindo.
Oleh karena itu, kata Edi, penting bagi Pelindo mengantisipasi dampak merger ini jangan sampai menimbulkan gejolak karyawan di lingkungan Pelindo I sampai IV yang totalnya mencapai 6.000 orang.
Jauh-jauh hari pihaknya telah melakukan sosialisasi merger Pelindo dari level direktur, komisaris, strukutural, karyawan dan berkomunikasi aktif dengan serikat pekerja.
Pelindo selalu menekankan bahwa penggabungan ini tidak berdampak pada PHK apalagi mengurangi hak dan kesejahteraan karyawan Pelindo.
Di samping itu, Pelindo terus menerus berinisiatif menyiapkan SDM dalam menghadapi perubahan sekaligus mengawal merger ini sejak masa transisi hingga proses berkelanjutan.
"Dukungan internal sangat penting, karena tanpa itu merger Pelindo ini tak akan berhasil," ujar Edi.
Sedikit menilik tentang merger Pelindo I sampai IV, merupakan penggabungan terbesar dengan total aset Rp112 triliun. Penggabungan ini akan menjadikan Pelindo sebagai operator petikemas nomor 8 terbesar di dunia.
Widyaswendra selaku SVP HC Service & HSSE Pelindo mengatakan salah satu latar belakang merger, ialah pemerintah punya target bagaimana memperbaiki biaya logistik nasional yang tinggi.
Biaya logistik nasional Indonesia saat ini di angka 23 persen. Jauh ketinggalan dibanding negara tetangga, Singapura 8 persen dan Malaysia 13 persen.
Akan tetapi biaya logistik Indonesia yang tinggi itu, kalau dilihat dari komponen laut sangat kecil yaitu 2,8 persen. Pelabuhan hanya menyumbangkan 1,4 persen.
Oleh karenanya, Pelindo optimis dengan posisi merger ini biaya logistik turun 0,3 persen. Menciptakan lapangan pekerjaan 1.500 orang dari pembangunan pelabuhan hasil kerjasama dengan mitra potensi. Kemudian, meningkatkan PDB 0,4 persen dari peningkatan ekonomi di area pelabuhan baru indonesia.
Di sisi lain, penggabungan Pelindo I sampai IV jadi satu kekuatan luar biasa bagi pengembangan jaringan pelabuhan di Indonesia ke depan.
Nantinya, tak ada lagi singel port atau pelabuhan tunggal karena semuanya terintegrasi. Pelabuhan yang satu dengan yang lainnya harus bagus dan memiliki standarisasi agar bisa optimal melayani customer.
Selama ini tidak dipungkiri masih ditemukan ketimpangan-ketimpangan standarisasi antarpelabuhan di wilayah kerja Pelindo I sampai IV.
Misalkan, standarisasi bongkar muat di pelabuhan A memiliki layanan kepelabuhan yang maksimal karena ditunjang kedalaman alur pelayaran yang bagus, sistem operasi serta peralatan yang baik dan modern. Namun, di pelabuhan B justru kebalikannya atau di bawah standar pelabuhan A.
"Hal itu otomatis membuat operator kapal yang melakukan investasi kapal, kesulitan melakukan inventarisasi yang sama antara pelabuhan A dan B," ujar Widyaswendra.
Pelindo optimis Merger pelindo memiliki daya ungkit standar yang bagus bagi sistem operasi layanan kepelabuhan. Jika merger ini sesuai permintaan costumer, maka dampaknya bisa meningkatkan standar efisien. Contohnya jika dulu bongkar muat barang tiga hari, sekarang jadi satu hari. Dengan bongkar lebih cepat, waktu tunggu kapal lebih minimum dan tentu ini lebih baik.
"Tujuan merger ialah bagaimana pelayanan pelabuhan optimal. Customer diuntungkan, terus semua happy," ujar Widyaswendra.
Merger Pelindo ini pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan sesuatu yang baru dan lebih bernilai.
Merger patut disertai transformasi bisnis usaha wilayah kerja, cara kerja apalagi di era digital.
Banking Expert Bambang Setiawan menyatakan Merger Pelindo di era ini tentu tidak bisa lepas dari pengaruh perkembangan teknologi digital. Sebab itu sudah jadi tuntutan dunia dan masyarakat, sehingga tidak mungkin dihindari.
Pelindo harus punya digital strategi, karena ini akan berkaitan dengan pelayanan kecepatan keakurasian dan kepuasan pelanggan.
Merujuk beberapa pelabuhan besar di Eropa seperti di Amsterdam dan Rotterdam. mereka sudah lebih dulu melakukan inovasi atau port digitalization. Misalnya process automation decisiona, di mana layanan kepelabuhan jadi lebih cepat karena memakai sistem otomatis dan meminimalisir sistem manual.
Pelabuhan Indonesia boleh saja mengadopsi bagaimana pelabuhan-pelabuhan terbaik dunia, mengembangkan smartport menuju layanan pelabuhan yang lebih efektif dan efisien.
Meski belum berjalan, banyak pihak mendukung dilakukannya penggabungan Pelindo I sampai IV demi kemajuan pelabuhan nasional Indonesia di masa-masa mendatang.
Akademisi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Fendy Suhariadi berharap Pelindo tak hanya menjadi operator pelabuhan di lingkup nasional, tapi harus ambil bagian di dalam kancah dunia kepelabuhan internasional.
Tujuan mulia itu dalam perjalanan merger Pelindo nanti diharapkan dapat tercapai. Yang paling penting adalah amanat pemerintah dalam kaitannya dengan cita-cita penggabungan Pelindo ini harus terealisasi.
Ketika target itu tidak tercapai, entah itu mendatangkan profit atau tidak. maka sangat penting bagi Pelindo untuk melakukan langkah evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan secara tahunan, bulanan bahkan per semester.
Jejak keemasan pelabuhan nusantara pada zaman dulu, tak ada salahnya jadi pengungkit kejayaan pelabuhan Indonesia buat masa kini dan yang akan datang. Semoga saja.