Kupang (ANTARA) - Kepolisian Alor menyatakan calon pendeta berinisial SAS, tersangka dugaan kasus kekerasan seksual di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam hukuman mati akibat perbuatannya. Ia dijerat dengan Pasal 81 ayat 5 Jo Pasal 76 huruf d Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak menjadi Undang-undang.

“Tersangka juga dikenakan pasal pemberatan karena korban lebih dari satu orang,” kata Kasat Reskrim Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau dikonfirmasi ANTARA dari Kupang, Senin.

Selain terancam hukuman mati atau seumur hidup, tersangka juga terancam pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lambat 20 tahun.

Ia juga mengatakan bahwa tersangka juga selain terancam hukuman mati, SAS juga terancam dijerat dengan pasal 27 ayat 3 di Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), karena merekam serta memotret para korban sebelum bahkan sesudah melaksanakan aksinya tersebut.

Kasat Reskrim mengatakan dalam menjalankan aksinya juga tersangka melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan terhadap para korban.

“Berdasarkan laporan dari para korban juga, aksi yang dilakukan tersebut dilakukan secara berulang-ulang namun sayangnya para korban tak mengingat pasti berapa kali,” ujar dia.

Sebelumnya diberitakan seorang calon pendeta berinisial SAS dilaporkan ke Kepolisian Resor Alor karena diduga melakukan kekerasan seksual terhadap belasan pelajar perempuan berusia 13 sampai 15 tahun di Kabupaten Alor.

Polisi menangkap SAS setelah menerima laporan dari korban. Sebelumnya hanya terdapat enam korban saja, namun seiring waktu berjalan, jumlah korban yang melapor semakin bertambah dan kini sudah menjadi 12 orang.

SAS dilaporkan melakukan kejahatan tersebut sejak Maret 2021 hingga Mei 2022. Dia juga dilaporkan telah memperdaya dan mengancam korban.

Sementara itu, Komnas Perempuan turut mendorong aparat kepolisian menerapkan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dalam pengusutan kasus itu.

Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentrian mengatakan bahwa UU TPKS dapat digunakan dalam pengusutan kasus tersebut serta pendampingan korban.

“Kami sudah dengar kasus ini, dan kami mendorong agar polisi dalam pengusutan kasus ini menggunakan UU TPKS,” katanya.

Dia mengapresiasi upaya dari masyarakat sipil yang memberikan pendampingan kepada para korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh calon pendeta berinisial SAS.

Disamping itu juga ia mengapresiasi upaya masyarakat sipil di kabupaten itu yang terus mendorong kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Ia menambahkan bahwa berdasarkan UU TPKS pendampingan dilakukan oleh pengadaan layanan, dalam hal ini terutama oleh UPTD P2TP2A.

Pihaknya mengusulkan penggunaan UU tersebut karena UU itu dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Komnas Perempuan sendiri ujar dia, mempunyai peran dalam pemantauan pada proses implementasi UU tersebut. Dan dia berharap agar dalam prosesnya UU itu diterapkan.

 

Pewarta : Kornelis Kaha
Editor : Yuniati Jannatun Naim
Copyright © ANTARA 2024