Depok (ANTARA) - Sosiolog Universitas Indonesia (FISIP UI), Dr Ida Ruwaida menilai perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol secara kritis pola pengasuhan yang diterapkan di pesantren.
"Pada dasarnya, kekerasan seksual yang terjadi di pesantren mungkin bisa ditemui di institusi pendidikan lainnya. Namun, karena pesantren adalah lembaga pendidikan agama, tindak kekerasan yang terjadi lebih disorot," kata Ida Ruwaida dalam keterangannya di Depok, Jumat.
Menurut Ida, ada kecenderungan bahwa tindak kekerasan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial. Studi menunjukkan pelaku kekerasan umumnya berlatar keluarga yang akrab dengan kekerasan. Kecenderungan ini bisa terjadi di pesantren, mengingat lama mukim santri/santriwati relatif tahunan.
Setidaknya ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren. Pertama, kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik. Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, bahkan role model.
Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran. Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera.
Faktor ketiga yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan. Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sosiolog UI: Perlu ada kebijakan kontrol pendidikan pesantren
"Pada dasarnya, kekerasan seksual yang terjadi di pesantren mungkin bisa ditemui di institusi pendidikan lainnya. Namun, karena pesantren adalah lembaga pendidikan agama, tindak kekerasan yang terjadi lebih disorot," kata Ida Ruwaida dalam keterangannya di Depok, Jumat.
Menurut Ida, ada kecenderungan bahwa tindak kekerasan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial. Studi menunjukkan pelaku kekerasan umumnya berlatar keluarga yang akrab dengan kekerasan. Kecenderungan ini bisa terjadi di pesantren, mengingat lama mukim santri/santriwati relatif tahunan.
Setidaknya ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren. Pertama, kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik. Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, bahkan role model.
Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran. Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera.
Faktor ketiga yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan. Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sosiolog UI: Perlu ada kebijakan kontrol pendidikan pesantren