Di pagi hari, Menalang (9) sudah berada di kantor lapangan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI Warsi) Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.
KKI Warsi adalah sebuah lembaga nirlaba yang melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Wilayah kegiatannya meliputi Sumatera, Kalimantan dan Papua.
KKI Warsi didirikan pertama kali sebagai lembaga jaringan dengan nama Yayasan Warsi (Warung Informasi Konservasi) berkedudukan di Jambi pada bulan Desember 1991.
Menalang bersiap menagih janji Jauharul Maknun dan Alfania Diva, dua fasilitator pendidikan KKI Warsi untuk mengajak belanja kebutuhan sekolah.
Menalang ingin membeli sepatu baru untuk persiapan masuk SD 191 Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam dan dia serta banyak anak lainnya kadang tinggal dan bermalam di kantor lapangan KKI Warsi.
Mereka sudah menganggap KKI Warsi sebagai rumah singgahnya dan kedua fasilitator pendidikan Warsi itu sudah dianggap keluarga, di mana urusan terkait pendidikan dan sekolah dititipkan orang tua mereka kepada fasilitator tersebut.
Menalang adalah satu di antara banyak anak yang dijembatani Warsi untuk menempuh pendidikan formal. Per Juli 2022, terhitung ada sebanyak 117 anak rimba atau anak dari Suku Anak Dalam (SAD) yang menempuh pendidikan di berbagai jenjang, di antaranya SD sebanyak 90 orang, SMP 18 orang, SMA delapan orang dan satu orang kini di perguruan tinggi.
"Sementara itu, sebanyak 284 orang mendapatkan pendidikan nonformal dari Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Bunga Kembang melalui Program Keaksaraan Dasar dan Keaksaraan Usaha Mandiri atas dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Jauharul Maknun.
PKBM merupakan lembaga pembelajaran yang dikembangkan KKI Warsi untuk kelompok dewasa dengan fokus keaksaraan dasar dan kecakapan hidup, pendidikan untuk orang rimba memang masih belum terlalu lancar.
Semi nomaden
Ada banyak faktor yang menyebabkan pendidikan anak orang rimba masih membutuhkan perhatian dan dukungan lebih yakni pertama karena orang rimba adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di dalam hutan dan perkebunan dengan pola hidup "semi nomaden" dengan adat budaya yang spesifik.
Kehidupan semi nomaden merupakan pola kehidupan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi sudah disertai dengan kehidupan menetap sementara
Dengan pola hidup ini orang rimba, pertama masih jauh dari jangkauan pendidikan formal. Kedua karena masih lemahnya kemampuan dan keinginan untuk menggapai pendidikan yang lebih baik, dan ketiga karena adanya ketidaksamaan budaya antara orang rimba dan masyarakat luas seperti misalnya ritual-ritual keagamaan yang merujuk kepercayaan nenek moyang, yakni berpindah tempat ketika ada kematian dan pola hidup lain yang berbeda dengan masyarakat di sekitar mereka.
"Kondisi ini menimbulkan banyak perbedaan perlakuan dan pandangan, terkait dengan ini maka penting adanya pendidikan yang adaptif dan dapat diterima orang rimba," kata Maknun.
Pendidikan orang rimba dilakukan dalam dua bentuk yaitu pendidikan nonformal dan pendidikan formal. Selain itu, juga ada pendidikan formal ke sekolah bentukan pemerintah maupun PKBM. Pendidikan formal penting untuk mendapatkan legalitas formal pendidikan maka melanjutkan ke sekolah formal.
Jauharul Maknun yang merupakan Koordinator Program Layanan Pendidikan dan Kesehatan KKI Warsi mengatakan dalam pendidikan nonformal, yang dilakukan fasilitator pendidikan Warsi adalah dengan mengunjungi kelompok-kelompok orang rimba yang hidup menyebar di dalam hutan maupun di bawah perkebunan.
Kombinasi pendidikan
Kombinasi pendidikan formal dan nonformal terhadap orang rimba adalah upaya memastikan menyesuaikan pendidikan dengan kebudayaan dan mobilitas orang rimba. Melalui pendidikan nonformal, orang rimba tetap mendapatkan pengajaran ketika harus ikut orang tuanya melangun (berpindah-pindah).
Selain karena melangun, orang rimba juga berpindah-pindah disebabkan mencari sumber penghidupan. Keterbatasan sumber penghasilan dan pendapatan mau tidak mau membuat orang rimba ke tempat lain.
Ketika hutan hilang maka sumber makanan juga hilang. Sebagian orang tua masih mencoba berburu dan meramu, sebagian lainnya terpaksa mencari "brondolan" sawit untuk dijual dan dibelikan bahan pangan.
Dengan kondisi ini pendapatan orang rimba menjadi tidak menentu kadang mereka bisa dapat hasil terkadang juga tidak berhasil. Kondisi ini pula yang menyebabkan mereka terganggu saat ingin belajar.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tatkala "Anak Rimba Jambi" mulai membutuhkan pendidikan
Keterangan : Isi dan maksud tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi
Ketika Anak Rimba Jambi menuntut pendidikan
Kondisi ini menimbulkan banyak perbedaan perlakuan dan pandangan, terkait dengan ini maka penting adanya pendidikan yang adaptif dan dapat diterima orang rimba
Komentar