Enny Syafiri: Sulit Ubah Perangai Sekampung

id Enny, Syafiri,profil,kepri,sulit, Ubah, Perangai, Sekampung,pns,serasan

Enny Syafiri: Sulit Ubah Perangai Sekampung

Enny Syafiri (antarakepri.com/Evy R Syamsir)

BERTUGAS di tanah kelahiran memberikan penyuluhan dan menyampaikan pesan pemerintah tidak selamanya mengenakkan karena justru tantangan terberat datang dari orang sekampung halaman yang sulit diubah perangainya.

Pengalaman tersebut dikemukakan Enny Syafiri (32), seorang tenaga medis di puskesmas pulau terpencil di hamparan luas Laut China Selatan perairan Provinsi Kepulauan Riau.

Begitu menyelesaikan pelajaran di Sekolah Pendidikan Kesehatan Yarsi Pontianak, Kalimantan Barat, tahun 1999, Enny langsung pulang kampung sebagai seorang perawat yang ditugaskan di Puskesmas Serasan.

Kala itu di awal milenium baru, Pulau Serasan adalah salah satu gugusan pulau yang masih terisolasi dari tujuh pulau utama di Negeri Segantang Lada. Setelah terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Serasan dan beberapa pulau kecil sekitarnya menjadi bagian dari Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna.

"Selama 13 tahun bertugas sejak masa honorer di tahun 2000 hingga jadi PNS pada 2002, amatlah sulit mengubah perangai atau perilaku masyarakat tentang pola hidup sehat. Padahal masyarakat yang saya hadapi adalah orang sekampung saya," tutur Enny.

Koordinator Pelayanan Jaminan Kesehatan di Puskesmas Serasan ini mengaku, niatnya pulang kampung bukan untuk sekadar mengabdikan ilmu atau mengisi kekosongan minimnya petugas kesehatan di tanah kelahirannya. Lebih dari itu, untuk menyadarkan masyarakat, betapa hidup sehat dengan keluarga yang terencana jauh lebih baik daripada kondisi selama ini.

Sebagai warga yang bermukim di pulau terpencil, Enny tahu betul kondisi daerahnya, perilaku hidup tidak sehat serta kendala kesehatan dan pendidikan masyarakatnya.

Susahnya mengubah kebiasaan masyarakat sebagai akseptor Keluarga Berencana juga dirasakannya. Di awal bertugas, keluarga-keluarga di daerahnya rata-rata memiliki banyak anak dan paling sedikit dalam satu keluarga memiliki lima anak.

Baru beberapa tahun terakhir jerih payahnya dalam memberikan penyuluhan KB membuahkan hasil, terutama untuk pasangan yang baru menikah. Itu dibuktikan dari sekitar 1.122 kepala keluarga di daerah itu dengan usia pasangan subur sebanyak 905 pasangan dan 493 pasangan diantaranya menjadi akseptor KB. Dari 493 pasangan itu umumnya mereka menjadi akseptor KB melalui alat kontrasepsi  pil dan injeksi (suntik). Sedangkan yang memakai kontrasepsi IUD (intra uterine device) di kalangan awam dikenal dengan istilah spiral hanya dua orang, sedangkan implant atau susuk sebanyak 13 orang dan kondom hanya satu pasangan.

"Alat kontrasepsi pil dan suntik umumnya diminati tidak hanya masyarakat di Pulau Serasan, tetapi juga pemukim pulau-pulau kecil sekitar Serasan. Sedangkan pasangan yang berpendidikan lebih tinggi atau selalu berinteraksi dengan dunia luar akan memilih IUD dan implant," kata Enny.

Ia mendapati keinginan pasangan muda ber-KB sangat tinggi. Itu dibuktikan, baru saja sepekan atau belum genap 40 hari melahirkan, ibu-ibu muda sudah mendatanginya, minta diberikan kontrasepsi.

Dari pengalamannya berbagi pola hidup sehat atau menjalankan program KB dengan masyarakat tidak efektif jika dilakukan dalam berkelompok, tetapi melalui pendekatan pribadi. Kadang-kadang, seusai sosialisasi dalam pertemuan kelompok, dia mendatangi rumah warga menyampaikan pesan pemerintah baik terkait kebersihan lingkungan, pola hidup sehat, keluarga berencana hingga pendidikan anak-anak.

"Dulu masyarakat kami amat 'cuek', baru beberapa tahun ini 'aja' yang paham pentingnya hidup sehat," katanya.

Namun, lanjut dia, walaupun kesadaran ber-KB mulai tumbuh, dalam pola makan, warga masyarakat yang umumnya nelayan belum paham akan pentingnya gizi dari sayur-sayuran dan buah.

Sejak dulu masyarakat daerahnya lebih mementingkan makan nasi dengan lauk ikan atau daging, tanpa harus mengonsumsi sayur dan buah.

Padahal, pekarangan rumah mereka luas dan jika pun ada lahan kebun hanya ditanami tanaman keras seperti kelapa dan cengkeh.

"Itu sebabnya, penyakit terbanyak yang diderita warga di daerah ini adalah hipertensi dan diabetes. Pemicunya ya pola makan dan tidak diiringi dengan makanan nabati," ungkap Enny.

Calon ibu yang baru hamil empat pekan ini berujar pengalaman lain yang mengesankan dalam pekerjaannya tidak hanya sikap ketidakpedulian masyarakatnya ketika diajak berperilaku sehat, tapi juga faktor alam yang acap menghambatnya jika berkunjung dari dan ke pulau-pulau kecil yang berada di wilayah kerjanya.

Apabila musim utara datang, maka Enny tidak dapat menjalani tugas memberikan penyuluhan baik ke puskesmas pembantu (pustu) atau pos persalinan desa (polindes) di luar pulau Serasan. Maklum, musim utara adalah musim angin kencang dan ombak tinggi. Pada musim ini hanya kapal berukuran besar yang berani melintasi Laut China Selatan sedangkan kapal kecil atau kapal nelayan di kawasan tersebut tidak akan ada yang keluar dari pulau atau melaut.

Musim utara yang tiba sejak Oktober hingga Februari bagi masyarakat Serasan atau Kabupaten Natuna dikenal sebagai musim sulit logistik. Pada musim tersebut tidak jarang masyarakat pulau makin terisolasi karena tidak ada kapal yang membawa bahan pangan singgah di tempat mereka.

"Faktor alam berombak besar dan berangin kencang di saat musim utara inilah kendala yang hingga kini belum teratasi. Penyuluhan atau tugas membantu di pulau-pulau tak dapat dijalani karena tak ada kapal yang mengantar saya ke sana," ungkap Enny.

Jika pun ada kapal yang nekat berlayar dari Serasan ke pulau yang dituju, maka belum tentu dia dapat pulang cepat. Enny harus menunggu suasana laut teduh, dan itu biasanya berarti berhari-hari kemudian. (Antara)

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE