Kemarau Empaty

id Kemarau Empaty,Yusmar Yusuf

Kemarau Empaty

Kontent baru antarakepri (Nurjali)

Seseorang yang tak bisa menerima keadaan dirinya sendiri, sulit pula untuk menerima keadaan orang lain
Batam (ANTARA) - Kedunguan yang dipelihara, terkadang dapat menjadi satu dari sekian laku yang bisa dikategorikan sebagai alat “seleksi buatan”, bukan “seleksi alamiah” (natural selection). Beragam postulat menanggapi mengenai “seleksi alamiah” itu; demi mengurangi jumlah penduduk muka bumi, alam atau tepatnya bumi meradang dalam bentuk bencana alam; banjir, kemarau panjang berdampak pada kelaparan, tsunami, gempa, tanah longsor, gunung meletus, dan berjenis bencana alam lainnya. Seleksi alamiah ini berlangsung jutaan tahun lalu, hingga kini. Termasuk bencana wabak atau wabah hama, virus dan baksil yang menerjang sebuah kawasan dan perkauman. Ya, sebuah cerita panjang. Mereka-mereka yang selamat dari “terkaman” bencana itu adalah mereka yang unggul dari serangkaian seleksi yang terjadi dan berulang-ulang.

Secara tak sengaja, konflik antar kelompok atau bahkan antar agama, konflik antar negara akan berujung menjadi perang fisik terbuka. Ini juga sebuah jenis “seleksi” yang bukan alamiah, akan tetapi masuk dalam jenis “seleksi buatan”. Lewat perang, terbentuk damai dalam tatanan baru, dengan pengurangan sejumlah orang-orang yang hilang dan mati. Seleksi buatan berikutnya, tentulah bisa dialamatkan pada “artificial intelligence” atau kecerdasan buatan. Manusia, sebagai “dividu” yang bukan “in-dividu” (tak dapat dibelah) itu menung dan menganggur dalam sejumlah kediaman dan keterasingan. Kehilangan fungsi dalam struktur yang membuat manusia sebagai “dividu” itu menjadi mati dan tiada peran. Terjadi sejumlah kehilangan fungsional dan struktural bagi manusia.

Kebodohan dan kedunguan yang dirawat adalah juga semacam instrumen paling mangkus sebagai “seleksi buatan” untuk membangun sejumlah kehilangan demi kehilangan, termasuk kehilangan sumberdaya manusia (SDM) yang unggul karena kita bersetia pada kedunguan; politik dungu, ekonomi dungu, beragama dungu, berinteraksi sosial dalam kedunguan, bertika dungu, beradat-istiadat dungu, berbudaya dungu, kesenian dungu, berbantah-bantah dalam kedunguan, berdemo secara demonstratif dungu, berdialog di parlemen dalam ceria kedunguan. Walhasil, dia menjadi penjana utama untuk menggenapkan sejumlah kehilangan. Kita menjulang masyakat dungu...

Seleksi alamiah, seleksi alam berupa bencana menjadi jalan bagi alam untuk menemukan keseimbangan baru (new equilibrium); setelah bencana alam, banyak korban dan jumlah kehilangan menjadi suatu cara alam yang demam dan mendemam selama ini, menemukan keseimbangannya. Penduduk manusia berkurang, jumlah mulut yang menuntut untuk makan jua berkurang, ketersediaan pangan berlimpah di sisi yang lain. Manusia lewat organisasi negara-negara menjalin kerjasama dan membuka diri, membangun semacam solidaritas kemanusiaan, menjilat dimensi spiritualitas demi terciptanya rasa damai di antara sesama makhluk manusia yang penuh dan muai dengan nilai etika kemakhlukan. Kita saling menjaga dan saling menghargai...

Lalu,... virus Corona yang mewabak dan mewabah. Seakan tak terkendali. Ini sebuah bencana (alamiah) sekaligus seleksi alamiah. Namun, kedunguan kita merespon bencana ini bisa menjadi satu picu “seleksi buatan”, yang bernama merawat kedunguan. Kita, bangsa ini, masyarakat dan komunitas ini menjadi ladang paling elok untuk menyemai kedunguan demi kedunguan yang akan berujung sebagai alat efektif “seleksi buatan” itu. Kita, komunitas kita, masyarakat kita yang dikatakan amat terbuka, amat bisa menerima dan merawat orang yang sedang diterpa musibah, diterpa bencana, namun pemandangan yang terjadi malah sebaliknya. Kita menjadi bangsa yang paling rendah empaty, kerontang empaty, kemarau empaty, tak bisa merasakan kesusahan dan derita orang lain sebagai kesusahan bersama. Kita hidup dalam sebuah planet yang satu, namun hanya membangun kesombongan dan kedunguan melebihi puncak dugaan akal sehat. Kenapa jadi begini? Apa yang salah pada bangsa ini? Tak bisakah kita bertolak-angsur dengan keadaan. Apakah sesuatu yang berasal dari negeri yang kita anggap kafir adalah sejumlah kutukan yang berantai-rantai? Sementara anak-anak kita yang menuntut ilmu yang tergolong masih muda dan belia, menggunakan jilbab namun terpelanting oleh sebuah keadaan dan ditempatkan dalam sebuah “program isolasi” demi keselamatan bersama, harus mengalami pengucilan sosial dan bahkan pemencilan zaman?

Kemarau empaty, sekaligus mempertontonkan kedangkalan akal budi kita sendiri. Dunia ini diramai dan diranumkan oleh sejumlah dialog. Setiap bencana, akan menghasilkan sejumlah dialog. Maka tangkaplah bencana yang sejatinya akan menghidang “mahkota dialog” yang turut memperkaya kebudayaan kita kelak ke depan. Kita hidup di muka bumi ini tak sendiri. Kita menjadi besar karena kehadiran yang serba lain, termasuk kehadiran bencana yang harus kita tanggulangi bersama, bukan malah dipersangkakan secara bersama-sama. Ingat ucapan Wolfgang von Goethe dalam sebuah syair geniusnya; “He who knows one, knows none” (Dia yang hanya tahu satu hal, sesungguhnya tidak tahu apa-apa). Secara spiritual, syair ini bisa dikaitkan dengan kadar sipritualitas seseorang atau perkauman; “Dia yang hanya tahu satu agama, sesungguhnya tidak tahu apa-apa”.

“Meyakini bahwa dialog bukan sekadar usaha untuk menyelesaikan masalah dan sejumlah konflik yang ada, bagi Wesley Ariarajah, sekaligus dialog itu sendiri sebagai ikhtiar membangun suatu ‘masyarakat yang saling bergaul’, suatu ‘masyarakat penuh kasih dan bernalar’ melintasi beragam halangan ras, etnis dan agama; umat manusia belajar memahami perbedaan yang ada bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesuatu yang ‘wajar’ dan ‘normal’.  Sikap hidup yang tergolong Qabul al Akhar (menerima orng lain) hanya bisa tumbuh dalam sejumlah interaksi dan pergaulan dengan sjumlah kelainan (the others). Milad Hanna, seorang intelektual Koptik Mesir menyebutkan bahwa “Semakin sering seseorang berinteraksi dengan banyak orang lain yang berbeda buaya dan agamanya, akan semakin tumbuh subur budaya ‘qabul al akhar’. Semakin banyak seseorang membaca agama-agama dunia dan berdialog dengan para pemeluk agama yang beragam, maka kian dia dapat mengembangkan sikap hidup qabul al akhar itu. Hanna menginatkan bahwa sebelum seseorang mampu menerima orang lain, terlebih dulu dia harus bisa menerima keadaan dirinya sendiri. Seseorang yang tak bisa menerima keadaan dirinya sendiri, sulit pula untuk menerima keadaan orang lain”. Kemarau empaty secara sosial sekaligus menggambarkan kadar karahiyah al akhar (membenci orang lain) sebagai lawan dari qabul al akhar itu.

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE