"Kasihan naga, harus dibakar. Tapi sebelum dibakar, harus ditutup dulu matanya supaya naganya tidak sakit," kata Arbet saat menyaksikan ritual "tutup mata" enam naga yang memeriahkan Festival Cap Go Meh 2562, di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Arbet berusia 10 tahun, sudah berulang kali menyaksikan festival serupa. Di terbiasa melihat arak-arakan naga keliling Kota Pontianak walaupun setahun sekali.

Dia mengetahui legenda tentang naga tersebut dari buku bacaannya. "Dari buku 1492," kata pelajar yang juga disapa Nyahnya (dari Bahasa Mandarin) itu.

Mungkin maksudnya dari buku yang mengisahkan perjalanan Colombus menemukan dunia pada tahun 1492. Atau bisa jadi "Buku 1421 Saat China Menemukan Dunia", karya spektakuler dari Gavin Menzies yang mengungkap bahwa armada China-lah yang pertama kali melakukan perjalanan ke ujung dunia, sebelum Colombus pada 1492.

Arbet seorang dari ratusan anak-anak yang menyaksikan arak-arakan naga yang memeriahkan Festival Cap Go Meh di Pontianak mengaku kasihan melihat naga yang akan dibakar, sebagai penutup dari rangkaian perayaan malam kelima belas Imlek 2562.

Menurutnya, supaya tidak kesakitan, arwah yang ada di dalam tubuh naga tersebut harus dikeluarkan dahulu melalui ritual "tutup mata" yang berlangsung pada Jumat, 18 Februari, pukul 13.00 WIB.

Enam naga dari enam yayasan pemadam kebakaran (milik komunitas Tionghoa) di Kota Pontianak, telah memeriahkan festival Cap Go Meh. Sebelum mengikuti perayaan tahunan tersebut, keenam naga harus menjalani ritual "buka mata" pada Selasa (15/2), pukul 14.30 WIB.

Ritual buka mata berlangsung di kelenteng tua, Kwan Tie Bio di Jalan Diponegoro, Kecamatan Pontianak Kota. Ritual hanya berlangsung sekitar 15 menit. Secara bergantian enam naga yang dipikul sekitar 100 orang memasuki kelenteng yang berada di pusat kota tersebut.

Dimulai naga dari Yayasan Pemadam Kebakaran (YPK) Siantan, Budi Pekerti, Khatulistiwa, Merdeka, Panca Bhakti dan terakhir dari YPK Niaga. Ritual dipimpin dua suhu (guru) yang masing-masing bergelar Yangce dan Sun Go Kong (Dewa Kera).

Ketua Panitia Festival Cap Go Meh dari Yayasan Bhakti Suci, Simon Budianto, menyatakan ritual buka mata tersebut merupakan bagian dari kepercayaan warga Tionghoa untuk mengundang naga turun dari khayangan dengan memasukan arwah terlebih dahulu supaya "hidup".

"Jika matanya sudah dibuka, naga itu akan membawa berkah, keselamatan dan kebaikan bagi dunia," kata Simon yang merupakan Ketua II YBS, sebuah organisasi yang mewadahi sekitar 40 yayasan sosial dan pemadam kebakaran di Kota Pontianak.

Ritual tersebut hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang bergelar suhu (guru).

Jika sudah mengikuti ritual tersebut, naga dapat diarak keliling kota selama tiga hari perayaan Cap Go Meh. Pada Rabu (16/2) pagi hingga siang, keenam naga tersebut mengunjungi sejumlah kantor pemerintah baik Kota Pontianak maupun Provinsi Kalbar.

Mereka juga menerima undangan para donatur untuk mendapatkan angpao. Donatur dari berbagai kalangan, di antaranya para pemilik toko, bengkel, atau rumah-rumah warga.   

Puncak perayaan, Kamis (17/2), sejak pukul 08.00 WIB, keenam naga sudah diarak keliling kota mengunjungi sejumlah donatur, baik di kawasan pertokoan maupun pemukiman warga. Ketika siang hari, pukul 13.00 WIB, mereka berkumpul di pusat perayaan, Jalan Gajah Mada - Diponegoro hingga Tanjungpura.

Keenam naga tersebut menjadi pusat perhatian ribuan pasang mata warga Kota Pontianak dan sekitarnya, bahkan wisatawan luar Kalbar. Warnanya yang cerah menyala, merah, jingga dan kuning, dihiasi sisik yang memancarkan sinar dan bentuk mata yang bulat, membuat penonton terpesona.

Badannya yang panjang, diarak lebih 100 orang yang secara bergantian memikulnya mulai dari bagian kepala, badan hingga kaki.

Menurut Simon Budianto, keenam naga tersebut memiliki panjang 50- 0 meter. Pemainnya berjumlah 100 hingga 125 orang. Seorang pemain yang ditemui di lapangan, Rudy, mengatakan mesti memikul naga tersebut bergantian dengan temannya.

"Tidak lebih dari satu kilogram, karena saya memikul di nomor 5. Yang berat itu bagian kepalanya," kata pemuda tersebut.

Untuk menyaksikan atraksi naga tersebut, warga sanggup berpanas-panasan dan sebagian besar pemilik toko menutup tempat usahanya sehari penuh.

Lie Sau Fat dalam bukunya "Aneka Budaya Tionghoa Kalbar", menyatakan naga merupakan makhluk sakral dalam legenda Tiongkok yang bisa terbang meski tanpa sayap.

Dalam cerita legenda, naga adalah makhluk di luar duniawi yang menguasai hujan dan angin di langit. Sampai saat ini, masih ada sebagian orang Tionghoa yang percaya bahwa naga itu pernah ada pada zaman dahulu.

Selain atraksi siang hari, keenam naga juga akan diarak saat malam hari di kawasan Pecinan Kota Pontianak. Naga tersebut akan terlihat lebih indah saat malam hari, karena lampu dan hiasan yang ada di kepala hingga ekornya akan memancarkan sinarnya berikut bola api yang menjadi pemandu gerak liukan naga tersebut.
   
Pembakaran

Setelah tiga hari diarak keliling kota, pada hari keempat, Jumat (18/2), keenam naga tersebut harus mengakhiri "tugas mulianya". Keenamnya hari kembali ke khayangan. Namun sebelum kembali ke khayangan, keenamnya harus menjalani ritual "tutup mata".

Ritual tutup mata berlangsung pukul 13.00 WIB. Juga di kelenteng Kwan Tie Bio. Namun, berbeda berbeda tata caranya dibandingkan ketika buka mata.

Saat ritual buka mata, bagian kepala enam naga masuk ke dalam bangunan kelenteng danga terdapat tanda tinta merah di sekitar kelopak mataa atau ditandai dengan dibukanya kain selubung mulai dari bagian muka hingga kepala. Saat saat ritual tutup mata, bagian kepala naga hanya digerakkan dengan posisi tertunduk sebanyak tiga kali di depan pintu masuk kelenteng.

"Hanya pemberitahuan. Bahwa sudah 'tutup mata'," kata seorang pengurus YPK yang ikut dalam festival tersebut.

Selanjutnya, keenam naga bersama rombongannya yang terdiri dari seratusan pemain berupa pemikul naga, pemain gendang dan panitia yayasan menggunakan angkutan truk, mobil pick up dan kendaraan roda dua, mengantar naga untuk dibakar di Kompleks Pemakaman Yayasan Bhakti Suci di kilometer 18, Jalan Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. 

Proses pembakaran juga tidak berlangsung lama. Setiap naga hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, hingga hangus dan menjadi abu.

Namun ritual pembakaran itu juga mengundang perhatian warga Tionghoa dan masyarakat umum. Kompleks pemakaman tersebut dipadati ribuan orang yang seolah-olah ingin mendapat berkah dari ritual "mengantar" kepulangan naga ke khayangan tersebut.

Fina, seorang warga Parit Baru, Sungai Raya, mengatakan anaknya yang berumur 1,7 tahun mendapat janggut dan sisik dari salah satu naga yang dibakar. "Dikasih, tidak boleh minta. Mereka yang pasang sendiri di tangan anak saya," kata perempuan tersebut.

Dia mengaku pernah diberitahu ayahnya yang mengerti bahasa ibu warga Tionghoa Pontianak, bahwa setiap orang tidak boleh meminta janggut atau sisik naga. "Biarkan mereka memberikan sendiri kepada kita, itu pesan bapak," katanya.

Namun satu naga milik Yayasan Pemadam Kebakaran Sungai Raya yang masuk ke kompleks pemakaman tersebut, menjadi incaran puluhan remaja dan orang dewasa. Puluhan orang terlihat ingin mengambil sisik dan janggut naga tersebut, beberapa saat sebelum dibakar.

Sementara menurut Ketua Panitia Festival Cap Go Meh, Simon Budianto, filosofi dari ritual pembakaran itu, adalah untuk mengantarkan naga kembali ke khayangan.

Dia mengatakan, menurut tradisi Tionghoa, naga yang diundang datang dari langit untuk diantar kembali ke langit, mesti dibakar.

"Naga datang dari khayangan untuk memberi berkah, rezeki, keselamatan selama 4 hari. Pada hari keempat, kita mengantar naga itu pulang dengan cara dibakar," katanya.

"Datang diundang, pulang diantar," kata laki-laki itu.
       
Cinta budaya

Simon mengharapkan, generasi muda Tionghoa dapat mengetahui tradisi tersebut. Dengan mengetahui tradisi, maka generasi muda akan cinta budaya. "Setelah itu juga akan cinta budaya dari saudara-saudara (etnis) lainnya, seperti yang ditunjukkan dalam festival budaya nusantara ini," katanya.

Dia mengatakan, selain warga Tionghoa, festival itu juga diikuti Majelis Adat Budaya Melayu, Dewan Adat Dayak, Ikatan Keluarga Besar Madura, kemudian dari komunitas adat Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatra Utara.

Sebanyak 1.000 orang terlibat langsung dalam festival itu baik sebagai panitia, pemain naga, maupun peserta pawai festival nusantara.

Harapannya pada perayaan tahun depan, dapat belajar dari pengalaman tahun ini yang bisa menggelar festival Cap Go Meh dengan lancar. "Semoga lebih baik dan mengaktifkan semua masyarakat yang ada," kata Ketua II Yayasan Bhakti Suci tersebut.

Sementara itu, dua pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Immanuel, Noviani (19) dan Yulia (18) mengaku baru dua kali menyaksikan pembakaran naga, karena kebetulan sekolah mereka berada di depan kompleks pemakaman tersebut.

Mereka mendapat cerita dari orangtua masing-masing, pembakaran mengantar naga kembali kepada para dewa di negeri impian. "Untuk menyampaikan pesan-pesan yang baik dari manusia di dunia," kata Noviani yang diamini Yulia.
(N005/E001/Btm1)

Pewarta :
Editor : Jo Seng Bie
Copyright © ANTARA 2024