Tanjungpinang (ANTARA) - Kanwil Kemenkumham Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mencatat hingga tahun 2024 terdapat 215 data perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga asing di wilayah setempat.
Kepala Kanwil Kemenkumham Kepri I Nyoman Gede Surya Mataram mengatakan data perkawinan campuran itu tersebar di tiga kabupaten/kota setempat, antara lain di Kabupaten Karimun 15 orang, Kota Tanjungpinang tujuh orang, dan sisanya didominasi Kota Batam yang sebanyak 193 orang.
"Perkawinan campuran itu meliputi berbagai etnis, ada warga kita yang kawin dengan warga negara Singapura, Inggris dan negara lainnya," kata Surya Mataram di Tanjungpinang, Kamis.
Secara aturan, kata dia, perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baca juga: BI Kepri gencarkan digitalisasi UMKM
Adapun dimaksud perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
"Apabila perkawinan campuran dilakukan di luar negeri misalnya Singapura, maka ketika kembali ke Indonesia harus tetap didaftarkan di dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil) setempat supaya pernikahannya tercatat secara resmi," ujarnya.
Selain itu, Surya Mataram menyampaikan bahwa kondisi geografis Kepri yang berbatasan dengan negara Malaysia dan Singapura menjadikan perkawinan campuran sangat mungkin terjadi di daerah tersebut.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa apabila WNI yang ingin kawin dengan WNA harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain wajib memiliki dokumen perjalanan seperti paspor dan memiliki izin tinggal, serta mendapat surat persetujuan dari kedutaan atau konsulat negara bersangkutan yang ada di Indonesia, khususnya Kepri.
Baca juga: BI Kepri gelar Gebyar Melayu Pesisir 2024
Menurutnya surat persetujuan dimaksud menjadi bukti apakah WNA bersangkutan sudah menikah atau belum di negara asalnya.
"Jangan sampai warga negara kita dibohongi. Kalau sudah nikah di negaranya, kami sarankan sebaiknya jangan mau menikah," ucapnya.
Lanjut Surya Mataram menyampaikan anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran memiliki dwi atau dua kewarganegaraan, contohnya warga Indonesia dan Singapura.
"Si anak boleh memiliki dua paspor Indonesia maupun Singapura, kalau sudah sampai maksimal 21 tahun harus pilih salah satu kewarganegaraan," kata dia.
Baca juga: Ansar: Pemkot prioritaskan program seragam sekolah gratis
Secara terpisah, Kepala Ombudsman Kepri Lagat Siadari mengatakan Batam sebagai daerah pengembangan industri sejak tahun 70-an, sehingga dalam perkembangannya terjadi perkawinan campuran antara warga Indonesia dan warga asing menjadi hal biasa di kota itu.
"Banyak terjadi, khususnya perempuan Indonesia di Batam. Mereka yang awalnya bekerja, lalu bersepakat menikah dengan WNA," ujar Lagat.
Kendati begitu, pihaknya mendapatkan informasi ada beberapa perkawinan campuran tidak tercatat secara resmi, sehingga bisa memicu persoalan hukum di kemudian hari, seperti pada anak hasil nikah atau harta benda ketika terjadi perceraian.
Ia menilai masih ada warga Indonesia terutama di Kepri belum menyadari hak atau konsekuensi yang ditimbulkan dari perkawinan campuran dengan WNA.
Hal ini, katanya, harus jadi perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan terkait supaya gencar melakukan edukasi pada masyarakat luas bahwa perkawinan campuran berisiko, salah satunya kehilangan status warga negara Indonesia.
"Ini yang belum sepenuhnya diketahui luas masyarakat terkait risiko dari keputusan menikah dengan orang asing," kata Lagat.
Ia pun menyarankan Kanwil kemenkumham Kepri menyediakan layanan call center bagi warga yang memerlukan edukasi dan informasi sebelum memutuskan perkawinan campuran dengan orang asing. Dengan begitu, mereka bisa melakukan langkah mitigasi terhadap risiko dan dampak hukum ke depan dari perkawinan campuran tersebut.
Baca juga:
Ansar: Pemkot prioritaskan program seragam sekolah gratis
Disperindag Kepri sebut Batam jadi target pengawasan Satgas Impor Ilegal
Kepala Kanwil Kemenkumham Kepri I Nyoman Gede Surya Mataram mengatakan data perkawinan campuran itu tersebar di tiga kabupaten/kota setempat, antara lain di Kabupaten Karimun 15 orang, Kota Tanjungpinang tujuh orang, dan sisanya didominasi Kota Batam yang sebanyak 193 orang.
"Perkawinan campuran itu meliputi berbagai etnis, ada warga kita yang kawin dengan warga negara Singapura, Inggris dan negara lainnya," kata Surya Mataram di Tanjungpinang, Kamis.
Secara aturan, kata dia, perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baca juga: BI Kepri gencarkan digitalisasi UMKM
Adapun dimaksud perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
"Apabila perkawinan campuran dilakukan di luar negeri misalnya Singapura, maka ketika kembali ke Indonesia harus tetap didaftarkan di dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil) setempat supaya pernikahannya tercatat secara resmi," ujarnya.
Selain itu, Surya Mataram menyampaikan bahwa kondisi geografis Kepri yang berbatasan dengan negara Malaysia dan Singapura menjadikan perkawinan campuran sangat mungkin terjadi di daerah tersebut.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa apabila WNI yang ingin kawin dengan WNA harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain wajib memiliki dokumen perjalanan seperti paspor dan memiliki izin tinggal, serta mendapat surat persetujuan dari kedutaan atau konsulat negara bersangkutan yang ada di Indonesia, khususnya Kepri.
Baca juga: BI Kepri gelar Gebyar Melayu Pesisir 2024
Menurutnya surat persetujuan dimaksud menjadi bukti apakah WNA bersangkutan sudah menikah atau belum di negara asalnya.
"Jangan sampai warga negara kita dibohongi. Kalau sudah nikah di negaranya, kami sarankan sebaiknya jangan mau menikah," ucapnya.
Lanjut Surya Mataram menyampaikan anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran memiliki dwi atau dua kewarganegaraan, contohnya warga Indonesia dan Singapura.
"Si anak boleh memiliki dua paspor Indonesia maupun Singapura, kalau sudah sampai maksimal 21 tahun harus pilih salah satu kewarganegaraan," kata dia.
Baca juga: Ansar: Pemkot prioritaskan program seragam sekolah gratis
Secara terpisah, Kepala Ombudsman Kepri Lagat Siadari mengatakan Batam sebagai daerah pengembangan industri sejak tahun 70-an, sehingga dalam perkembangannya terjadi perkawinan campuran antara warga Indonesia dan warga asing menjadi hal biasa di kota itu.
"Banyak terjadi, khususnya perempuan Indonesia di Batam. Mereka yang awalnya bekerja, lalu bersepakat menikah dengan WNA," ujar Lagat.
Kendati begitu, pihaknya mendapatkan informasi ada beberapa perkawinan campuran tidak tercatat secara resmi, sehingga bisa memicu persoalan hukum di kemudian hari, seperti pada anak hasil nikah atau harta benda ketika terjadi perceraian.
Ia menilai masih ada warga Indonesia terutama di Kepri belum menyadari hak atau konsekuensi yang ditimbulkan dari perkawinan campuran dengan WNA.
Hal ini, katanya, harus jadi perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan terkait supaya gencar melakukan edukasi pada masyarakat luas bahwa perkawinan campuran berisiko, salah satunya kehilangan status warga negara Indonesia.
"Ini yang belum sepenuhnya diketahui luas masyarakat terkait risiko dari keputusan menikah dengan orang asing," kata Lagat.
Ia pun menyarankan Kanwil kemenkumham Kepri menyediakan layanan call center bagi warga yang memerlukan edukasi dan informasi sebelum memutuskan perkawinan campuran dengan orang asing. Dengan begitu, mereka bisa melakukan langkah mitigasi terhadap risiko dan dampak hukum ke depan dari perkawinan campuran tersebut.
Baca juga:
Ansar: Pemkot prioritaskan program seragam sekolah gratis
Disperindag Kepri sebut Batam jadi target pengawasan Satgas Impor Ilegal