Tanjungpinang (ANTARA Kepri) - Sebanyak 327 orang karyawan PT Rotarindo Busana Bintan yang dipecat sejak tahun 2008 hingga sekarang belum menerima pesangon, karena Pengadilan Negeri Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau belum mengeksekusi aset perusahaan tersebut.
       
"Mahkamah Agung (MA) pada sidang gugatan peninjauan kembali pada 15 Mei 2012 memutuskan perusahaan itu wajib membayar pesangon mantan karyawannya sebesar Rp8,3 miliar," kata kuasa hukum mantan karyawan PT Rotarindo, Cholderia Sitinjak, di Tanjungpinang, Jumat.
       
Namun hingga sekarang Pengadilan Negeri Tanjungpinang belum mengeksekusi putusan MA. Padahal ratusan mantan karyawan PT Rotarindo itu sudah puluhan kali menggelar aksi unjuk rasa di Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
       
Bahkan beberapa bulan lalu, puluhan mantan karyawan PT Rotarindo berkemah selama sepekan di Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Namun hal itu tidak membuahkan hasil sehingga beberapa hari lalu mantan karyawan PT Rotarindo kembali menggelar aksi unjuk rasa di Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
       
"Kami tidak mengerti kenapa pihak pengadilan tidak mengeksekusi aset milik PT Rotarindo senilai pesangon yang wajib dibayar oleh pihak perusahaan. Seharusnya pihak pengadilan mengeksekusinya, karena itu merupakan perintah MA," ungkapnya.
       
Cholderia mendesak pihak pengadilan segera mengeksekusi aset milik PT Rotarindo. Aset senilai Rp8,3 miliar itu wajib diserahkan kepada 327 orang mantan karyawan PT Rotarindo.        

"Mantan karyawan PT Rotarindo itu sudah cukup sabar menunggu keadilan. Kami khawatir mereka menduduki pabrik dan kantor PT Rotarindo setelah kehilangan kesabaran," ujarnya.    

Ia mengemukakan, kewibawaan Pengadilan Negeri Tanjungpinang dipertaruhkan dalam menegakan keadilan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permasalahan ini akan menjadi catatan negatif dalam penegakan hukum terhadap sengketa ketenagakerjaan.
       
"Sikap pengadilan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat pengadilan," katanya.(*)

Editor: Dedi

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025