Jakarta (ANTARA) - Patogen berupa virus hingga kontaminasi zat kimia ditengarai sebagai faktor penyebab kasus diabetes melitus tipe 1 pada anak yang meningkat dalam satu dekade terakhir.
"Kasus diabetes tipe 1 sekarang tinggi. Menurut IDAI prevalensinya meningkat sampai 700 kali, tapi data saya meningkat sekitar 70 kali dalam kurun 10 tahun terakhir," kata Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Aman Bhakti Pulungan di sela kegiatan CDiC Camp di Bogor, Jawa Barat, Ahad.
Ia mengatakan patogen, zat kimia, hingga pengaruh perubahan lingkungan karena pemanasan global ditengarai sebagai pencetus diabetes melitus, selain faktor utamanya akibat pola hidup tidak sehat.
Misalnya, kata Aman, Enterovirus (Echovirus/EV) yang kini ditengarai memiliki potensi memicu kasus diabetes pada manusia.
"Beberapa virus tertentu seperti enterivirus sebagai penyakit tangan, kaki, dan mulut (hand, foot and mouth disease/HFMD) memiliki banyak tipe. Kalau Enterovirus sudah lama ditengarai sebagai pencetus diabetes," katanya.
Ia mengatakan laporan tersebut, salah satunya datang dari Finlandia yang memiliki kasus terbanyak Enterovirus pada anak.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Jumat (7/7) mengumumkan sebanyak 26 bayi di sejumlah negara Eropa terinfeksi Enterovirus. Delapan dari bayi tersebut meninggal setelah gagal organ dan sepsis.
Kasus infeksi Enterovirus dilaporkan dari Kroasia, Prancis, Italia, Spanyol, Swedia, dan Inggris. Sebagian besar kematian dilaporkan dari Prancis.
Kasus Enterovirus-11 diidentifikasi pada awal 2022. Setidaknya setengah dari 26 kasus dilaporkan sejak akhir musim semi 2023.
Aman yang menjabat sebagai Project Lead Changing Diabetes in Children (CDiC) Indonesia menyebut faktor lain yang juga berisiko mempengaruhi diabetes tipe 1 pada rentang usia anak sejak lahir hingga 24 tahun adalah Endocrine Disruptor Chemical atau bahan kimia pengganggu endoktrin.
"Sistem endoktrin bisa terganggu karena kimia, polusi, hingga pemanasan global. Sekarang banyak anak pubertasnya lebih cepat, kanker meningkat, anak penisnya lebih kecil. Kami perhatikan sekarang jadi tambah banyak," katanya.
Sejumlah negara di dunia saat ini mulai membatasi pemanfaatan bahan kimia yang memiliki kecenderungan mengganggu kesehatan, salah satunya China dengan menyusun daftar produk berbahan dasar kimia yang tidak boleh dipakai ulang, kata Aman menambahkan.
Ia mengatakan penelitian jurnal hewan di salah satu peternakan buaya di Amerika Serikat juga memperkuat kondisi itu dengan melaporkan terdapat pengaruh kontaminasi zat tertentu pada habitat peternakan yang memicu reproduksi buaya semakin berkurang.
"Kok tambah sedikit buaya yang lahir karena tidak ada telurnya. Saat dilihat penis buayanya ternyata kecil. Di peternakan buaya di Florida dilihat, ternyata juga begitu keadaannya ada zat yang mengontaminasi," katanya.
Aman mendorong otoritas terkait di Indonesia untuk segera menyusun daftar Endocrine Disruptor Chemical dan dipublikasikan sebagai upaya mencegah dampak buruk pada kesehatan manusia.
"List of Endocrine Disruptor Chemical ini harus kita waspadai dan share ke publik. Bukan hanya yang dimakan atau tersentuh kulit, perubahan cuaca dan CO2 juga bisa berpengaruh," katanya.
Sementara itu, Prof Aman Bhakti Pulungan yang merupakan Project Lead Changing Diabetes in Children (CDiC), mengemukakan lima pilar intervensi yang efektif untuk menstabilkan diabetes melitus tipe 1 pada usia anak.
"Intervensi yang efektif terdiri atas lima pilar penting, yakni pemberian insulin, diet makan yang diatur sesuai kebutuhan dan usia, dimonitor diabetes-nya, berolahraga, dan edukasi," kata Prof Aman Bhakti Pulungan.
Ia mengatakan, pemberian insulin menjadi faktor terpenting untuk menstabilkan diabetes tipe 1 akibat kadar gula darah yang tinggi. Penyebab diabetes tipe 1 karena tubuh tidak bisa menghasilkan hormon insulin secara optimal sehingga glukosa dalam darah tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh dan diolah menjadi energi.
Pemberian insulin dari luar merupakan kontrol terbaik bagi pasien diabetes tipe 1 agar dapat terus mempertahankan kondisi normal hemoglobin di angka normal kurang dari 6,5 atau maksimal 7.
"Edukasi yang paling bagus adalah kontrol metabolisme HbA1C atau rata-rata sel darah merah selama tiga bulan. Kalau turun ke normal dia harusnya di bawah 7, kalau bisa di bawah 6,5. Saat ini rata-rata angka nasional masih di angka 10," katanya.
Aman yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis anak konsultan endokrinologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu mengatakan diet makan pada pasien diabetes tipe 1 juga perlu diperhatikan agar disesuaikan dengan kebutuhan dan usia. Pasien diabetes tipe 1 juga perlu memperhatikan hitungan karbohidrat pada menu makan dan minum.
"Golnya mereka bisa mandiri, bisa sadar dan tidak membohongi lagi konsumsi makannya," katanya.
Orang tua juga perlu terus mengawasi diabetes pada anak melalui cek rutin gula darah di berbagai fasilitas penyedia layanan. "Kalau insulin bagi pasien diabetes sudah dicover BPJS Kesehatan, hanya ada beberapa yang belum, seperti cek gula darah dan insulin pump, dan lainnya," katanya.
Dikatakan Aman, CDiC Camp yang kini diikuti sekitar 60 peserta dari kalangan pasien diabetes tipe 1 pada rentang usia 8 hingga 24 tahun merupakan salah satu contoh kegiatan berolahraga sekaligus edukasi kepada keluarga.
Peserta merupakan pasien yang melakukan kontrol penyakit di RS Jabodetabek serta terdaftar di PrimaKu sebagai aplikasi pencatat gula darah di Indonesia.
Changing Diabetes in Children (CDiC) adalah salah satu program kerja sama dari Novo Nordisk dan mitra globalnya dengan Kementerian Kesehatan RI dan IDAI untuk memperbaiki kesehatan anak-anak penderita diabetes tipe 1 di Indonesia.
CDiC merupakan program untuk meningkatkan akses perawatan dan obat-obatan untuk anak-anak dan remaja dengan DMT1 dan program edukasi ke tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat secara umum mengenai pentingnya diagnosa awal terhadap diabetes tipe 1.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: IDAI tengarai patogen hingga zat kimia sebagai pencetus diabetes
"Kasus diabetes tipe 1 sekarang tinggi. Menurut IDAI prevalensinya meningkat sampai 700 kali, tapi data saya meningkat sekitar 70 kali dalam kurun 10 tahun terakhir," kata Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Aman Bhakti Pulungan di sela kegiatan CDiC Camp di Bogor, Jawa Barat, Ahad.
Ia mengatakan patogen, zat kimia, hingga pengaruh perubahan lingkungan karena pemanasan global ditengarai sebagai pencetus diabetes melitus, selain faktor utamanya akibat pola hidup tidak sehat.
Misalnya, kata Aman, Enterovirus (Echovirus/EV) yang kini ditengarai memiliki potensi memicu kasus diabetes pada manusia.
"Beberapa virus tertentu seperti enterivirus sebagai penyakit tangan, kaki, dan mulut (hand, foot and mouth disease/HFMD) memiliki banyak tipe. Kalau Enterovirus sudah lama ditengarai sebagai pencetus diabetes," katanya.
Ia mengatakan laporan tersebut, salah satunya datang dari Finlandia yang memiliki kasus terbanyak Enterovirus pada anak.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Jumat (7/7) mengumumkan sebanyak 26 bayi di sejumlah negara Eropa terinfeksi Enterovirus. Delapan dari bayi tersebut meninggal setelah gagal organ dan sepsis.
Kasus infeksi Enterovirus dilaporkan dari Kroasia, Prancis, Italia, Spanyol, Swedia, dan Inggris. Sebagian besar kematian dilaporkan dari Prancis.
Kasus Enterovirus-11 diidentifikasi pada awal 2022. Setidaknya setengah dari 26 kasus dilaporkan sejak akhir musim semi 2023.
Aman yang menjabat sebagai Project Lead Changing Diabetes in Children (CDiC) Indonesia menyebut faktor lain yang juga berisiko mempengaruhi diabetes tipe 1 pada rentang usia anak sejak lahir hingga 24 tahun adalah Endocrine Disruptor Chemical atau bahan kimia pengganggu endoktrin.
"Sistem endoktrin bisa terganggu karena kimia, polusi, hingga pemanasan global. Sekarang banyak anak pubertasnya lebih cepat, kanker meningkat, anak penisnya lebih kecil. Kami perhatikan sekarang jadi tambah banyak," katanya.
Sejumlah negara di dunia saat ini mulai membatasi pemanfaatan bahan kimia yang memiliki kecenderungan mengganggu kesehatan, salah satunya China dengan menyusun daftar produk berbahan dasar kimia yang tidak boleh dipakai ulang, kata Aman menambahkan.
Ia mengatakan penelitian jurnal hewan di salah satu peternakan buaya di Amerika Serikat juga memperkuat kondisi itu dengan melaporkan terdapat pengaruh kontaminasi zat tertentu pada habitat peternakan yang memicu reproduksi buaya semakin berkurang.
"Kok tambah sedikit buaya yang lahir karena tidak ada telurnya. Saat dilihat penis buayanya ternyata kecil. Di peternakan buaya di Florida dilihat, ternyata juga begitu keadaannya ada zat yang mengontaminasi," katanya.
Aman mendorong otoritas terkait di Indonesia untuk segera menyusun daftar Endocrine Disruptor Chemical dan dipublikasikan sebagai upaya mencegah dampak buruk pada kesehatan manusia.
"List of Endocrine Disruptor Chemical ini harus kita waspadai dan share ke publik. Bukan hanya yang dimakan atau tersentuh kulit, perubahan cuaca dan CO2 juga bisa berpengaruh," katanya.
Sementara itu, Prof Aman Bhakti Pulungan yang merupakan Project Lead Changing Diabetes in Children (CDiC), mengemukakan lima pilar intervensi yang efektif untuk menstabilkan diabetes melitus tipe 1 pada usia anak.
"Intervensi yang efektif terdiri atas lima pilar penting, yakni pemberian insulin, diet makan yang diatur sesuai kebutuhan dan usia, dimonitor diabetes-nya, berolahraga, dan edukasi," kata Prof Aman Bhakti Pulungan.
Ia mengatakan, pemberian insulin menjadi faktor terpenting untuk menstabilkan diabetes tipe 1 akibat kadar gula darah yang tinggi. Penyebab diabetes tipe 1 karena tubuh tidak bisa menghasilkan hormon insulin secara optimal sehingga glukosa dalam darah tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh dan diolah menjadi energi.
Pemberian insulin dari luar merupakan kontrol terbaik bagi pasien diabetes tipe 1 agar dapat terus mempertahankan kondisi normal hemoglobin di angka normal kurang dari 6,5 atau maksimal 7.
"Edukasi yang paling bagus adalah kontrol metabolisme HbA1C atau rata-rata sel darah merah selama tiga bulan. Kalau turun ke normal dia harusnya di bawah 7, kalau bisa di bawah 6,5. Saat ini rata-rata angka nasional masih di angka 10," katanya.
Aman yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis anak konsultan endokrinologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu mengatakan diet makan pada pasien diabetes tipe 1 juga perlu diperhatikan agar disesuaikan dengan kebutuhan dan usia. Pasien diabetes tipe 1 juga perlu memperhatikan hitungan karbohidrat pada menu makan dan minum.
"Golnya mereka bisa mandiri, bisa sadar dan tidak membohongi lagi konsumsi makannya," katanya.
Orang tua juga perlu terus mengawasi diabetes pada anak melalui cek rutin gula darah di berbagai fasilitas penyedia layanan. "Kalau insulin bagi pasien diabetes sudah dicover BPJS Kesehatan, hanya ada beberapa yang belum, seperti cek gula darah dan insulin pump, dan lainnya," katanya.
Dikatakan Aman, CDiC Camp yang kini diikuti sekitar 60 peserta dari kalangan pasien diabetes tipe 1 pada rentang usia 8 hingga 24 tahun merupakan salah satu contoh kegiatan berolahraga sekaligus edukasi kepada keluarga.
Peserta merupakan pasien yang melakukan kontrol penyakit di RS Jabodetabek serta terdaftar di PrimaKu sebagai aplikasi pencatat gula darah di Indonesia.
Changing Diabetes in Children (CDiC) adalah salah satu program kerja sama dari Novo Nordisk dan mitra globalnya dengan Kementerian Kesehatan RI dan IDAI untuk memperbaiki kesehatan anak-anak penderita diabetes tipe 1 di Indonesia.
CDiC merupakan program untuk meningkatkan akses perawatan dan obat-obatan untuk anak-anak dan remaja dengan DMT1 dan program edukasi ke tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat secara umum mengenai pentingnya diagnosa awal terhadap diabetes tipe 1.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: IDAI tengarai patogen hingga zat kimia sebagai pencetus diabetes