Tanjungpinang (ANTARA) - Kepala Ombudsman Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Lagat Siadari menyatakan jika perkawinan campuran antara warga Indonesia dengan warga asing perlu disosialisasikan secara masif kepada masyarakat.

Menurut dia, Kepri terutama Kota Batam merupakan daerah pengembangan industri sejak tahun 70-an, sehingga dalam perkembangannya perkawinan campuran menjadi hal biasa di daerah perbatasan itu.

"Banyak terjadi perkawinan campuran, khususnya perempuan Indonesia di Batam. Mereka yang awalnya bekerja, lalu bersepakat membina rumah tangga dengan warga asing," ujar Lagat di Tanjungpinang, Kamis.

Kendati begitu, kata dia, pihaknya mendapatkan informasi ada beberapa perkawinan campuran yang tidak tercatat secara resmi, sehingga dampaknya bisa memicu persoalan hukum di kemudian hari, seperti pada status anak hasil nikah atau pembagian harta benda ketika terjadi perceraian.

Lagat juga menilai masih ada masyarakat di Kepri belum menyadari hak maupun konsekuensi yang ditimbulkan dari perkawinan campuran dengan warga negara asing (WNA).

Hal ini, kata dia, harus jadi perhatian pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait supaya gencar melakukan sosialisasi serta edukasi pada masyarakat luas terkait risiko dan dampak hukum perkawinan campuran, salah satunya berpotensi kehilangan status warga negara Indonesia (WNI).

"Ini yang belum sepenuhnya diketahui luas masyarakat terkait risiko dari keputusan menikah dengan orang asing," ujar Lagat.

Ia pun menyarankan khususnya kepada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kepri menyediakan layanan call center bagi warga yang memerlukan edukasi dan informasi sebelum memutuskan melakukan perkawinan campuran dengan orang asing.

"Dengan begitu, mereka bisa melakukan langkah-langkah mitigasi terhadap risiko dan dampak hukum ke depan dari perkawinan campuran itu," kata Lagat.

Secara terpisah, Kepala Kanwil Kemenkumham Kepri I Nyoman Geda Surya Mataram menyampaikan pihaknya sudah melakukan sosialisasi masif perihal perkawinan campuran kepada masyarakat melalui media massa hingga media sosial.

Ia juga menyampaikan bahwa kondisi geografis Kepri yang berbatasan dengan negara Malaysia dan Singapura menjadikan perkawinan campuran sangat mungkin terjadi di daerah itu.

Dia menyebut hingga tahun 2024 ada 215 data perkawinan campuran antara warga Indonesia dan warga asing di wilayah Kepri, yang tersebar di masing-masing wilayah Kepri, yakni Kabupaten Karimun 15 orang, Tanjungpinang tujuh orang, dan sisanya didominasi Batam yang sebanyak 193 orang.

"Perkawinan campuran itu meliputi berbagai etnis, ada warga Kepri yang berkawin dengan warga negara Singapura, Inggris dan negara lainnya," ujarnya.

Secara aturan, kata dia, perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Adapun dimaksud perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

"Apabila perkawinan campuran dilakukan di luar negeri, misalnya Singapura maka ketika kembali ke Indonesia harus tetap didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat supaya pernikahannya tercatat secara resmi," ujarnya.

Selain itu, ia turut mengingatkan WNI yang ingin kawin dengan WNA harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain wajib memiliki dokumen perjalanan seperti paspor dan memiliki izin tinggal, serta mendapat surat persetujuan dari kedutaan atau konsulat negara bersangkutan yang ada di Indonesia, khususnya Kepri.

"Surat persetujuan dimaksud menjadi bukti apakah WNA bersangkutan sudah menikah atau belum di negara asalnya. Jangan sampai warga negara kita dibohongi. Kalau sudah nikah di negaranya, kami sarankan sebaiknya tidak menikah dengan yang bersangkutan," kata Surya Mataram.
 
Baca juga: Kemenkumham catat ada 215 perkawinan campuran di Kepri

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ombudsman Kepri sebut perkawinan campuran perlu sosialisasi masif

Pewarta : Ogen
Editor : Angiela Chantiequ
Copyright © ANTARA 2024