Natuna (Antara Kepri) - Masyarakat Pulau Serasan, Kecamatan Serasan, Natuna, pada Minggu (14/2) menemukan bangkai hewan langka gajah mina yang membusuk di pantai Sisi.
"Saat itu menjelang magrib, saat saya sedang duduk-duduk di Pantai Sisi, dari jauh lihat seonggok barang menyerupai seperti ikan paus terdampar," ujar seorang warga Serasan Robbi Sanjaya (36) kepada Antara, Rabu.
Ia menyangkai, onggokan besar di tepi pantai yang sedang surut adalah ikan paus, namun saat didekatinya, ternyata hewan besar yang memiliki gading panjang, belalai diwajah, bertelinga lebar dan berekor seperti paus.
"Saya sangka semula ikan paus ternyata gajah mina, yakni gajah laut yang dulu sering diceritakan masyarakat. Ini hewan dari lautan dalam," ujar Robbi.
Ayah seorang anak itu lalu memanggil beberapa temannya karena hewan aneh yang ditemuinya itu belum pernah mereka lihat. Dalam sekejab, Pantai Sisi heboh. Masyarakat Serasanpun berduyun melihat bangkai hewan langka bertubuh tambun yang telah menebarkan aroma busuk.
Hewan besar berukuran panjang sekitar enam meter itu semula hanya jadi tontonan, namun pada Selasa (16/2) kemarin hewan besar tersebut ditarik ke darat dan masyarakat menguburnya.
"Agar tidak mendatangkan penyakit," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, DR. Eddiwan menanggapi terdamparnya hewan laut dalam itu karena ruaya yang dialami gajah mina tersebut.
"Ruaya atau alur migrasinya terganggu karena perubahan cuaca dan arus laut yang mengakibatkan ikan yang hidup bebas dilaut lepas atau samudra itu terjebak di lautan karang dan kepulauan," ujar Eddiwan.
Menurut dia, perairan samudra seperti Selat Melaka dan Laut China Selatan merupakan habitat gajah mina. Populasi hewan laut yang masuk dalam keluarga dugong (Dugong dugon) ini merupakan karnivora yang populasinya makin menipis.
Ia menjelaskan, masyarakat mengenalnya sebagai gajah mina, selain karena faktor perubahan arus laut yang menyebabkan hewan ini terdampar di pulau juga makanannya berupa ikan-ikan kecil yang makin sedikit dilingkungannya.
Akibatnya, lanjut dia, dalam mencari makanan hewan besar itu terjebak diperairan karang dan saat air surut dia terperangkap tidak lagi bisa keluar dan terkurung di perairan dangkal sehingga akhirnya mati dan kemudian dihempas gelombang ke pantai.
"Itu makanya masyarakat acap menemukan hewan ini dalam kondisi telah menjadi bangkai," katanya.
Menurut dia, populasi gajah mina makin menurun dan hewan ini perlu segera dikonservasi walau telah masuk dalam daftar Appendiks I yakni daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.
Ia mengatakan, konservasi terhadap hewan laut bergading itu perlu segera dilakukan mengingat bukan tidak mungkin ke depannya akan makin banyak hewan ini ditemukan mati di tepi pantai.
"Dulu beberapa kasus gajah mina ditemukan mati di pantai Pulau Bintan, sekarang di kepulauan Anambas dan Natuna. Bukan tidak mungkin akan banyak lagi kasus temuan serupa yang terjadi jika kegiatan konservasi nisbi tidak segera dilakukan," katanya.
Konservasi nisbi menurut dia, melakukan pengelolaan kawasan mengikuti kondisi alam yang ada dengan tidak melakukan rekayasa lingkungan.
"Jadi ada orisinalitas sebab hewan itu lahir dari alam tanpa campur tangan manusia," kata Eddiwan yang juga pakar teknologi kelautan. (Antara)