KAPAL karam yang membawa 101 tenaga kerja Indonesia dari Johor, Malaysia, ke Batam, Kepulauan Riau awal November 2016 turut mengubur mimpi Nurhalida untuk membiayai sekolahnya sendiri.

Sekitar setahun yang lalu, Nurhalida (16) yang baru saja lulus SMP berangkat ke Malaysia untuk bekerja. Mimpinya satu, mengumpulkan uang untuk bersekolah.

"Saya ingin sekali masuk SMA. Tapi orang tua tidak punya dana, makanya saya berusaha mencari sendiri," kata Nurhalida yang ditemui di penampungan Nilam Suri Kota Batam Kepulauan Riau.

Meski ditentang, perempuan yang akrab disapa Aida itu tetap pada pendiriannya, berangkat ke negeri jiran.

Perempuan asal Lombok Nusa Tenggara Timur berjanji pada diri sendiri, untuk hanya bekerja sebentar di negeri jiran. Sampai dana sekolah terkumpul.

Sejumlah dokumen terpaksa dikaburkan, agar Nurhalida bisa berangkat ke Malaysia melalui jalur resmi dan tercatat sebagai TKI legal.

Begitulah, setelah sekitar delapan bulan bekerja sebagai asisten rumah tangga, ia berhasil mengumpulkan ribuan ringgit Malaysia.

Anak ketiga dari enam bersaudara itu pun memberanikan diri menghadap majikan, mengutarakan keinginannya untuk pulang ke Tanah Air. Dan diizinkan.

"Majikan saya baik, tidak ada masalah," tutur perempuan berparas manis khas Lombok.

Aida pun dipulangkan majikan kepada agen yang menjadi perantaranya.

Agen pun meluluskan keinginan Aida untuk pulang.



Tapi bukannya mengantar perempuan itu pulang melalui jalur resmi, Aida malah diberikan petunjuk untuk pulang dengan jalur gelap, melalui hutan dan menumpang kapal kecil untuk sampai di Batam.

Agen pun tidak membayarkan biaya kepulangannya. Aida harus merelakan tabungannya untuk pulang.

Aida diantar melalui hutan untuk sampai ke pelabuhan yang kelam di Malaysia. Bersama lebih dari 100 TKI lainnya, Aida kemudian mengarungi lautan di tengah gelombang yang tinggi.

"Di sana saya berkenalan dengan tiga orang, semuanya perempuan," Aida bercerita, getir.

Tiga teman barunya itu duduk bersebelahan di atas kapal tidak bertempat duduk. Semuanya lesehan di atas kapal viber yang melaju di tengah malam.

Sampailah kejadian naas itu. Kapal tersangkut di karang, disusul gelombang besar yang membalikan kapal bermuatan penuh.

Aida, bersama tiga kawan barunya terhempas ke dalam air laut yang gelap.

Tas tanpa resleting yang disandang dibahunya ikut melayang. Uang sebanyak 2.900 ringgit dan Rp2 juta berhamburan di udara, sebelum berserakan di air yang dingin.

Secepat itu, mimpi Aida untuk membiayai sekolahnya sendiri terhempas. Jangankan untuk mengumpulkan lagi uang yang tercecer, menyelamatkan nyawa sendiri pun agaknya sulit.

"Teman saya yang baru, kalau tidak salah namanya Mirna memeluk saya. Kami saling berpelukan, takut tenggelam," ceritanya dalam suara sangat pelan.

Lama mereka berpelukan, sampai Aida merasa tubuh kawannya itu semakin berat, membawanya jauh ke dalam air.

"Saya berusaha melepaskan badannya. Dia bilang, 'tolong...', saya tak kuasa, saya nak (akan) bantu dia," lanjutnya.

Namun, badan kawannya itu jauh semakin berat terbawa ke bawah air. Kawannya itu tidak lagi memeluk badan Aida, melainkan celana panjangnya, kemudian menariknya hingga lepas dan menghilang dari jangkauan mata.

Aida mencari. Dan ia menemukan mulut teman barunya sudah dalam keadaan menganga. "Dia meninggal," kata gadis itu.

Limbung, Aida juga merasa tidak ada harapan. Seluruh kepalanya berada di bawah permukaan air. Sampai seorang TKI lain menarik rambutnya, dan menyeretnya hingga dapat berpegangan ke atas sebatang kayu.

"Di situlah saya bertahan, berpegangan ke kayu. Sekira dua jam sampai ada nelayan yang datang untuk menolong," ujar anak petani itu.

Aida ditolong nelayan Kota Batam pada dini hari, dan langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kepri dalam keadaan setengah sadar.

Begitu sadar, ia pun diminta mengidentifikasi korban meninggal yang berhasil ditemukan tim. Di sana ia melihat jenazah tiga kawan barunya, termasuk perempuan yang ingin ia selamatkan sebelumnya.

"Saya beruntung bisa selamat," katanya.

Tetap Sekolah

Nuraida, bersama 38 korban selamat lainnya diinapkan di penampungan Nilam Suri sambil menunggu pemulangan ke daerah masing-masing.

Ia pun kembali merangkai mimpinya yang sempat tercebur ke laut.

"Saya sudah telepon orang tua. Kakak saya yang bekerja di Saudi pun janji akan membiayai uang sekolah saya untuk SMA," katanya. Kali ini ia tersenyum, meski matanya masih berada di awang-awang.

Aida bertekad, apa pun yang terjadi, harus melanjutkan sekolah.

Sekarang, ia menanti kepulangan ke Lombok, bertemu orang tua, dan segera mengenakan seragam putih-abu-abu.

Sementara itu, Badan Nadional Penempatan dan Perlindungn Tenaga Kerja Indonesia akan menanggung seluruh biaya pemulangan korban selamat dan meninggal dalam peristiwa tenggelamnya kapal pengangkut TKI ilegal di Batam.

"Baik korban meninggal ataupun selamat kami tanggung pemulangannya hingga kampung halaman," kata Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono.

Pemulangan 39 orang korban selamat masih membutuhkan waktu mengingat mereka masih dibutuhkan untuk mengenali setiap jenazah yang sudah ditemukan.

"Mereka diminta untuk membantu agar jenazah bisa diidentifikasi. Bila sudah selesai juga akan kami pulangkan," kata dia.

Hingga Jumat (4/11) sore, tim SAR gabungan sudah berhasil menemukan 54 orang jenazah dari peristiwa tersebut. Enam orang masih dinyatakan hilang dan dalam pencarian. (Antara)

Editor: Rusdianto


Pewarta : YJ Naim
Editor : Kepulauan Riau
Copyright © ANTARA 2024