Batam (Antaranews Kepri) - Himpunan Kawasan Industri (HKI) Provinsi Kepulauan Riau mempertanyakan keputusan Gubernur Kepri, Nurdin Basirun yang menandatangani surat keputusan upah minimum sektoral (UMS) Kota Batam 2018.
"Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, konsep pengupahan bertujuan untuk memberikan kepastian kepada pengusaha, terkait prediksi upah yang harus dibayar setiap tahunnya," kata Ketua Koordinator Wilayah HKI Kepri, OK Simatupang, di Batam, Selasa.
OK mengatakan dengan terbitnya SK UMS tersebut membuat semua menjadi tidak bisa diprediksi. OK menambahkan pada pasal 49 PP tersebut, dijelaskan dalam menetapkan UMS harus berdasarkan kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja atau buruh pada sektor yang bersangkutan.
"Yang ingin kami garisbawahi, apakah Keputusan Guburnur Kepri Nomor 804 Tahun 2018 tentang penetapan UMS Kota Batam 2018 sudah mengacu pada aturan tersebut?" ujarnya.
Kata OK, apabila tidak ada kesepakatan mengapa UMS Kota Batam harus dipaksakan. "Inilah salah satu hal yang membuat tidak ada kepastian hukum dalam berusaha," kata OK.
Menurut OK banyak keluhan datang dari para industri, ketika UMS dikeluarkan. Karena membuat mereka harus menghitung ulang anggaran biaya yang sudah dianggarkan sebelumnya.
Belum lagi, lanjut OK, adanya desakan dari pihak serikat pekerja yang minta upah sundulan bagi pekerja di atas satu tahun. "Pemerintah daerah harusnya arif dan bijaksana menyikapi polemik upah sektoral yang menjadi masalah setiap tahunnya," tuturnya.
Setiap tahun pihaknya harus "bertengkar" dan membuang banyak energi untuk hal-hal tersebut. Dikatakan OK, kalangan pengusaha UMK Kota Batam sudah sangat tidak kompetitif.
Jika dibandingkan upah negara-negara yang saat ini menjadi pesaing Kota Batam. "Di Malaysia upah pekerja berada pada kisaran 218 sampai 238 dolar Amerika Serikat, Vietnam 145 sampai 167 dolar Amerika Serikat, Myanmar 80,28 dolar Amerika Serikat, Laos 110 dolar Amerika Serikat, Filipina 175 dolar Amerika Serikat, Cambodia 140 dolar Amerika Serikat," ujar OK.
Sementara di Kota Batam kata OK sudah mendapai 260 dolar Amerika Serikat atau Rp3.523.427. Sementara jam kerja hanya 40 jam per minggu, sedangkan negara-negara tersebut menerapkan sistem 48 jam per minggu. "Apakah Batam masih kompetitif?," tutupnya.(Antara)
"Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, konsep pengupahan bertujuan untuk memberikan kepastian kepada pengusaha, terkait prediksi upah yang harus dibayar setiap tahunnya," kata Ketua Koordinator Wilayah HKI Kepri, OK Simatupang, di Batam, Selasa.
OK mengatakan dengan terbitnya SK UMS tersebut membuat semua menjadi tidak bisa diprediksi. OK menambahkan pada pasal 49 PP tersebut, dijelaskan dalam menetapkan UMS harus berdasarkan kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja atau buruh pada sektor yang bersangkutan.
"Yang ingin kami garisbawahi, apakah Keputusan Guburnur Kepri Nomor 804 Tahun 2018 tentang penetapan UMS Kota Batam 2018 sudah mengacu pada aturan tersebut?" ujarnya.
Kata OK, apabila tidak ada kesepakatan mengapa UMS Kota Batam harus dipaksakan. "Inilah salah satu hal yang membuat tidak ada kepastian hukum dalam berusaha," kata OK.
Menurut OK banyak keluhan datang dari para industri, ketika UMS dikeluarkan. Karena membuat mereka harus menghitung ulang anggaran biaya yang sudah dianggarkan sebelumnya.
Belum lagi, lanjut OK, adanya desakan dari pihak serikat pekerja yang minta upah sundulan bagi pekerja di atas satu tahun. "Pemerintah daerah harusnya arif dan bijaksana menyikapi polemik upah sektoral yang menjadi masalah setiap tahunnya," tuturnya.
Setiap tahun pihaknya harus "bertengkar" dan membuang banyak energi untuk hal-hal tersebut. Dikatakan OK, kalangan pengusaha UMK Kota Batam sudah sangat tidak kompetitif.
Jika dibandingkan upah negara-negara yang saat ini menjadi pesaing Kota Batam. "Di Malaysia upah pekerja berada pada kisaran 218 sampai 238 dolar Amerika Serikat, Vietnam 145 sampai 167 dolar Amerika Serikat, Myanmar 80,28 dolar Amerika Serikat, Laos 110 dolar Amerika Serikat, Filipina 175 dolar Amerika Serikat, Cambodia 140 dolar Amerika Serikat," ujar OK.
Sementara di Kota Batam kata OK sudah mendapai 260 dolar Amerika Serikat atau Rp3.523.427. Sementara jam kerja hanya 40 jam per minggu, sedangkan negara-negara tersebut menerapkan sistem 48 jam per minggu. "Apakah Batam masih kompetitif?," tutupnya.(Antara)