Kedaulatan Telekomunikasi Terpenggal di Perbatasan

id Kedaulatan, Telekomunikasi, Terpenggal,Perbatasan,sinyal,singtel,axiata,pulau,nipah,menara,telkomsel,batam,xl,singapura

KAPAL baru saja mencium bibir Pulau Nipah, Kota Batam, Kepulauan Riau, ketika empat pesan singkat telepon seluler masuk, isi pesannya berbahasa Inggris yang menyampaikan ucapan selamat datang di Singapura.

Loh, bukannya Pulau Nipah masuk dalam wilayah Indonesia? Dalam perjanjian antara Indonesia Singapura pada 25 Mei 1973 disepakati Pulau Nipah merupakan titik referensi dan titik dasar dalam penarikan batas wilayah Indonesia dan Singapura. Pulau itu adalah bagian dari NKRI.

Setelah pesan singkat ucapan selamat datang, kembali datang pesan pemberitahuan bahwa jika kita hendak menggunakan fasilitas telepon, maka terkena biaya "roaming".

Kemudian, nama perusahaan telekomunikasi di layar ponsel berubah dari perusahaan Indonesia menjadi perusahaan Singapura, misalnya Telkomsel menjadi SingTel dan XL menjadi Axiata.

Seorang prajurit mengingatkan agar tidak dirugikan, maka pengguna provider Indonesia perlu segera mengubah pengaturan telepon genggam.

"'Setting'-annya harus diubah dulu menjadi manual, biar dapat provider Indonesia," begitu nasihat prajurit yang berjaga di Pulau Nipah, Kopral Dua Muhlisno, beberapa pekan silam..

Ia mengatakan sinyal memang menjadi kendala di daerah perbatasan itu. Sering kali, sinyal dari Indonesia tidak masuk, sedangkan dari Singapura membanjir tanpa diundang.

Menurut dia, jika tidak cepat-cepat menyetel ke manual, maka pemegang kartu provider Indonesia terkena biaya "roaming" atau pulsa pun tersedot padahal tidak meminta sambungan atau mengirim pesan melalui penyedia jasa telepon seluler dari Singapura.

Di Pulau Nipah, di barat Pulau Batam, telepon seluler adalah satu-satunya alat telekomunikasi pengobat rindu prajurit pada keluarga di kampung halaman, sambil menjaga kedaulatan teritorial di perbatasan.

Daratan Batam

Tidak usah jauh-jauh hingga menyebrang pulau. Di daratan Kota Batam saja, sinyal Negeri Singa masih kerap "menjajah" telekomunikasi warga pesisir. Di Nongsa misalnya, warga kerap kesulitan menelepon karena khawatir terkena beban "roaming".

Warga Tanjung Memban, Awang mengatakan harus berlari ke Batu Besar yang berjarak sekitar satu kilometer untuk mendapatkan sinyal Indonesia.

"Bahaya kalau dapat sinyal Singapura, mahal betul," kata dia.

Awang mengaku bingung daerahnya masih "dikuasai" sinyal asing. Padahal jarak tempat tinggalnya ke wilayah lain yang memiliki sinyal Indonesia hanya sekitar satu km.

"Awak serasa di Singapura kalau begini, padahal 67 tahun sudah kita merdeka," kata dia.

Dia mengaku harus mematikan telepon genggamnya ketika berada di dalam rumah agar terhindar dari "roaming". "Asal-asal awak terima telepon, kena roaming pula," kata dia.

Beban "roaming" memang relatif lebih mahal ketimbang biaya normal. Contohnya saja, jika pada pengiriman pesan singkat normal hanya Rp100-Rp350 per pesan, maka jika menggunakan sinyal negara lain menjadi Rp2.000-Rp3.000 per pesan.

Regulasi Bilateral
         
Manajer Teknis Telkomsel Batam, Andreas Saing mengatakan harus ada regulasi sinyal di daerah perbatasan agar tidak melampaui wilayah negara. Dengan begitu, sinyal provider Malaysia, juga Singapura tidak memasuki wilayah Indonesia.

Kebijakan itu, seharusnya didiskusikan oleh perwakilan dua negara agar tidak merugikan masyarakat, kata dia.

Ia mengatakan seharusnya ada batas internasional yang tegas agar sinyal tidak "menyeberang" ke wilayah negara lain. Jika regulasi itu ada dan diterapkan secara baik, maka warga negara Indonesia tidak perlu khawatir terbebani "roaming" bila berada di daerah perbatasan.

Masuknya sinyal Singapura ke wilayah Indonesia menurut dia tidak ada hubungannya dengan teknologi yang digunakan perusahaan dari negara tersebut.

"Teknologi tidak ada bedanya," kata dia.
 
Telkomsel dan XL

Saing mengakui, Telkomsel belum memiliki menara pemancar di beberapa pulau terluar Indonesia.

"Di Pulau Nipah memang belum ada 'tower' kami," kata dia.

Sebenarnya, kata dia, Telkomsel berupaya memasang menara pemancar sejak beberapa waktu lalu, namun terkendala beberapa hal sehingga tidak bisa dipasang hingga pertengahan 2012.

"Kami sudah coba pasang 'tower' di sana, cuma terkendala makanya agak molor... lama," kata dia.

Sementara belum ada pemancar, anak perusahaan PT Telkom itu berupaya menguatkan sinyal dengan memasang "receiver" untuk membantu prajurit yang kesulitan berkomunikasi.

Ia mengharapkan pembangunan menara telekomunikasi seluler di Pulau Nipah terlaksana sebelum tahun berganti 2013.

Ditemui terpisah, Ketua Tim Radio Frekuensi Optimasi XL Edy Swasono mengatakan belum memasang menara pemancar di pulau itu. Meski begitu sinyal di pulau itu cukup bagus karena dikelilingi beberapa BTS yang dipasang di pulau sekitarnya.

"Di Pulau Nipah, sinyal diterima dari Pulau Kasu, Pulau Belakang Padang dan Pulau Karimun, yang memang kebetulan jangkauannya luas," kata dia.

Sinyal di Pulau Kasu misalnya, jaringannya sudah teknologi 3G yang memungkinkan capaian tinggi dan kualitas baik.

"Sejelek-jeleknya sinyal 3G masih lebih bagus ketimbang GPRS untuk komunikasi," kata dia.

XL juga berencana memasang menara pemancar khusus di Pulau Nipah, karena banyaknya permintaan dari prajurit yang ditugaskan menjaga perbatasan.

"Saya pernah berdiskusi dengan tim 'sales'. Di pulau itu ada Markas Pangkalan TNI AL dan berharap XL membangun 'tower' di sana. Mudah-mudahan sesegera mungkin," kata dia.

Ia mengatakan meski di pulau itu belum terlalu banyak penduduk, namun menjadi prioritas bagi XL demi menjaga kedaulatan negara.

"Masak ada warga Indonesia yang tinggal di situ tetapi masih pakai sinyal Singapura," kata dia.

Untuk sementara, XL akan memasang alat penguat untuk mempertajam sinyal yang sudah ada di pulau karang itu, karena mayoritas prajurit menggunakan XL. (Y011/A013)


Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE