Bintan (ANTARA) - Ratusan nelayan di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menggelar aksi damai meminta pemerintah pusat mengevaluasi kembali Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
"Kami mengapresiasi terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2023, tapi pemerintah terkesan memaksakan dan terburu-terburu mengeluarkan regulasi tersebut," kata koordinator aksi, Andi Rio Framantha di depan kantor pengawasan perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri di Pasar Barek Motor Kijang, Bintan, Sabtu.
Andi menyebut seharusnya pemerintah mengambil langkah konsolidasi, diskusi, dan sosialisasi kepada sasaran/nelayan khususnya di Bintan, sebelum akhirnya mengesahkan PP Nomor 11 Tahun 2023.
Ia juga menilai tak ada koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal ini DKP Provinsi Kepri perihal kebijakan terbaru mengenai penangkapan ikan terukur tersebut.
"Bahkan DKP Provinsi Kepri sendiri, belum begitu paham soal aturan itu, ketika ditanyai oleh nelayan kami," ujar Andi.
Lanjut Andi menyampaikan salah satu substansi yang disorot nelayan Bintan di dalam PP Nomor 11 Tahun 2023, adalah menyangkut penetapan zona tangkap di atas 12 mil, harus mendapat surat izin penangkapan ikan (SIPI) dari pemerintah pusat, karena sudah menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sementara zona tangkap nelayan di bawah 12 mil, katanya, menjadi kewenangan pemerintah daerah tingkat Provinsi Kepri.
"Kebijakan ini merugikan nelayan kecil, sebab kapal-kapal 5 sampai 10 GT ke atas yang biasanya melaut di atas 12 mil, sekarang berbondong-bondong turun di area bawah 12 mil. Sehingga, menyebabkan hasil tangkapan nelayan lokal/tradisional makin berkurang, akibat kalah saing dari segi sarana dan prasarana tangkap," ujar Andi.
Persoalan lainnya yang disorot nelayan, lanjut dia, saat ini kapal-kapal dengan kapasitas maksimal 5 GT wajib memiliki alat sistem pemantauan kapal perikanan atau disebut VMS yang harganya berkisar di antara Rp18 juta hingga Rp20 juta.
Tak hanya itu, alat tersebut punya batas masa aktif selama satu tahun, dan harus diperpanjang setiap tahunnya dengan biaya Rp6 juta.
"Kami harap KKP meninjau lagi PP Nomor 11 Tahun 2023, karena letak geografis Provinsi Kepri berbeda dengan daerah lainnya, yang terdiri dari 96 persen lautan dan hanya empat persen daratan," katanya menegaskan.
Sementara, Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDK) KKP RI, Adin Nurawaluddin, saat meninjau kapal nelayan di Pasar Barek Motor Kijang, Bintan, Sabtu (29/7), menyampaikan bahwa Menteri KKP telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor : B.701/MEN-KP/VI/2023.
SE itu mengenai migrasi perizinan berusaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan, yang berkaitan pembatasan izin usaha zonasi, antara kewenangan pemerntah daerah dan pusat.
“Izin usaha kapal ikan yang beroperasi di bawah 12 mil di pemerintah provinsi. Sedangkan, 12 mil ke atas harus mendapatkan izin dari pusat,” katanya.
Aturan itu, lanjutnya, memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya pengusaha kapal ikan. Di antaranya, bobot kapal 25 GT hingga 30 GT bisa beroperasi di atas 12 mil dengan izin pemerintah pusat.
Selain itu, pemerintah pusat memungut pajak pengangkutan ikan dari para pengusaha sebesar 5 persen untuk bobot 60 GT ke bawah, dan 10 persen untuk retribusi kapal 60 GT ke atas.
“Hal ini agar pelaku usaha tidak merugi dan tidak menutup usahanya. Demikian pula ABK tetap bekerja dan mendapat penghasilan,” ujarnya.
"Kami mengapresiasi terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2023, tapi pemerintah terkesan memaksakan dan terburu-terburu mengeluarkan regulasi tersebut," kata koordinator aksi, Andi Rio Framantha di depan kantor pengawasan perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri di Pasar Barek Motor Kijang, Bintan, Sabtu.
Andi menyebut seharusnya pemerintah mengambil langkah konsolidasi, diskusi, dan sosialisasi kepada sasaran/nelayan khususnya di Bintan, sebelum akhirnya mengesahkan PP Nomor 11 Tahun 2023.
Ia juga menilai tak ada koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal ini DKP Provinsi Kepri perihal kebijakan terbaru mengenai penangkapan ikan terukur tersebut.
"Bahkan DKP Provinsi Kepri sendiri, belum begitu paham soal aturan itu, ketika ditanyai oleh nelayan kami," ujar Andi.
Lanjut Andi menyampaikan salah satu substansi yang disorot nelayan Bintan di dalam PP Nomor 11 Tahun 2023, adalah menyangkut penetapan zona tangkap di atas 12 mil, harus mendapat surat izin penangkapan ikan (SIPI) dari pemerintah pusat, karena sudah menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sementara zona tangkap nelayan di bawah 12 mil, katanya, menjadi kewenangan pemerintah daerah tingkat Provinsi Kepri.
"Kebijakan ini merugikan nelayan kecil, sebab kapal-kapal 5 sampai 10 GT ke atas yang biasanya melaut di atas 12 mil, sekarang berbondong-bondong turun di area bawah 12 mil. Sehingga, menyebabkan hasil tangkapan nelayan lokal/tradisional makin berkurang, akibat kalah saing dari segi sarana dan prasarana tangkap," ujar Andi.
Persoalan lainnya yang disorot nelayan, lanjut dia, saat ini kapal-kapal dengan kapasitas maksimal 5 GT wajib memiliki alat sistem pemantauan kapal perikanan atau disebut VMS yang harganya berkisar di antara Rp18 juta hingga Rp20 juta.
Tak hanya itu, alat tersebut punya batas masa aktif selama satu tahun, dan harus diperpanjang setiap tahunnya dengan biaya Rp6 juta.
"Kami harap KKP meninjau lagi PP Nomor 11 Tahun 2023, karena letak geografis Provinsi Kepri berbeda dengan daerah lainnya, yang terdiri dari 96 persen lautan dan hanya empat persen daratan," katanya menegaskan.
Sementara, Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDK) KKP RI, Adin Nurawaluddin, saat meninjau kapal nelayan di Pasar Barek Motor Kijang, Bintan, Sabtu (29/7), menyampaikan bahwa Menteri KKP telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor : B.701/MEN-KP/VI/2023.
SE itu mengenai migrasi perizinan berusaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan, yang berkaitan pembatasan izin usaha zonasi, antara kewenangan pemerntah daerah dan pusat.
“Izin usaha kapal ikan yang beroperasi di bawah 12 mil di pemerintah provinsi. Sedangkan, 12 mil ke atas harus mendapatkan izin dari pusat,” katanya.
Aturan itu, lanjutnya, memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya pengusaha kapal ikan. Di antaranya, bobot kapal 25 GT hingga 30 GT bisa beroperasi di atas 12 mil dengan izin pemerintah pusat.
Selain itu, pemerintah pusat memungut pajak pengangkutan ikan dari para pengusaha sebesar 5 persen untuk bobot 60 GT ke bawah, dan 10 persen untuk retribusi kapal 60 GT ke atas.
“Hal ini agar pelaku usaha tidak merugi dan tidak menutup usahanya. Demikian pula ABK tetap bekerja dan mendapat penghasilan,” ujarnya.