Batam (ANTARA) - Semburat sinar matahari pagi mulai menampakkan kehadirannya, menyinari gelombang lautan dan deretan pulau-pulau kecil yang tersembunyi. Seorang bidan bangun dari tidurnya dan membuka pintu rumahnya, kalau-kalau ada masyarakat sekitar yang butuh dirinya. Kisah ini membuka buku tebal berisi pengabdiannya yang tulus, dan perjuangan yang tidak kenal lelah.

Tetty S. Pardede, sosok bidan semata wayang yang ada di Pulau Sarang, Kota Batam melambangkan keberanian dan keteguhan hati. Telah lebih dari satu dekade ia mendedikasikan hidupnya untuk melayani masyarakat di kawasan terpencil. Jauh dari hiruk-pikuk Kota Batam, akses listrik bagai barang langka dan layanan kesehatan maksimal sering kali hanya menjadi angan semata.

Tetty adalah gambaran nyata dari sebuah panggilan jiwa. "Setiap kali saya melihat pasien pulang dengan sehat, itu adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya," ungkapnya, suaranya meredup penuh makna. Ungkapan itu bukan hanya sekadar kata-kata, itu adalah refleksi dari dedikasi yang terpatri dalam sanubarinya.

Pada tahun 2011, ia ditempatkan di Puskesmas Pembantu Pulau Pemping selama 8 bulan. Pulau itu merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Singapura.
 

Pertama kali ia menapakkan kaki di tanah Pulau Pemping, derai air mata membanjiri pipinya, menolak tak terima harus dipindahkan ke pulau yang sangat terpencil. Ia sempat mengeluhkan beberapa hal, seperti listrik yang hanya teraliri selama 4 jam mulai Pukul 18.00 hingga Pukul 22.00 WIB, sinyal yang sukar didapatkan, bahkan untuk mandi pun ia kewalahan.

Tetty harus jalan menuju pelabuhan kalau ia ingin mendapatkan sinyal, itu pun hanya bisa menggunakan sinyal yang didapatkan secara manual menggunakan ponsel jadulnya. Sedangkan untuk membersihkan diri, ia juga harus jalan berselimutkan kain kemben menuju sumur umum di tengah hutan Pulau Pemping, dengan mendorong gerobak kayu berisikan jerigen kosong. Ia berjalan bersama dengan warga, bahu membahu mengambil air demi mengisi bak kamar mandi mereka. Namun seiring berjalannya waktu, dirinya mulai terbiasa menghadapi rintangan-rintangan hidup di pulau.

Di Pemping lah ia pertama kali melihat adanya hewan penghisap darah, lipan tanah katanya. Saat itu, ia sedang mandi di area sumur umum. Sialnya, lipan tanah merayap naik ke kakinya. Diliputi rasa panik ia mengibaskan kakinya sembarang, berharap hewan itu melepaskan gigitan dari kakinya. 

Setelah berhasil terlepas, sakit dan bengkak mulai menjalar di sekujur kaki bidan itu. “Saat itu kaki saya terasa seperti mau patah saking sakitnya,” ungkapnya ngeri saat itu. Dokter dari pulau seberang didatangkan untuk memberikan penanganan medis. Tapi lagi-lagi karena hidup di wilayah kepulauan, butuh waktu 30 menit untuk akhirnya dokter bisa sampai ke kediaman Tetty. 

“Setelah diberikan suntikan obat oleh dokter, sakitnya berangsur-angsur mereda dari hari ke hari sampai akhirnya saya bisa pulih,” katanya di akhir cerita itu.

Bidan Tetty sedang menerima keluhan pasien Pulau Sarang yang berobat ke Polindes. (ANTARA/Angiela Chantiequ)


Maret tahun 2012, bidan 35 tahun itu dipindahkan ke Kelurahan Sekanak Raya, tepatnya di Pulau Sarang. Wilayah kerjanya mencakup Pulau Sarang dengan total 100 kepala keluarga, dan Pulau Mecan sebanyak 45 kepala keluarga. Keadaan Pulau Sarang sekitar 5 tahun lalu masih bergumul dengan masalah air bersih, sehingga pada saat itu masih ada warga yang berjualan air. Namun pemerintah bergerak menangani permasalahan air di sana dengan mengalirkan air PAM (Perusahaan Air Minum) dari Pulau Mecan melalui pipa bawah laut, sehingga sampai saat ini sudah jarang muncul permasalahan air.

Cuaca buruk menjadi salah satu musuh bebuyutan Bidan Tetty. Ia menyayangkan kondisi cuaca yang tidak bagus ketika harus bergerak cepat merujuk pasien ke Rumah Sakit Badan Pengusahaan (RSBP) Batam. Namun setiap kali dihadapkan dengan hal seperti itu, ia selalu memberikan pemahaman terbaik untuk mengedukasi keluarga pasien. 

Selain masalah cuaca, dirinya juga mengaku kewalahan dengan 60 persen warga Pulau Sarang yang masih mempercayai kepercayaan leluhur. Ketika satu pasien dihadapkan dengan suatu penyakit, tak jarang keluarganya menganggap itu sebagai tulah atau kemalangan yang berbau magis. Saat seperti itu, ia hanya bisa mengedukasi terus menerus hingga akhirnya keluarga dan pasien setuju untuk ditindak secara medis. “Meski sudah mendapati perawatan medis, mereka juga masih tetap menghadap ke tetua pulau untuk minta didoakan,” kata Tetty.

Maret tahun 2020, wabah Covid-19 menyebar ke seluruh dunia, Indonesia salah satunya. Tetty mengaku sempat merasa cemas yang berlebih akibat maraknya kasus Covid-19 ini. Pasalnya, pada bulan Juli 2020 harusnya ia pulang ke kampung untuk melangsungkan pernikahannya yang sakral. 

Setiap malam suara tangis terdengar dari kamarnya pada kala itu, mengkhawatirkan kesehatan masyarakat pulau dan juga kesehatannya. Pada masa awal wabah menerjang, masyarakat masih banyak yang belum percaya. Tetty bersama teman seperjuangannya sesama bidan ikut turun ke pulau-pulau untuk melakukan vaksinasi. Setelah semua edukasi dan bujukan para nakes kepada masyarakat di pulau-pulau, akhirnya mereka melakukan vaksin hingga dosis dua. “Ada juga yang mencapai dosis tiga sebenarnya, tapi hanya sebagian saja,” tegas Tetty dalam ceritanya. Pada akhirnya, ia harus mengikhlaskan jadwal pernikahannya ditunda hingga bulan Desember 2020.

Bidan Tetty menggunakan kapal kecil untuk menyeberangi lautan menuju ke Kota Batam. (ANTARA/Angiela Chantiequ)


Setiap langkah yang diambilnya menyimpan cerita, yang membentuk jiwa dan karakternya sebagai bidan. Salah satu momen yang tercetak jelas di benaknya, terjadi saat ia menangani seorang pasien hamil yang mengalami komplikasi. Saat itu Pukul 01.30 WIB, ia dijemput oleh keluarga pasien di Pulau Mecan. 

“Saya sampai ke rumahnya, lalu saya lakukan pengecekan standar, ternyata tensinya tinggi. Saya lihat udah tanda-tanda mau kejang,” kata Tetty dengan raut wajah seriusnya, seakan-akan tubuhnya kembali ke masa itu. Benar saja, tak lama setelah Tetty merasakan tanda-tanda itu, pasien mengalami kejang kedua. Dalam dunia medis, jika sudah masuk ke kejang kedua, hal itu sudah fatal dan bisa berujung kematian.

Dalam upayanya merujuk pasien ke RSBP Batam, cobaan lain kembali datang. Air laut pada malam itu mengalami surut yang panjang. Hal itu mengharuskan keluarga membopong pasien, melewati karang tajam untuk berjalan menuju kapal, yang mereka gunakan menyeberangi lautan. 

Meskipun berusaha memberikan penanganan terbaik, takdir berkata lain. “Anaknya meninggal dalam kandungan. Saat berusaha menyelamatkan ibunya, ternyata ibunya juga ikut tak terselamatkan walaupun sudah ada di atas meja operasi. Itu adalah penyesalan terbesar saya,” tuturnya dengan suaranya tergetar oleh emosi yang dalam.

Di tengah kesedihan itu, ada pelajaran berharga yang ia bawa. Setiap kegagalan menjadi pendorong untuknya agar menjadi lebih baik lagi. Sorot matanya seperti ingin menyampaikan bahwa setiap momen, baik suka maupun duka, telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan dan ketangguhan dalam memperjuangkan kesehatan masyarakat di wilayah terdepan Indonesia.


Pewarta : Angiela Chantiequ
Editor : Angiela Chantiequ
Copyright © ANTARA 2024