Tanjungpinang (Antara Kepri) - Anggota Komisi III DPR RI, Dwi Ria Latifa optimistis revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dirampungkan pada 2017 mendatang.
"Meskipun masih pada tahap buku pertama dan masih diperdebatkan, tapi kami menginginkan 2017 sudah selesai," kata Anggota Komisi III DPR RI, Dwi Ria Latifa, di Aula Dinsosnaker Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri, Minggu.
Menurutnya, KUHP ini sudah sering kali diniatkan untuk direvisi, untuk itu di periode DPR RI 2014-2019 ini, Latifa berharap revisi KUHP tersebut dapat diselesaikan sebelum periode keanggotaan DPR RI berakhir.
Perlunya perubahan KUHP ini mengingat, KUHP yang kini digunakan merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, yang diyakininya memiliki banyak perubahan pasca Indonesia merdeka dan ketika di zaman Belanda.
"Jadi KUHP ini nanti, harus hasil karya anak bangsa," tegas Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.
Dalam kunjungan kerja ke daerah pemilihannya Provinsi Kepri tepatnya di Tanjungpinang (3/4), Latifa turut melakukan sosialisasi dengan memaparkan perihal persoalan yang masih terjadi pro dan kontra untuk di rampungkan dalam buku pertama KUHP. Di antaranya pemberlakuan hukuman mati.
Latifa mengaku bahwa hukuman mati masuk sebagai salah satu usulan yang perdebatannya masih cukup tinggi, karena berkaitan pada Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kalau saya, hukuman mati bisa dilakukan jika tindak pidana sudah sangat tak bisa ditoleransi, seperti kasus narkoba tak bisa dimaafkan. Karena menyangkut generasi muda Indonesia ke depannya," papar Latifa.
Seandainya usulan tersebut diterima, Latifa menegaskan, untuk menentukan hukuman mati pada seseorang tentu harus selektif, dan diuji berkali-kali. Artinya, jangan sampai menghukum mati orang yang dipidana mati, ternyata yang dieksekusi adalah orang yang salah.
"Selain itu, ada juga masukan bahwa hukum adat juga menjadi salah satu yang diberikan ruang dalam perumusan KUHP, karena tak bisa dipungkiri Indonesia penuh dengan adat istiadat," ucapnya.
Sehingga nanti, perkara atau persoalan yang bisa diselesaikan di tingkat adat, tidak semua harus dibawa ke pengadilan.
"Karena Indonesia juga ada pemangku adat yang sebelumnya mereka berposisi sebagai wali hakim, itu akan dihidupkan kembali. Tapi dengan batasan-batasan sehingga tak bertabrakan dengan hukum pidana lainnya," tutur Latifa.
Revisi KUHP ini juga diusulkan mengambil konsep undang-undang perlindungan anak. Sehingga kedepan, anak yang bermasalah dengan hukum, tidak diproses dipengadilan, melainkan dengan diversi.
"Artinya, seandainya anak-anak melakukan tindak pidana, dia tidak diproses hukum dengan duduk di pengadilan sebagai terdakwa. Tapi di luar pengadilan, dengan pembinaan, pendidikan dalam hal psikologi, mediasi dan lainnya," tuturnya pada Antara.
Tujuannya, agar jangan sampai membuat anak tercedera secara mental maupun psikologi. (Antara)
Editor: Rusdianto
"Meskipun masih pada tahap buku pertama dan masih diperdebatkan, tapi kami menginginkan 2017 sudah selesai," kata Anggota Komisi III DPR RI, Dwi Ria Latifa, di Aula Dinsosnaker Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri, Minggu.
Menurutnya, KUHP ini sudah sering kali diniatkan untuk direvisi, untuk itu di periode DPR RI 2014-2019 ini, Latifa berharap revisi KUHP tersebut dapat diselesaikan sebelum periode keanggotaan DPR RI berakhir.
Perlunya perubahan KUHP ini mengingat, KUHP yang kini digunakan merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, yang diyakininya memiliki banyak perubahan pasca Indonesia merdeka dan ketika di zaman Belanda.
"Jadi KUHP ini nanti, harus hasil karya anak bangsa," tegas Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.
Dalam kunjungan kerja ke daerah pemilihannya Provinsi Kepri tepatnya di Tanjungpinang (3/4), Latifa turut melakukan sosialisasi dengan memaparkan perihal persoalan yang masih terjadi pro dan kontra untuk di rampungkan dalam buku pertama KUHP. Di antaranya pemberlakuan hukuman mati.
Latifa mengaku bahwa hukuman mati masuk sebagai salah satu usulan yang perdebatannya masih cukup tinggi, karena berkaitan pada Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kalau saya, hukuman mati bisa dilakukan jika tindak pidana sudah sangat tak bisa ditoleransi, seperti kasus narkoba tak bisa dimaafkan. Karena menyangkut generasi muda Indonesia ke depannya," papar Latifa.
Seandainya usulan tersebut diterima, Latifa menegaskan, untuk menentukan hukuman mati pada seseorang tentu harus selektif, dan diuji berkali-kali. Artinya, jangan sampai menghukum mati orang yang dipidana mati, ternyata yang dieksekusi adalah orang yang salah.
"Selain itu, ada juga masukan bahwa hukum adat juga menjadi salah satu yang diberikan ruang dalam perumusan KUHP, karena tak bisa dipungkiri Indonesia penuh dengan adat istiadat," ucapnya.
Sehingga nanti, perkara atau persoalan yang bisa diselesaikan di tingkat adat, tidak semua harus dibawa ke pengadilan.
"Karena Indonesia juga ada pemangku adat yang sebelumnya mereka berposisi sebagai wali hakim, itu akan dihidupkan kembali. Tapi dengan batasan-batasan sehingga tak bertabrakan dengan hukum pidana lainnya," tutur Latifa.
Revisi KUHP ini juga diusulkan mengambil konsep undang-undang perlindungan anak. Sehingga kedepan, anak yang bermasalah dengan hukum, tidak diproses dipengadilan, melainkan dengan diversi.
"Artinya, seandainya anak-anak melakukan tindak pidana, dia tidak diproses hukum dengan duduk di pengadilan sebagai terdakwa. Tapi di luar pengadilan, dengan pembinaan, pendidikan dalam hal psikologi, mediasi dan lainnya," tuturnya pada Antara.
Tujuannya, agar jangan sampai membuat anak tercedera secara mental maupun psikologi. (Antara)
Editor: Rusdianto