Batam (ANTARA) - Dengan wajah tertunduk penuh penyesalan Andreas Marboen, pemuda 23 tahun asal Sumatera Utara itu lega setelah dirinya lepas dari jeratan pidana penjara, namun kekhawatiranya belum sepenuhnya sirna.
Akibat terdesak kebutuhan ekonomi, dan kurang berfikir panjang, perjalanan 1,5 tahun merantau dan bekerja membangun masa depan lebih cerah di Batam ternyata harus diwarnai dengan perkara hukum.
Dia sempat merasakan dinginnya sel tahanan selama sebulan ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus pencurian sepeda motor.
Menyesal, karena nekad untuk mencuri sepeda motor Yamaha Vixion yang tanpa sengaja dia temukan kuncinya jatuh di jalan sekitar pabrik tempat dia bekerja di kawasan Kabil, Kota Batam, Kepulauan Riau, pada Agustus 2024.
Kunci motor itu dipungutnya, lalu penasaran mencoba mencocokkannya dengan sepeda motor Yamaha Vixion warna biru yang terparkir, ternyata cocok.
Motor itu tidak lantas dia bawa kabur, selang tiga bulan berlalu, tepatnya November 2024, saat melihat sepeda motor itu terparkir, Andreas pun nekad membawanya pergi, hingga pemilik melaporkan kehilangan motor ke polisi dengan kerugian Rp13 juta.
Sebelum motor itu terjual, Andreas ditangkap polisi, aksinya terekam kamera pengawas di parkiran sehingga mudah ditemukan.
Karena kasus itu, Andreas harus mendekam di rumah tahanan selama proses penyidikan. Pekerjaannya sebagai karyawan salah satu pabrik di Kota Batam pun tercerabut karena perkara hukum yang dihadapinya.
Beruntung perkara itu berakhir damai, pemilik kendaraan Michael Siboro sepakat berdamai dan mau menyelesaikan perkara melalui keadilan restoratif.
Usut punya usut, korban bersedia memaafkan karena pertimbangan rasa kekeluargaan. Setelah ditelusuri, tersangka dan korban memiliki pertalian saudara jauh.
Penyesalan datang terlambat, hanya karena saat terdesak keuangan, karena uangnya dipinjamkan ke teman senilai Rp3 juta, tetapi belum dikembalikan.
Sementara Andreas yang menjadi tulang punggung keluarga, merawat ibunya yang sudah renta di kampung halaman, membutuhkan uang saat dirinya tidak beruang.
Kondisi tersebut membuatnya kalap mata dan nekad membawa kabur sepeda motor yang kuncinya dia temukan di parkiran.
Penghentian penuntutan
Andreas menjadi tersangka pertama yang perkaranya dihentikan lewat keadilan restoratif di awal tahun 2025.
Permohonan penghentian penuntutan melalui keadilan restorative justice dikabulkan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum Kejagung) dalam ekspos yang dilaksanakan pada 22 Januari 2025.
Perkara tersangka disetujui untuk dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif karena telah memenuhi syarat sesuai Peraturan Kejaksaan RIU Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif juncto Surat Edaran Japidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Alasan penghentian perkara, selain telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka, tersangka belum pernah dihukum, dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Selain itu, ancaman pidana penjaranya tidak lebih dari lima tahun. Tersangka juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya, dan korban telah memaafkan perbuatannya, keduanya sepakat berdamai tanpa syarat.
Ekspose permohonan penghentian perkara terhadap Andreas Marbun dipimpin oleh Kajati Kepri Teguh Subroto didampingi Aspidum Bayu Pramesti dan diikuti secara virtual oleh Kajari Batam I Ketut Kasna Dedi dan Kasipidum Iqram Syah Putra, Rabu (22/1).
“Ini perkara pertama yang dihentikan penuntutannya di tahun 2025,” kata Kasipenkum Kejati Kepri Yusnar Yusuf.
Para tahun 2024, Kejati Kepri telah menghentikan penuntutan melalui mekanisme restorative justice sebanyak 21 perkara.
Sementara itu, di tahun 2025, Kejati Kepri telah menghentikan penuntutan empat perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif.
Sekali seumur hidup
Perlu untuk digaris bawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatannya.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Batam I Ketut Kasna Dedi menyerahkan salinan putusan penghentian perkara Andreas Marboen di kantor Kejari Batam, Kamis (23/1).
Kasna mengingatkan bahwa penghentian perkara melalui mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif merupakan kesempatan yang berlaku sekali seumur hidup.
“Di Kejaksaan penyelesaian perkara melalui restorative justice hanya bisa digunakan sekali untuk satu orang, kalau nanti mengulangi lagi tidak boleh (di restorative justice), hanya sekali seumur hidupnya,” kata Kasna.
Awal 2025, Kejari Batam menghentikan penuntutan perkara pencurian kendaraan bermotor oleh tersangka Andreas Marboen (23). Sementara selama 2024 ada enam kasus pidana yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.
Setelah dinyatakan bebas, Andreas menyesali perbuatan dan menawarkan diri untuk menjalani sanksi sosial di gereja selama satu bulan, tanpa ada paksaan.
Menurut Kasna, tindak pidana yang banyak terjadi yakni pencurian, kebanyakan para tersangka melakukan karena beberapa faktor, yakni masalah perekonomian, minim lapangan pekerjaan, tidak memiliki keterampilan (skill). Oleh karenanya pemerintah perlu memikirkan dampak setelah pemberian restorative justice.
Kerja sosial seperti membersihkan rumah ibadah, atau bisa dimanfaatkan tenaganya untuk tugas-tugas kebersihan.

Harapan
Andreas lega terbebas dari hukuman, namun rasa khawatirnya belum sirna karena kasus tersebut membuatnya kehilangan pekerjaan.
Keadilan restoratif yang diperolehnya juga membantu meniadakan catatan kriminalnya, sehingga bisa mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk keperluan melamar kerja.
“Saya berterima kasih kepada Kejari Kota Batam, dengan ada RJ (restorative justice) diselesaikan perdamaian, cukuplah sekali ini tindakan pidana ini, dan saya tidak akan mengulanginya lagi,” kata Andreas.
Kondisi yang dialami Andraes juga mungkin dialami oleh penerima restorative justice lainnya. Meski terbebas dari pemidanaan, tapi bagaimana setelah bebas tersebut, agar tidak mengulangi perbuatannya, karena faktor ekonomi, tidak memiliki skill yang jadi penyebab utama terjadinya tindak pidana, tentu belum terselesaikan.
Melihat kondisi tersebut, Kajari Kota Batam I Ketut Kasna Dedi tengah menjajaki kerja sama dengan Pemerintah Kota Batam terkait pemberian sanksi sosial atau pelatihan kerja kepada penerima program restorative justice (RJ) agar ada kemanfaatan setelah bebas dari tuntutan pidana.
Langkah baik tersebut masih dalam tahap diskusi dengan Pemkot Batam. Jika disetujui oleh wali kota, akan dibuatkan kerja samanya.
Pemberian sanksi sosial ini bertujuan agar setelah diberikan restorative justice tidak dibiarkan bebas begitu saja, tetapi ada pembinaan, pendampingan, sehingga mencegah mengulangi lagi perbuatan pidananya, karena restorative justice hanya berlaku seumur hidup.
Menurut Kasna, langkah ini juga untuk menjawab sentimen negatif masyarakat terhadap program restorative justice yang dianggap minim manfaat.
Selain itu, langkah ini sejalan dengan arahan dari pimpinan Kejaksaan RI agar program restorative justice dirasakan manfaatnya bagi penerima maupun masyarakat.
Sehingga tidak hanya sanksi sosial saja, alternatif lain yang bisa dilaksanakan adalah pemberian pelatihan pekerjaan. Bentuk sanksi sosial yang diberikan kepada penerima restorative justice, bisa kegiatan membersihkan rumah ibadah, diikutkan dalam program pelatihan, dan menjadi pekerja kebersihan.
Karena 50 persen para pelaku kejahatan pencurian yang pernah diselesaikan perkaranya lewat restorative justice adalah pengganguran dan tidak memiliki keahlian.
Untuk itu, setelah dibebaskan pidananya, diharapkan penerima restorative justice tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan bisa kembali ke masyarakat dengan lebih baik lagi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Harapan dibalik keadilan restoratif
Komentar