Dilema sampah pulau kecil

id dilema sampah pulau kecil,tambelan,sampah

Dilema sampah pulau kecil

Tumpukan sampah di salah satu sudut Pulau Tambelan. (Antaranews Kepri/Saud)

Sampah di Tambelan ini sebenarnya sudah mengancam potensi pariwisata di Pulau Tambelan, karena kondisinya sudah memadati dasar perairan dangkal
APRIYADI tidak lagi terlihat sebagai seorang nelayan bubu pagi itu, dengan bawaan sauk, karung bekas dan jerigen yang berisi bahan bakar, ia berjalan meniti pelantar sembari tegur sapa yang biasa dilakukan warga Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau ketika bertemu.

Sampai ke tujuan yang kebetulan ujung pelantar searah dengan matahari terbit, ia tak langsung turun menyeberang ke boat yang diberikan oleh salah seorang wakil rakyat dapil pulau tersebut. Melainkan secara seksama melihat permukaan laut dengan sasaran sampah sebagai fokus kegiatan pagi itu.

Tak berselang lama, Apriyadi yang telah sepakat bertemu di boat ujung plantar dengan sejumlah relawan, mulai menurunkan atribut yang biasa mereka gunakan untuk menciduk sampah di laut. 

Sambil berbagi tugas, relawan mulai melepaskan ikatan tambatan boat, menghidupkan mesin, dan menunggu instruksi Apriyadi sebagai Ketua Komunitas Peduli Lingkungan (Kopling) di Kecamatan Tambelan untuk bergerak.

Rutinitas ini ternyata sudah berlangsung sejak  2016 lalu, kala itu armada yang digunakan adalah pompong dengan status pinjam dari nelayan. 

Namanya juga "pinjam", Apriyadi melengkapi kebutuhan kegiatannya dengan mengutip isi saku sendiri bersama para sahabat untuk operasional  kegiatan sosial tersebut.

Hanya saja, apa yang telah dilakukan Apriyadi bersama sahabatnya belum mampu menyadarkan masyarakat tentang petingnya menjaga kebersihan laut. Bahkan secara terang-terangan sebagian warga mencampakkan limbah rumah tangga ke hutan mangrove, dan pantai.

Dalam hal kebersihan, Pemerintah Kabupaten Bintan sebelumnya juga sempat membentuk Satuan Tugas Kebersihan dan Satuan Petugas Lingkungan Masyarakat di masing-masing kelurahan dan desa yang ada di Kecamatan Tambelan, (19/4-2018). Tetapi, satgas yang dikukuhkan langsung oleh Bupati Bintan Apri Sujadi hanya membersihkan sampah di darat.

Hal ini menjadi salah satu dasar relawan Kopling masih bertahan dan menjelma menjadi "tim kuning" yang memiliki tugas sama seperti satgas kebersihan  yang di kukuhkan Apri Sujadi tersebut. Hanya saja, pembedanya komunitas membersihkan sampah di laut tanpa upah.

Menurut Apriyadi, kondisi sampah yang dibuang masyarakat ke laut mulai menunjukan sifat alami proses alam. Yaitu, sampah mulai tenggelam dan semakin padat dalam jumlah besar.

"Sampah di Tambelan ini sebenarnya sudah mengancam potensi pariwisata di Pulau Tambelan, karena kondisinya sudah memadati dasar perairan dangkal," tegasnya.

Fenomena lain, yang turut menjadi perhatian adalah Tambelan ternyata tidak memiliki  Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pernyataan ini ditegaskan Camat Tambelan, Hidayat ZA (18/7), bahkan ia berwacana menghibahkan lahan pribadinya untuk dibuat sebagai TPA, persisnya terletak di daerah Seberang.

Meskipun kini, lahan itu disebut-sebut sebagai induk  pembuangan sampah. Namun lahan tersebut merupakan titik kedua, setelah Tanjung Ayam, Desa Kukup.

Merasa, Tanjung Ayam sudah lebih dulu dijadikan muara sampah sebelum Hidayat menjabat Camat Tambelan, ia pun melimpahkan jawaban terkait kepada Kepala Desa Kukup, Hadran.

Kepada Antaranews, Hadran mengaku bahwa ia pernah melakukan survei dengan camat sebelum Hidayat, untuk mencari lahan baru pengganti Tanjung Ayam sebagai induk pembuangan sampah.

"Waktu itu kami survei, dan dapat lah dua titik di daerah Teluk Kupang, tapi sampai saat ini hasil survei tersebut hanya wacana," ungkap Hadran.

Baik itu Tanjung Ayam maupun Seberang, titik keberadaan induk pembuangan sampah di Tambelan terletak di pesisir. Terlebih lagi lokasi di Tanjung Ayam.

Area induk pembuangan sampah di tanjung tersebut berada persis di bibir pantai. Sehingga, bila air pasang, gundukan-gundukan sampah terbawa gelombang dan disambut oleh terumbu karang pada hilir pantai. 

Menyikapi hal ini, anggota Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan, Rian Ade Kusmawan mengingatkan agar tempat pembuangan sampah tidak berada di daerah pesisir.

"Karena sangat berpengaruh terhadap lingungan perairan sekitar. Bila induk pembuangan sampah berada di pantai, otomatis akan mencemari laut nantinya, pantai juga akan menjadi kotor," tegas Rian.

Oleh sebab itu, Rian menyarankan supaya pemerintah setempat segera membuat TPA yang posisinya jauh dari pemukiman warga, tidak berada di atas lahan milik warga, dan  tidak berada di bibir pantai.

Selain itu, tim Nusantara Sehat yang dikirim Kemenkes RI awal 2018 ke Tambelan tersebut menyarankan pemerintah daerah segera membentuk petugas kebersihan khusus wilayah laut  Tambelan.

"Karena kesadaran masyarakat Tambelan terhadap kebersihan laut masih rendah," ujar Rian.

Ia mengungkapkan bahwa selama bertugas hampir setahun di Tambelan, aktivitas membersihkan sampah laut hanya dilakukan oleh komunitas pemuda setempat dengan sukarela, yaitu Kopling.

Melihat rendahnya tingkat kepedulian masyarakat Tambelan terhadap kebersihan laut,  Nusantara Sehat acap kali membantu aktifitas Kopling yang dengan sukarela  membersihkan pesisir dari limbah rumah tangga yang dibuang ke laut.

Perihal ini membuat Nusantara Sehat menyiapkan program kerja akhir 2018 untuk menyadarkan masyarakat agar peduli terhadap lingkungan, baik darat mau pun laut.

Terkait dengan TPA, Ketua LSM Air, Lingkungan, dan Manusia (Alim) Kepri, Kherjuli memiliki beberapa opsi tentang pemilihan TPA.

Menurut Presiden Air tersebut, TPA yang baik yaitu TPA dengan sistem Control Land Fill atau Sanitary Land Fill yang tentunya mengacu pada undang-undang persampahan.

"TPA dengan sistem Control Land Fill itu yaitu dengan memanfaatkan tanah urug untuk menutupi sampah dalam blok yang telah ditentukan," ujar Kherjuli pada Antaranews, Jumat.

Kata dia, TPA bukan hanya tempat pembuangan sampah. Tetapi juga ada pemanfaatan gas methan  dan memiliki unit-unit lainnya seperti pos, kantor, blok aktif, sumur Lindi, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan lain-lainnya.

Sedangkan dengan sistem Open Dumping dinilainya kurang baik. Karena, sampah ditumpuk dan terbuka pada satu zona tertentu dengan pengolahan yang minim.

Kherjuli menyadari bahwa masalah persampahan di pulau-pulau kecil sangat dilematis. Sebab itu, diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan pengelolaan sederhana yang secara konvensional bisa dilakukan petugas kebersihan untuk meminimalisir dampak dari pencemaran dan bahaya sampah melalu program 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle)

Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. Dan Recycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.

Ia berpendapat bahwa baik buruknya suatu  TPA, sangat ditentukan dengan penerapan sistemnya. Serta, sebelum dilaksanakan pembangunan TPA, terlebih dahulu harus dikaji dampak lingkungan melalui dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE