Batam (ANTARA) - Di sekitar perairan Pulau Pecong, Kota Batam, suasana siang terasa tenang dengan angin sepoi dan cuaca yang tidak terlalu terik.
Kecamatan Belakangpadang di Batam, menjelang siang, air laut mulai surut dan para nelayan keluar dari rumah, berkelana ke tengah perairan untuk memanen dingkis, ikan yang banyak dicari menjelang perayaan Imlek di Kepulauan Riau, bahkan di Singapura.
Imlek akan jatuh pada tanggal 29 Januari 2025 ini, dan para nelayan Batam bersemangat untuk menyambutnya dengan panen yang berlimpah.
Panen di Kelong
Nelayan setempat telah mempersiapkan panen sejak pagi hari, dengan alat tradisional, seperti bubu, jaring dan tongkat-tongkat kayu yang menopang perangkap di laut.
Di atas kelong tersebut, beberapa nelayan mendirikan tenda kecil untuk berteduh di bawah Matahari, sambil menunggu waktu menyelam.
Mereka memanfaatkan momen surutnya air laut untuk memeriksa bubu, yakni alat perangkap terbuat dari jaring yang dilapisi dengan cat agar besinya tidak cepat berkarat.
Salah satu nelayan Belakangpadang, Win mengungkapkan bahwa jika airnya masih keruh, maka ikan dingkis tidak akan masuk ke perangkap. Karena itu dia harus menunggu agar kondisi air lebih jernih.
Panen ikan dingkis tidak dilakukan setiap hari, melainkan nelayan membiarkan kelong terpasang selama beberapa pekan dan memastikan ikan masuk ke dalam perangkap.
Saat musim panen, nelayan akan menyelam untuk memeriksa jika ada ikan yang terperangkap. Jika ada, maka bubu akan ditarik ke atas dan ikan dingkis akan dikumpulkan.
Jelang Imlek
Menjelang perayaan Imlek, harga pasaran ikan jenis ini melonjak dari biasanya Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per kilogram dapat mencapai Rp220 ribu per kilogram. Bahkan, ikan yang berisi telur dan ukurannya lebih besar bisa dihargai hingga Rp300 ribu per kilogram.
Tingginya permintaan ini tidak lepas dari tradisi masyarakat Tionghoa yang kerap menyajikan ikan dingkis dalam perayaan, baik dengan cara dikukus (steam fish) maupun dipanggang.
Pada momen Imlek, permintaan ikan dingkis dari Batam dan Singapura sangat tinggi, maka para pengepul ikan pun sigap dalam menjemput hasil tangkapan para nelayan untuk dikumpulkan ke tempat penampungan ikan.
Ikan dingkis memiliki nilai ekonomi yang signifikan bagi nelayan lokal, dan dengan adanya musim Imlek, sekali dalam setahun, menjadi kesempatan bagi para nelayan untuk mendapatkan lebih banyak ikan itu.
Dalam satu hari, nelayan dapat menghasilkan belasan hingga puluhan kilogram dingkis, yang jika dihitung, nilainya mencapai jutaan rupiah, bahkan puluhan juta.
Nelayan lain di Belakangpadang, Latif menceritakan bahwa ia sukses menjual ikan dingkis sebanyak 5 kilogram dengan harga Rp1,7 juta. Ia biasa mendapatkan puluhan kilo dalam sehari, dengan harga di atas Rp200 ribu.
Nelayan yang memiliki empat kelong itu rutin mengecek perangkap tradisionalnya dengan menyelam dan membersihkan bubu dari daun-daun yang ikut terperangkap.
Dengan puncak musim ikan dingkis berakhir pada 27 dan 28 Januari 2025, kesuksesan nelayan dalam memanen ikan dingkis tidak terlepas dari dukungan Dinas Perikanan Pemerintah Kota Batam.
Menurut Kepala Dinas Perikanan Yudi Admajianto pihaknya telah memberikan berbagai bantuan berupa alat tangkap, mesin tempel, hingga bubu yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan.
Melalui bidang perikanan tangkap, para nelayan mendapatkan bantuan sarana dan prasarana, seperti bubu dan jaring, yang tidak hanya digunakan untuk menangkap ikan dingkis, tetapi juga untuk ikan jenis lainnya.
Dinas Perikanan Batam juga bekerja sama dengan balai karantina ikan untuk memastikan ikan yang diekspor, khususnya ke Singapura, memenuhi standar kualitas.
Pada tahun 2024 dan perayaan Imlek yang jatuh pada tanggal 10 Februari, jumlah ikan dingkis yang dipanen mencapai 23 ton di bulan Februari dan 1901,4 ton di bulan Maret, periode yang disebut sebagai “dingkis balik”.
Proses pendataan dilakukan oleh dinas perikanan melalui pengepul di Pulau Siali, yang menjadi pusat distribusi hasil tangkapan dari Pulau Pecong, Pulau Kasu, hingga Pulau Terung.
Dengan harga yang terus meningkat dan minat masyarakat yang semakin besar, ikan dingkis dari Belakangpadang menjadi favorit para pelanggan.
Perburuan ikan dingkis di Belakangpadang bukanlah hal baru. Tradisi ini telah berlangsung selama puluhan tahun, menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat.
Panen ikan dingkis, biasanya terjadi tiga kali dalam setahun, tergantung pada kondisi laut dan musim angin. Pada musim angin barat, ikan dingkis bertelur, meskipun harga jualnya tidak setinggi menjelang Imlek.
Menurut catatan dinas perikanan, keberhasilan panen ikan dingkis selalu menjadi rezeki tambahan yang sangat berarti bagi nelayan, dengan hasil penjualan yang dapat mencapai puluhan juta per hari.
Karena itu para nelayan selalu menanti momen tersebut, dan antusiasme mereka pun dapat dirasakan pada setiap kelong.
Meskipun ikan dingkis memberikan keuntungan besar, proses penangkapannya penuh tantangan. Kondisi perairan yang tidak dapat diprediksi, cuaca yang tidak menentu dan arus laut yang tidak dapat dikendalikan, menjadi bagian dari keseharian nelayan.
Namun, dengan dukungan Pemerintah Kota Batam dan kerja sama antarnelayan dan pengepul ikan, harapan untuk mempertahankan tradisi panen ikan dingkis tetap tinggi.
Seiring dengan meningkatnya permintaan dari pasar lokal maupun internasional, potensi ekonomi dari ikan dingkis di Belakangpadang diharapkan terus berkembang.
Dengan menjaga tradisi ini dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan dan tradisional, panen ikan dingkis akan terus menjadi lahan rezeki bagi masyarakat pesisir di Batam.
Pelestarian Ikan dingkis terus dijaga, dengan siklus panen yang tetap hanya 3-4 kali per tahun, menunggu ikan dingkis untuk masuk ke dalam perairan Belakangpadang dan menggunakan alat tangkap tradisional.
Nelayan Belakangpadang tidak mencari atau menangkap ikan tersebut secara aktif, secara alami mereka akan menunggu ikan dingkis yang berdatangan, sesuai dengan arus laut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Panen ikan dingkis saat Imlek di Batam