Tanjungpinang (ANTARA) - Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Zoztafia menyatakan bahwa ibadah puasa Ramadhan menjadi perisai terkuat dalam perang melawan hawa nafsu.

Ia menyebut puasa merupakan sebuah ibadah yang terlihat sederhana karena menahan makan, minum, dan syahwat selama beberapa jam-jam, namun ternyata menyimpan kekuatan luar biasa dalam membentuk pertahanan spiritual.

“Manusia adalah makhluk yang paradoks, satu sisi ia memiliki ruh yang mendambakan kesucian dan ketinggian spiritual. Di sisi lain, ia juga memiliki jasad dengan segala keinginan duniawinya. Pertarungan abadi antara dua dimensi inilah yang menjadikan perang melawan hawa nafsu begitu kompleks dan melelahkan,” kata Zoztafia di Tanjungpinang, Sabtu.

Ketika seseorang berpuasa, kata Zoztafia, ia secara sadar menundukkan keinginan primernya yakni makan dan minum, demi ketaatan pada perintah Allah. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap ego yang paling dasar dan tanpa disadari latihan sederhana ini melatih seseorang untuk tidak menjadi budak nafsunya sendiri.

Dalam konteks modern, sambungnya, konsumerisme dan hedonisme menjadi gaya hidup dominan, sehingga puasa menjadi semakin relevan.

Menurut dia masyarakat telah terbiasa dengan kepuasan instan dan pemenuhan keinginan tanpa penundaan. Segala sesuatu dirancang untuk memanjakan nafsu, dari makanan cepat saji hingga hiburan yang tersedia 24 jam.

"Dalam lingkungan seperti ini, puasa hadir sebagai bentuk perlawanan budaya, sebuah pernyataan bahwa manusia bisa dan harus mengendalikan nafsunya, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Zoztafia menambahkan perjalanan spiritualitas puasa mencerminkan bagaimana ibadah ini memadukan aspek fisik dan metafisik. Di satu sisi, puasa adalah tindakan fisik menahan diri dari makan dan minum, dan di sisi lain puasa memiliki tujuan metafisik yakni mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai takwa. Perpaduan inilah yang menjadikan puasa sebagai ibadah yang melibatkan seluruh dimensi kemanusiaan.

Pada akhirnya, puasa adalah latihan dalam kerendahan hati (tawadhu). Ketika lapar dan haus, manusia diingatkan akan keterbatasan dan kerapuhannya.

"Bahkan kebutuhan paling dasar seperti makan dan minum tidak bisa dipenuhi sendiri tanpa berkah dari Allah SWT. Kesadaran ini meluruhkan kesombongan dan keangkuhan, sifat-sifat yang menurut Al-Ghazali adalah pengaruh paling berbahaya dari hawa nafsu,” ucapnya.

Zoztafia turut menambahkan dalam perang melawan hawa nafsu, puasa adalah strategi yang telah teruji waktu. Selama berabad-abad, jutaan Muslim telah menjalani ritual ini dan merasakan dampaknya.

Pada era modern ini, lanjut dia, puasa menjadi semakin relevan sebagai bentuk perlawanan spiritual dan budaya terhadap dominasi nafsu dalam kehidupan seorang Muslim.

“Semoga puasa yang kita laksanakan tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tapi juga berdampak pada kemampuan menahan diri dari godaan lain seperti marah, bergosip, dan berbohong agar puasa yang kita laksanakan tidak kehilangan substansinya sebagai perisai dan pelindung,” katanya pula.

Baca juga: Kemenag Batam pastikan calon haji lunasi Bipih sebelum batas akhir


Pewarta : Ogen
Editor : Angiela Chantiequ
Copyright © ANTARA 2025