Washington (ANTARA) - Dana Anak-anak PBB (UNICEF) pada Jumat (1/8) mendesak masyarakat internasional untuk bertindak cepat guna mencegah kematian massal anak-anak di Jalur Gaza, di mana kondisi terus memburuk di tengah perang Israel yang sedang berlangsung.
"Hari ini, saya ingin tetap fokus pada Gaza, karena di Gaza merupakan lokasi di mana terjadinya penderitaan paling parah dan anak-anak meninggal pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Ted Chaiban, wakil direktur eksekutif UNICEF, dalam sebuah pengarahan mengenai perjalanannya baru-baru ini ke Timur Tengah.
"Kita saat ini berada di persimpangan jalan, dan pilihan yang dibuat sekarang akan menentukan apakah puluhan ribu anak akan hidup atau mati," lanjut Chaiban.
Setelah mengunjungi Israel dan wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Gaza dan Tepi Barat, Chaiban mengatakan itu adalah kunjungan keempatnya ke Gaza sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023.
"Anda melihat gambar-gambar di berita, dan Anda tahu apa yang telah terjadi, tetapi tetap saja mengejutkan ketika Anda berada di sana; tanda-tanda penderitaan dan kelaparan yang parah terlihat di wajah keluarga dan anak-anak," paparnya.
Lebih dari 18.000 anak telah terbunuh di Gaza sejak awal perang, katanya menggarisbawahi.
"Gaza saat ini menghadapi risiko kelaparan yang serius... Satu dari tiga orang di Gaza mengalami hari-hari tanpa makanan, dan indikator malnutrisi telah melampaui ambang batas kelaparan, dengan malnutrisi akut global kini mencapai lebih dari 16,5 persen," katanya.
"Saat ini, lebih dari 320 ribu anak kecil berisiko mengalami malnutrisi akut," kata dia lebih lanjut.
Situasi yang terjadi di lapangan "tidak manusiawi," katanya, seraya menambahkan bahwa yang dibutuhkan anak-anak dari semua komunitas adalah gencatan senjata yang berkelanjutan dan jalan keluar politik.
Ketika ditanya apakah dia melihat adanya perbedaan setelah semakin banyak negara mengirimkan bantuan melalui udara ke Gaza, Chaiban berkata: "Lihat, pada tahap ini, setiap modalitas perlu digunakan, setiap gerbang, setiap rute, setiap modalitas," katanya.
"Tetapi, bantuan melalui udara tidak dapat menggantikan volume dan skala yang dapat dicapai oleh konvoi melalui jalan darat," tambahnya.
Chaiban menekankan bahwa perlu ada upaya untuk mengembalikan volume menjadi sekitar 500 truk per hari melalui semua rute, termasuk bantuan kemanusiaan dan komersial.
Sumber: Anadolu
Krisis di Gaza...
Sebelumnya, Kantor Media Pemerintah di Gaza, pada Ahad (27/7), melaporkan hanya 73 truk bantuan kemanusiaan yang berhasil memasuki Jalur Gaza, Palestina, dalam 24 jam terakhir di tengah kelaparan yang semakin meluas akibat blokade Israel yang berlangsung selama berbulan-bulan.
Dalam pernyataannya, kantor tersebut menyatakan krisis kemanusiaan telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan sedikitnya 133 orang – termasuk 87 anak-anak – meninggal dunia karena kelaparan sejak dimulainya perang genosida Israel terhadap rakyat Palestina di wilayah kantong yang hancur lebur akibat kebiadaban militer Zionis itu.
Kantor tersebut menuduh Israel sengaja menciptakan kekacauan dan kelaparan di wilayah Gaza.
"Kelaparan menyebar dengan sangat cepat dan kini berdampak pada seluruh populasi Gaza, termasuk 1,1 juta anak-anak," tulis pernyataan tersebut.
Meskipun sejumlah negara dan organisasi internasional telah mengumumkan rencana pengiriman ratusan truk bantuan ke Gaza, hanya 73 truk yang benar-benar tiba. Sebagian di antaranya, menurut pernyataan itu, mengalami penjarahan atau terhalang di bawah pengawasan ketat Israel.
Kantor media itu juga melaporkan terdapat tiga pengiriman bantuan melalui udara, namun total muatan ketiganya hanya setara dengan dua truk bantuan.
Bantuan udara tersebut justru mendarat di "zona merah", yaitu area pertempuran aktif yang telah ditandai di peta militer Israel, di mana warga sipil tidak bisa mengambil bantuan secara aman.
"Yang terjadi saat ini adalah sebuah lelucon," lanjut pernyataan itu, seraya menuding komunitas internasional turut berperan melalui "janji-janji palsu" dan "informasi menyesatkan" yang berasal dari negara-negara besar seperti AS.
Pihak Gaza kembali menyerukan agar semua penyeberangan perbatasan dibuka tanpa syarat, serta menuntut masuknya makanan, air bersih, dan susu formula bayi.
Otoritas Palestina menyatakan Gaza membutuhkan sedikitnya 600 truk bantuan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan 2,4 juta penduduk.
Di hari yang sama, Israel mengumumkan rencana jeda pertempuran secara lokal dan sementara untuk memungkinkan pengiriman bantuan melalui koridor aman yang telah ditentukan, setelah puluhan warga Palestina tewas akibat kelaparan di wilayah yang diblokade itu.
Sementara itu, Yordania menyampaikan pihaknya telah melakukan tiga kali pengiriman bantuan udara ke Gaza bekerja sama dengan Uni Emirat Arab.
Krisis kelaparan di Gaza kini berkembang menjadi bencana kemanusiaan.
Rekaman yang beredar menunjukkan warga dalam kondisi sangat kurus, beberapa di antaranya hanya tinggal kulit dan tulang, jatuh pingsan akibat kelelahan, dehidrasi, dan kelaparan berkepanjangan.
Israel telah memberlakukan blokade atas Gaza selama 18 tahun, dan sejak 2 Maret 2024, seluruh jalur penyeberangan ditutup sepenuhnya. Tindakan rezim Zionis yang didukung AS ini telah memperburuk kondisi kemanusiaan di wilayah tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: UNICEF: Anak Gaza hadapi kematian massal, dunia harus bertindak