Tanjungpinang (ANTARA) - Wisatawan mancanegara yang mengunjungi Provinsi Kepulauan Riau cenderung mengalami peningkatan, namun kurang berdampak pada perekonomian masyarakat, kata pengamat pariwisata, Sapri Sembiring.
"Kunjungan wisman ke Kepri jika dilihat data, meningkat, namun dari sisi ekonomi dan dampaknya lemah bagi pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya di Tanjungpinang, Senin.
Sapri yang juga Ketua Kelompok Kerja Pariwisata dan Kebudayaan Forum Pengembangan Ekonomi Lokal Kepri menduga persoalan itu disebabkan sistem pengelolaan pariwisata masih "dimonopoli" oleh penyelenggara pariwisata tertentu.
Sebagai contoh, wisatawan asal Tiongkok banyak mengunjungi Batam, Bintan dan Tanjungpinang, namun tempat berbelanja mereka sudah diatur di tempat tertentu. Padahal banyak sekali pedagang yang menjual produk yang kemungkinan disukai oleh wisman.
Pola perjalanan wisman sudah diatur oleh biro perjalanan tertentu sehingga tidak menyentuh pada ekonomi kerakyatan.
"Yang untung besar itu agen travel Tiongkok. Padahal yang diharapkan itu dari wisman yang mendapat fasilitas dan kemudahan dari pemerintah yakni bangkitnya ekonomi kerakyatan," ujarnya.
Menurut dia, permasalahan ini sudah lama terjadi. Pelaku usaha lokal tentu tidak boleh berdiam diri menghadapi pengelolaan sektor pariwisata yang eksklusif.
"Itu sebabnya kami sedang memperkuat pariwisata berbasis masyarakat seperti membangun 'home stay' dan desa wisata di Bintan," katanya.
Cara itu pula mampu mendorong mengembangkan pariwisata di daerah yang melibatkan masyarakat di era persaingan yang ketat. Wisatawan yang berkunjung ke desa wisata, dan menginap rumah tempat tinggal di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, contohnya, cukup banyak.
"Kami melirik pasar lain, seperti wisatawan bersuku Melayu dari Singapura dan Malaysia," katanya.
Sapri mengemukakan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat cenderung memberi dampak positif kepada masyarakat, terutama dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Sistem itu mendorong masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek pariwisata.
Pembangunan destinasi wisata berbasis masyarakat perlu dilanjutkan secara serius dan terintegrasi dengan menjadikan masyarakat sebagai subjek nya. Potensi daerah yang dimiliki pada beberapa kawasan wisata besar dan terkenal harus dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Agro, mina, budaya wisata adalah produk yang kuat untuk di kemas dan memiliki nilai jual yang tinggi. Untuk agro misalnya kelapa, rambutan, nanas, durian merupakan buah yang banyak peminatnya.
"Untuk mina pantai, pulau-pulau kecil, dapat dijadikan sebagai kawasan 'snorkling dan diving'. Sementara budaya ada kuliner, seni pertunjukan dan permainan rakyat yang bisa di kemas menjadi produk wisata," katanya.
"Kunjungan wisman ke Kepri jika dilihat data, meningkat, namun dari sisi ekonomi dan dampaknya lemah bagi pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya di Tanjungpinang, Senin.
Sapri yang juga Ketua Kelompok Kerja Pariwisata dan Kebudayaan Forum Pengembangan Ekonomi Lokal Kepri menduga persoalan itu disebabkan sistem pengelolaan pariwisata masih "dimonopoli" oleh penyelenggara pariwisata tertentu.
Sebagai contoh, wisatawan asal Tiongkok banyak mengunjungi Batam, Bintan dan Tanjungpinang, namun tempat berbelanja mereka sudah diatur di tempat tertentu. Padahal banyak sekali pedagang yang menjual produk yang kemungkinan disukai oleh wisman.
Pola perjalanan wisman sudah diatur oleh biro perjalanan tertentu sehingga tidak menyentuh pada ekonomi kerakyatan.
"Yang untung besar itu agen travel Tiongkok. Padahal yang diharapkan itu dari wisman yang mendapat fasilitas dan kemudahan dari pemerintah yakni bangkitnya ekonomi kerakyatan," ujarnya.
Menurut dia, permasalahan ini sudah lama terjadi. Pelaku usaha lokal tentu tidak boleh berdiam diri menghadapi pengelolaan sektor pariwisata yang eksklusif.
"Itu sebabnya kami sedang memperkuat pariwisata berbasis masyarakat seperti membangun 'home stay' dan desa wisata di Bintan," katanya.
Cara itu pula mampu mendorong mengembangkan pariwisata di daerah yang melibatkan masyarakat di era persaingan yang ketat. Wisatawan yang berkunjung ke desa wisata, dan menginap rumah tempat tinggal di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, contohnya, cukup banyak.
"Kami melirik pasar lain, seperti wisatawan bersuku Melayu dari Singapura dan Malaysia," katanya.
Sapri mengemukakan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat cenderung memberi dampak positif kepada masyarakat, terutama dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Sistem itu mendorong masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek pariwisata.
Pembangunan destinasi wisata berbasis masyarakat perlu dilanjutkan secara serius dan terintegrasi dengan menjadikan masyarakat sebagai subjek nya. Potensi daerah yang dimiliki pada beberapa kawasan wisata besar dan terkenal harus dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Agro, mina, budaya wisata adalah produk yang kuat untuk di kemas dan memiliki nilai jual yang tinggi. Untuk agro misalnya kelapa, rambutan, nanas, durian merupakan buah yang banyak peminatnya.
"Untuk mina pantai, pulau-pulau kecil, dapat dijadikan sebagai kawasan 'snorkling dan diving'. Sementara budaya ada kuliner, seni pertunjukan dan permainan rakyat yang bisa di kemas menjadi produk wisata," katanya.