Saat matahari mulai mengecup cakrawala, puluhan nelayan Pulau Peicung, Pulau Kasu, Pulau Buluh, Pulau Terung dan pulau-pulau kecil lain di Kota Batam menepi di tanjung-tanjung.
Menggunakan jala dan ember, para lelaki berkulit gelap mulai menimbang, menghitung dan mengira berapa rupiah yang akan dibawa pulang pagi itu.
Penampungan ikan hari itu ramai. Para nelayan bersenda gurau, berceloteh mengenai angin, ombak dan anak-anak. Obrolan yang sangat sederhana. Sesederhana kapal kayu yang mereka gunakan.
"Angin lagi bagus, mudah-mudahan hasilnya juga baik," kata nelayan Pulau Peicung Samidi.
Usai mengangkat ember berisi ikan-ikan segar, Samidi duduk di tepi rumah penampungan, menunggu giliran penghitungan ikan.
Sementara jauh di seberang Pulau Peicung, di pulau lainnya, Maimun dengan cekatan memberikan instruksi kepada anak buahnya mengangkat ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Maimun adalah pengumpul ikan di Pulau Sambu.
Di tengah belasan nelayan berkulit cokelat dengan otot mengeras, Maimun tampak mencolok mengenakan baju panjang khas Melayu, lengkap dengan kerudung menutupi rambutnya. Meski satu-satunya perempuan di tanjung itu, Maimun adalah pemegang kendali di penampungan.
Maimun dengan tegas memberikan arahan kepada anak buahnya untuk memilah-milah ikan, mana yang kualitas ekspor dan mana untuk dikirim ke pulau utama; Batam.
"Untuk Singapura, ikannya berbeda, tidak sembarang ikan," kata dia. Sedangkan untuk Batam, bisa berbagai jenis ikan.
Perairan Kota Batam memang kaya akan ikan. Menurut Maimun, banyak nelayan menangkap ikan cucut dan berbagai jenis udang.
Kualitas Satu
Usai dipilah, ikan-ikan kualitas nomor satu dikemas dalam kotak seukuran kardus mi instan yang terbuat dari gabus. Menggunakan kapal kayu, belasan kotak itu dibawa ke Singapura.
Maimun bercerita, ikan-ikan itu langsung dibawa ke sebuah pasar di Kawasan Geilang, Singapura. Rata-rata, satu kilogram ikan dijual dua Dolar Singapura atau sekitar Rp15.000.
Maimun mengatakan harga jual ikan ke Singapura lebih mahal Rp3.500 atau setengah sen dolar Singapura dibanding ke pasar-pasar Batam. Itu sebabnya, pengumpul lebih banyak memilih menjual ikan ke Negeri Singa.
Setiap hari, Maimun mampu memasok ikan segar ke Singapura hingga 100 kg.
Di Geilang, ikan-ikan diserbu pembeli yang umumnya warga negeri jiran. "Kami tidak punya pembeli tetap dari restoran, hanya ditaruh di pasar. Yang beli pun orang biasa," kata dia.
Kualitas Sepatu
Tidak berapa jauh dari Pasar Geilang, Singapura, ikan-ikan gabus menumpuk di pasar-pasar Batam. Sekilas, ikan-ikan di Batam nampak kurang segar dibanding ikan di penampungan Maimun.
"Ini ikan impor," kata pedagang Pasar Mitra Raya.
Pedagang itu mengatakan ikan lokal sulit ditemukan. Lebih banyak ikan impor yang beredar ketimbang ikan lokal.
Layaknya sepatu yang dipakai di bawah, maka kualitas ikan impor juga rendahan.
Ironis, kota kepulauan kekurangan ikan untuk kebutuhan masyarakat sendiri. Pasokan justru diimpor dari negara lain.
Kepala Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Batam, Ashari Syarif mengatakan sebanyak 145 ton ikan diimpor sejak awal 2012 hingga pertengahan Februari.
Ikan-ikan yang beredar di Batam kebanyakan diimpor dari Taiwan, Pakistan, Jepang, dan China.
Pada 14 Februari 2012, Karantina Batam menemukan 25 ton ikan mengandung formalin.
Pihak karantina melakukan dua kali uji laboraturium untuk memastikan kandungan pada ikan. Dari dua tes itu dipastikan puluhan ton ikan impor mengandung bahan pengawet mayat.
Ironis
Kota Batam, lebih dari 50 persen wilayahnya merupakan perairan tropis yang kaya akan berbagai jenis ikan. Tetapi mengapa harus impor ikan, apalagi yang diimpor berkualitas sepatu mengandung formalin.
Kota Batam, sekitar 90 persen warga pesisirnya adalah nelayan. Tapi mengapa nelayan lebih memilih menjual ikannya ke negara lain?
Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Budi Daya Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Batam Alexander mengatakan sekitar 15 ton ikan itu dikumpulkan nelayan dan diekspor melalui Batam.
Ia mengatakan terdapat sekitar 30 pengumpul ikan yang tersebar di pulau-pulau penyangga Batam. Setiap hari, pengumpul melakukan ekspor ikan ke negara tetangga.
Kepala Dinas Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Batam Suhartini mengatakan pemerintah tidak bisa melarang ekspor ikan oleh nelayan, meskipun kebutuhan lokal belum terpenuhi.
"Kami tidak boleh melarang, harga jual ekspor lebih tinggi," kata dia.
Jika pemerintah melarang, kata dia, maka akan tidak adil bagi nelayan yang ingin mendapatkan penghasilan lebih besar.
Keadilan bagi nelayan agaknya berbanding terbalik dengan keadilan untuk warga Batam. Ketika nelayan sejahtera dengan harga jual ikan lebih tinggi, warga kota harus puas dengan ikan kualitas sedang atau bahkan kualitas "sepatu".
Sebuah ironi di kota kepulauan yang berdiri di provinsi kepulauan dan tergabung dalam negara kepulauan, Republik Indonesia.
(Y011/Z003)
Berita Terkait
Pemkot Batam buka pendaftaran Fuel Card 5.0 BBM Pertalite tahap II
Senin, 2 Desember 2024 19:06 Wib
PLN Batam kembali berkontribusi perkuat sistem kelistrikan di Sulawesi
Senin, 2 Desember 2024 18:50 Wib
KPBPB Batam proyeksikan realisasi investasi di tahun 2024
Senin, 2 Desember 2024 17:22 Wib
Dispora Kota Batam sukses gelar dua program baru di tahun 2024
Senin, 2 Desember 2024 17:03 Wib
Bapenda Kota Batam hadirkan program relaksasi pajak untuk tarik piutang
Senin, 2 Desember 2024 16:20 Wib
BP3MI fasilitasi penjemputan PMI yang alami koma di Singapura
Senin, 2 Desember 2024 15:39 Wib
Bandara Hang Nadim Batam ajukan penerbangan ekstra antisipasi natal-tahun baru
Senin, 2 Desember 2024 15:02 Wib
BP Batam pastikan pelayanan air areal Putra Jaya tetap maksimal
Senin, 2 Desember 2024 13:16 Wib
Komentar