Budaya Peduli Risiko pada KPPN

id manajemen risiko,KPPN Batam,budaya peduli risiko

Budaya Peduli Risiko pada KPPN

Keterangan: Mengkomunikasikan Budaya Risiko kepada jajaran internal KPPN

Deni Rusdijaman*)

KANTOR Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah, yang dipimpin oleh seorang Kepala Kantor. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 262/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara mempunyai tugas melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan Bendahara Umum Negara (BUN), penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara berdasarkan perundang-undangan.

Dalam menjalankan tugas dan fungsi, KPPN memiliki Indikator Kinerja Utama (IKU) yang dijabarkan di dalam sasaran strategis yang harus dicapai, dalam merealisasikan  sasaran strategis tersebut dimungkinkan tidak dapat dicapai, hal tersebut disebabkan adanya potensi risiko yang terjadi, sehingga perlu penerapan manajemen risiko untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dan berdampak negatif pada sasaran strategis yang hendak dicapai.

KPPN selaku pemilik peta strategi unit eselon 3 pada DJPb yang bertanggung jawab melaksanakan penerapan Manajemen Risiko, praktek penerapan manajemen risiko harus sudah menjadi bagian dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Bahwa dalam mencapai sasaran strategis, pasti ada risiko yang harus dihadapi. Oleh karena itu, harus diidentifikasi, dilakukan analisis dan mitigasi terhadap kemungkinan risiko yang ada.

Terkait dengan pengelolaan risiko, Direktur Jenderal (Dirjen) Perbendaharaan telah menetapkan Pedoman Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan DJPb dengan Keputusan nomor KEP-796/PB/2016 sebagai penjabaran dari PMK nomor 171/PMK.01/2016 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Keuangan dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 845/KMK.01/2016 tentang petunjuk Pelaksanaan Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Di dalam Keputusan Dirjen Perbendaharaan tersebut, yang dimaksud dengan risiko adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang berdampak negatif terhadap pencapaian sasaran organisasi, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan.

Dalam  KEP-796/PB/2016 dinyatakan Manajemen Risiko adalah budaya, proses, dan struktur yang diarahkan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian sasaran organisasi dengan mengelola risiko pada tingkat yang dapat diterima. Sedangkan menurut KBBI Manajemen risiko adalah upaya untuk mengurangi dampak dan unsur ketidakpastian.

Manajemen Risiko merupakan perangkat manajemen yang ditujukan untuk mengelola risiko dalam mencapai sasaran strategis institusi.

Daya tahan institusi terhadap kemungkinan timbulnya risiko tergantung pada bagaimana mempersiapkan diri secara sistematis terhadap risiko yang harus dihadapi. Kekuatan yang paling mendasar adalah terciptanya “budaya risiko” (risk culture) dimana sudah secara otomatis dan menyeluruh menerapkan pengambilan keputusan yang mempertimbangkan risikoserta menyatukan keseimbangan antara risiko dan pengendaliannya dalam setiap proses bisnis.

Budaya adalah perilaku yang merupakan bagian dari sistem institusi yang perlu dibangun, dikembangkan dan dipertahankan agar menjadikan institusi tumbuh berkembang.  Budaya yang mengakar merupakan salah satu bagian dalam mengembangkan institusi sesuai visi misi.  Salah satu faktor yang bisa dijadikan budaya institusi yakni kepedulian atau caring.

Membangun budaya peduli risiko tidak lepas dari peran orang-orang yang ada dalam institusi tersebut, yang meliputi pimpinan puncak dan para pemimpin di seluruh tingkatan beserta jajarannya.

Tujuan penerapan budaya peduli risiko adalah pengembangan budaya pengambilan keputusan strategis dan operasional melalui pertimbangan yang matang dan penuh kehati-hatian dengan cara menerapkan proses manajemen risiko sesuai prosedur.

Untuk menghadapi risiko atas pengambilan keputusan strategis dan operasional, salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan membangun kepekaan atau kepedulian sumber daya manusia (SDM) yang ada pada institusi terhadap budaya risiko. Budaya risiko merupakan perilaku semua personil yang berinteraksi dan memiliki persepsi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan risiko. Pemahaman terhadap risiko tersebut akan terlihat dalam keputusan-keputusan yang diambil dan cara melakukan pekerjaan.

Budaya risiko menjadi semakin penting dalam penerapan sistem manajemen risiko yang mencakup pelaksanaan operasional sehari-hari. Faktor budaya kerja keseharian berkaitan dalam menentukan keberhasilan suatu penerapan sistem manajemen risiko. Proses budaya risiko biasanya dipelopori dan dimotivasi oleh pimpinan puncak dan para pemimpin di seluruh tingkatan dengan adanya komitmen untuk melaksanakan manajemen risiko secara konsekuen. Pimpinan puncak dan para pemimpin di seluruh tingkatan yang harus memberi contoh pelaksanaan budaya risiko, sehingga para pegawai bawahan akan mengikuti.

Pimpinan puncak diibaratkan seorang kapten kapal yang sedang berlayar mengarungi lautan. Di satu sisi kapten kapal harus menjaga agar semua anak buah kapal (abk) menjalankan tugas masing-masing secara benar, dan bertanggung jawab, serta selalu menyadari akan kemungkinan bahaya yang terjadi bila tugasnya tidak dilaksanakan dengan baik. Timbulnya permasalahan diakibatkan oleh kesalahan operasional yang banyak dipengaruhi oleh faktor budaya risiko.

Untuk membangun budaya risiko diperlukan adanya suatu keterpaduan langkah secara bersama antara pimpinan puncak dan para pemimpin di seluruh tingkatan beserta jajarannya dalam mematuhi berbagai aturan yang ada dan semua pihak termasuk pemangku kepentingan saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen Perbendaharaan nomor KEP-796/PB/2016, budaya sadar risiko harus dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Kementerian Keuangan dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai sasaran di seluruh jajaran  DJPb.

Budaya sadar risiko diwujudkan melalui pemahaman dan pengelolaan Risiko sebagai bagian dari setiap proses pengambilan keputusan di seluruh tingkatan organisasi.

Bentuk budaya sadar Risiko yang diterapkan di KPPN meliputi:

1.    Komitmen pimpinan untuk mempertimbangkan Risiko dalam setiap pengambilan keputrusan;

Peran pemimpin puncak dan jajarannya merupakan kunci utama di dala menjalankan perubahan. Jenis kepemimpinan dan perilaku pimpinan akan menjadi penentu bagi terciptanya budaya peduli risiko yang diinginkan.

Komitmen pimpinan yang menjadi prioritas terhadap program Manajemen Risiko dapat diwujudkan dan ditunjukkan oleh pimpinan puncak beserta para pemimpin di seluruh tingkatan baik dukungan dalam bentuk implisit maupun eksplisit.

2.    Komunikasi yang berkelanjutan kepada seluruh jajaran organisasi mengenai pentingnya Manajemen Risiko;

Komunikasi yang berkelanjutan diharapkan mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang lain dengan tujuan untuk memudahkan orang lain dalam memahami pesan oleh seorang pemberi pesan (komunikator) dan menimbulkan feedback dari si penerima pesan (komunikan) secara efektif. Mengkomunikasikan Manajemen Risiko perlu dilakukan secara komprehensif dan masif kepada seluruh pegawai.

3.    Penghargaan terhadap mereka yang dapat mengelola Risiko dengan baik;

Penghargaan bertujuan supaya unit organisasi dapat mengembangkan kinerja pengelolaan risiko dengan membantu mereka menyadari dan menggunakan potensi mereka sepenuhnya dalam mengemban misi organisasi dan menyediakan informasi bagi pegawai dan pimpinan untuk membuat keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan atau pelaksanaan tugas. Penghargaan yang dapat diberikan dalam hal ini dapat dalam bentuk non keuangan/materi sesuai kebijakan atasan langsung pegawai yang bersangkutan.

4.    Pengintegrasian Manajemen Risiko dalam proses bisnis organisasi.

Pengintegrasian Manajemen Risiko ke dalam proses bisnis organisasi yang dilakukan secara bertahap dapat diawali dengan penyelarasan Manajemen Risiko dengan sistem manajemen kinerja organisasi dan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi.

*) Penulis merupakan Kepala Seksi Manajemen Satker dan Kepatuhan Internal, KPPN Batam



Keterangan : Isi dan maksud tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE