Bintan (ANTARA) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, sering menemukan kapal pukat harimau (trawl) beraktivitas di antara Pulau Numbing dengan Perairan Pulau Gentar, Kabupaten Lingga sehingga meresahkan nelayan tradisional di daerah ini.
Ketua KNTI Bintan Syukur Hariyanto alias Buyung Adly, di Bintan, Rabu, mengatakan aktivitas kapal pukat harimau itu meresahkan nelayan tradisional, apalagi jumlahnya tidak sedikit. Pukat harimau tidak hanya merusak terumbu karang melainkan juga mengancam kepunahan ekosistem ikan.
Akibatnya, kata dia, produktivitas nelayan tradisional di Perairan Pulau Numbing, Bintan, dan Pulau Gentar menurun.
"Ada sebanyak 20 kapal pukat harimau. Kami sudah mengidentifikasi berdasarkan laporan nelayan," katanya.
Rata-rata kapal tersebut, katanya, memiliki kapasitas 10-12 GT dengan ukuran panjang sekitar 20 meter. Kapal itu dapat menampung beban sekitar 10 ton.
Kapal-kapal itu, paparnya, sandar di tempat yang jauh dari aktivitas nelayan tradisional, namun masih di Perairan Bintan dan Perairan Tanjungpinang.
"Kapalnya cukup besar, dengan intensitas kerusakan ekosistem di laut cukup tinggi jika tidak segera dihentikan," katanya.
Ia mengatakan aktivitas kapal pukat harimau itu secara terselubung, bahkan pemilik kapal pukat harimau itu membuat seolah-olah kapal tersebut hanya memiliki jaring biasa dan bubuh.
Bagi nelayan tradisional, menurut dia, tidak sulit mengidentifikasi kapal pukat harimau. "Kalau kita lihat sekilas seperti kapal biasa, tampak jaring dan bubuh," ujarnya.
Buyung mengatakan permasalahan aktivitas pukat harimau tersebut sudah disampaikan kepada berbagai instansi yang berwenang.
"Kami berharap permasalahan ini segera dituntaskan untuk kepentingan nelayan tradisional Bintan dan Lingga," katanya.
Ketua KNTI Bintan Syukur Hariyanto alias Buyung Adly, di Bintan, Rabu, mengatakan aktivitas kapal pukat harimau itu meresahkan nelayan tradisional, apalagi jumlahnya tidak sedikit. Pukat harimau tidak hanya merusak terumbu karang melainkan juga mengancam kepunahan ekosistem ikan.
Akibatnya, kata dia, produktivitas nelayan tradisional di Perairan Pulau Numbing, Bintan, dan Pulau Gentar menurun.
"Ada sebanyak 20 kapal pukat harimau. Kami sudah mengidentifikasi berdasarkan laporan nelayan," katanya.
Rata-rata kapal tersebut, katanya, memiliki kapasitas 10-12 GT dengan ukuran panjang sekitar 20 meter. Kapal itu dapat menampung beban sekitar 10 ton.
Kapal-kapal itu, paparnya, sandar di tempat yang jauh dari aktivitas nelayan tradisional, namun masih di Perairan Bintan dan Perairan Tanjungpinang.
"Kapalnya cukup besar, dengan intensitas kerusakan ekosistem di laut cukup tinggi jika tidak segera dihentikan," katanya.
Ia mengatakan aktivitas kapal pukat harimau itu secara terselubung, bahkan pemilik kapal pukat harimau itu membuat seolah-olah kapal tersebut hanya memiliki jaring biasa dan bubuh.
Bagi nelayan tradisional, menurut dia, tidak sulit mengidentifikasi kapal pukat harimau. "Kalau kita lihat sekilas seperti kapal biasa, tampak jaring dan bubuh," ujarnya.
Buyung mengatakan permasalahan aktivitas pukat harimau tersebut sudah disampaikan kepada berbagai instansi yang berwenang.
"Kami berharap permasalahan ini segera dituntaskan untuk kepentingan nelayan tradisional Bintan dan Lingga," katanya.