Kejati Kepri edukasi masyarakat tentang bahaya KDRT

id kdrt, kejati kepri, jaksa menyapa, kepri, penghapusan kdrt

Kejati Kepri edukasi masyarakat tentang bahaya KDRT

Kepala Seksi C (Terorisme dan Lintas Negara) Bidang Tindak Pidana Umum Kejati Kepri Alinaex Hasibuan mengisi materi program Jaksa Menyapa melalui siaran radio yang disiarkan di Tanjungpinang, Rabu (17/9/2025). (ANTARA/HO-Penkum Kejati Kepri.)

Batam (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan sanksi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“KDRT tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga menyisakan trauma psikis yang berkepanjangan bagi para korbannya,” kata Kepala Seksi C (Terorisme dan Lintas Negara) Bidang Tindak Pidana Umum Kejati Kepri Alinaex Hasibuan dalam program Jaksa Menyapa melalui siaran radio yang disiarkan di Tanjungpinang, Rabu.

Menurut Ali, kejahatan dalam lingkup rumah tangga hingga kini masih menjadi persoalan serius di tengah masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, kekerasan dalam rumah tangga artikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikologis, hingga penelantaran rumah tangga.

Baca juga: Evaluasi tunjangan rumah DPRD Kepri perlu dikonsultasikan dengan Mendagri

Dia menjelaskan, pelaku dan korban bisa berasal dari lingkup keluarga, baik suami, istri, anak maupun pihak lain yang tinggal dalam rumah tangga.

Bentuk KDRT, lanjut dia, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang PKDRT meliput empat macam, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis atau emosional, kekerasan seksual serta penelantaran rumah tangga.

“Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, meski tidak menutup kemungkinan sebaliknya,” ujarnya.

Fenomena KDRT, kata Ali, kerap dipicu oleh berbagai faktor, antara lain ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, anggapan bahwa suami berhak menguasai istri, pemahaman keliru terhadap ajaran agama, hingga minimnya komunikasi dan rasa saling percaya dalam rumah tangga.

Bahkan, sambung dia, pernikahan yang tidak dilandasi rasa cinta juga dapat menjadi pemicu retaknya hubungan dan memunculkan tindakan kekerasan.

Dari sisi sanksi terhadap kejahatan KDRT, kata dia, ancaman pidana mulai dari 4 tahun hingga 15 tahun penjara, serta denda maksimal Rp45 juta, bergantung pada dampak perbuatan yang dilakukan pelaku terhadap korban sebagaimana diatur dalam Pasal 44 hingga 45 UU PKDRT.

Baca juga: Pemerintah pusat beri bantuan sembako kepada orang tua siswa SR di Natuna

Ali menyebut, penanggulangan KDRT memerlukan upaya berbagai pihak. Keluarga diharapkan menumbuhkan iman yang kuat, komunikasi yang baik serta saling menghargai antar anggota.

Selain itu, masyarakat juga wajib untuk berperan aktif. Sebagai mana diatur dalam Pasal 15 UU PKDRT, bahwa siapa pun yang mengetahui adanya KDRT wajib melakukan upaya pencegahan, memberikan perlindungan, pertolongan darurat, hingga membantu proses hukum korban.

“Dengan sinergi keluarga, masyarakat, dan aparat penegak hukum, diharapkan kasus KDRT dapat ditekan. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman, damai, dan penuh kasih sayang, bukan sebaliknya menjadi ruang yang melahirkan penderitaan,” tutup Ali.

Baca juga:
Natuna gratiskan pemeriksaan kesehatan calon PPPK paruh waktu

Pemkab Natuna siapkan pelaksanaan MPL Sekolah Rakyat

Pewarta :
Editor: Yuniati Jannatun Naim
COPYRIGHT © ANTARA 2025


Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE