Beijing (ANTARA) - Tak seorang pun menyangka kalau wabah corona jenis baru yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan pada awal 2020 menjelma menjadi pandemi global.
Kala itu, China menjadi negara yang paling dijauhi banyak orang. Jangankan mengunjunginya, warga negara China pun ditolak masuk ke berbagai negara karena khawatir membawa penyakit yang penularannya sangat cepat dan berisiko kematian bagi penderitanya.
Bahkan, siapa pun yang baru pulang dari China patut dicurigai membawa penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu. Tak terkecuali bagi warga negara Indonesia yang baru pulang dari China.
Masih ingatkah peristiwa tentang kepulangan 243 WNI dari Wuhan?
Mereka sampai-sampai harus diisolasi terlebih dulu di Pangkalan TNI Angkutan Udara di Natuna, itu pun juga tidak luput dari penolakan warga dengan aksi turun jalan.
Demikian pula yang dialami para pelajar di berbagai daerah di Tanah Air yang baru pulang dari daratan Tiongkok untuk mengisi libur semester musim dingin lalu.
Kini, sembilan bulan telah berlalu. Dan, keadaan sudah mulai banyak berubah.
China sudah bergeliat menuju pemulihan, meskipun belum sepenuhnya. Perkantoran dan sekolahan sudah mulai beroperasi.
Roda ekonomi masyarakat sudah mulai berputar. Toko, pasar, mal, jalan raya, stasiun kereta api, bandar udara, dan instansi pelayanan sebagai indikator perputaran ekonomi sudah berfungsi kembali.
China sudah mulai gemerlap lagi. Tidak gelap seperti dulu lagi yang pernah digambarkan sebagai "Raksasa Asia yang Sakit".
"Sekarang Beijing sudah aman. Berbeda dengan bulan Februari dulu yang sangat membahayakan," kata sopir taksi bermarga Wang dalam perjalanan sejauh 80 kilometer dari Bandara Internasional Daxing Beijing (BDIA) menuju Dongzhimen, Jumat (6/11).
Walau begitu bukan berarti penyakit sama sekali tidak ada.
Jumlah kasus positif yang mencapai angka 85.790, termasuk 265 pasien yang masih dirawat dan 4.634 orang meninggal dunia sebagaimana data Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) hingga 24 Oktober 2020 menunjukkan bahwa COVID-19 belum sepenuhnya berpaling dari negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Namun dibandingkan dengan beberapa negara lain, terutama Amerika Serikat dan Eropa, penanganan pandemi di China relatif lebih efektif.
Bahkan China sama sekali tidak khawatir kemunculan kembali COVID-19 pada musim dingin tahun ini seperti pertama kali muncul pada musim dingin tahun lalu.
Melihat keberhasilan China dalam menerapkan efektivitas tindakan pencegahan dan penanggulangan, setidaknya gelombang besar kedua COVID-19 tidak akan terjadi, demikian Prof Zhong Nanshan, pakar sistem pernapasan yang pernah tertular SARS pada 2013.
Suasana perempatan Jalan Dongzhimennei, Beijing, China, lengang pada 27 Januari 2020, bersamaan dengan lockdown di Wuhan saat awal-awal COVID-19 merebak. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)
Efek Indonesia
Munculnya kasus di China belakangan ini memang lebih banyak terjadi oleh para pendatang, baik orang asing maupun warga China sendiri yang kembali dari berbagai negara.
Pada Oktober saja China telah menerima 515 kasus impor. Itu berarti naik 45 persen dibandingkan September.
Dengan memperhatikan situasi tersebut, China mulai Rabu (4/11), melarang masuk warga dari berbagai negara, terutama Inggris, Belgia, Bangladesh, dan Filipina.
Meskipun sudah memegang visa dan izin tinggal sementara (resident permit) yang masih berlaku, warga dari berbagai negara tersebut untuk sementara waktu tidak diizinkan kembali ke wilayah China daratan, kecuali mereka yang masuk sebelum tanggal 4 November 2020 itu.
Beberapa WNI pemegang visa dan resident permit sempat panik dengan kebijakan tersebut, apalagi yang sudah telanjur membeli tiket yang harganya "nauzu billah" itu.
Sejak saat itu grup obrolan WeChat yang anggotanya adalah WNI dan orang-orang asing yang ada di Indonesia hendak kembali ke China gaduh. Siang-malam notifikasi grup tersebut tak pernah mati.
Sejauh ini memang Indonesia belum termasuk negara yang warganya terkena larangan tersebut.
Namun bukan berarti tidak terkena dampaknya. Beberapa orang yang hendak mengajukan permohonan visa baru untuk bertemu anggota keluarganya di China (family reunion) terpaksa harus gigit jari.
Padahal family reunion merupakan salah satu subjek dalam klausul Travel Corridor yang disepakati Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi bersama Menlu China Wang Yi di Hainan pada akhir Agustus lalu.
Selebihnya, persyaratan masuk China juga diperketat. Kalau sebelumnya siapa pun yang hendak bepergian ke China harus menunjukkan hasil negatif tes usap (swab test) dengan batas maksimal 72 jam sebelum naik pesawat, maka syaratnya ditambah lagi dengan tes antibodi lGM.
Kedutaan China tidak akan memberikan sertifikat kesehatan selama hasil negatif kedua tes tersebut tidak disertakan dalam tenggat 48 jam sebelum terbang. Jadi bukan lagi 72 jam!
Penggabungan dua tes tersebut sudah dicoba di beberapa negara lain, ternyata hasilnya efektif, demikian juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (6/11).
Namun masih ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi, siapa pun yang hendak terbang ke China tidak boleh transit di negara ketiga.
Oleh karenanya beberapa maskapai, seperti China Southern Airlines, membatalkan sejumlah jadwal penerbangan yang ada transitnya di negara ketiga.
Hampir semua pesawat dari Indonesia terbang langsung ke China tanpa melalui transit di negara ketiga.
Kebanyakan memang penerbangan carter. Kalau pun reguler, biasanya dari China kosong atau tidak membawa penumpang.
Beberapa penerbangan dari Indonesia tidak ada yang langsung menuju Beijing, melainkan ke beberapa kota, seperti Guangzhou, Shenzhen, Fuzhou, Hangzhou, Kunming, Nanning, dan Chengdu, dengan penumpang mayoritas pekerja asal China.
Sesampainya di kota-kota tersebut mereka diwajibkan karantina selama 14 hari terlebih dulu sebelum melanjutkan penerbangan ke kota tujuan.
Apabila tiga kali tes usap selama masa karantina hasilnya negatif, maka berhak mendapatkan sertifikat kesehatan dari pemerintah setempat. Sertifikat tersebut menjadi bekal pulang ke kampung halaman di China.
Apabila di antara penumpang tersebut, apakah warga negara China atau bukan, yang hasil tesnya positif, maka masuk kategori kasus impor.
Pada penerbangan Xiamen Airlines dari Jakarta menuju Fuzhou tanggal 22 Oktober terdapat satu kasus positif sebagaimana hasil tes usap di Bandar Udara Internasional Changle.
Lalu ada juga penerbangan 30 Oktober dari Manado didapati tiga kasus positif.
Sebenarnya bukan persoalan seberapa besar sumbangan kasus impor yang dibawa penerbangan dari Indonesia.
Namun yang menjadi kekhawatiran sebagian besar warga negara China yang hendak pulang kampung adalah potensi menerima perlakuan berbeda dari lingkungan sekitar.
Seorang anggota grup WeChat khusus penumpang Xiamen Airlines Jakarta-Fuzhou tanggal 22 Oktober memberikan saran kepada rekan-rekannya yang hendak pulang kampung setelah selesai menjalani karantina 14 hari di Ibu Kota Provinsi Fujian itu.
"Kalau mau pulang ke desa, sebisa mungkin rahasiakan. Jangan sampai temanmu tahu. Sebelumnya beberapa teman yang baru pulang dari Indonesia, di desanya ribut dan mendapatkan penolakan dari warga sehingga memaksa teman tersebut langsung kembali ke hotel untuk isolasi lagi," demikian perempuan itu, Selasa (4/11), mengisahkan pengalaman temannya.
Situasi ini sama persis dengan WNI yang baru pulang dari China dalam rentang Januari-Februari 2020. ***2***(T.M038)
Kala itu, China menjadi negara yang paling dijauhi banyak orang. Jangankan mengunjunginya, warga negara China pun ditolak masuk ke berbagai negara karena khawatir membawa penyakit yang penularannya sangat cepat dan berisiko kematian bagi penderitanya.
Bahkan, siapa pun yang baru pulang dari China patut dicurigai membawa penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu. Tak terkecuali bagi warga negara Indonesia yang baru pulang dari China.
Masih ingatkah peristiwa tentang kepulangan 243 WNI dari Wuhan?
Mereka sampai-sampai harus diisolasi terlebih dulu di Pangkalan TNI Angkutan Udara di Natuna, itu pun juga tidak luput dari penolakan warga dengan aksi turun jalan.
Demikian pula yang dialami para pelajar di berbagai daerah di Tanah Air yang baru pulang dari daratan Tiongkok untuk mengisi libur semester musim dingin lalu.
Kini, sembilan bulan telah berlalu. Dan, keadaan sudah mulai banyak berubah.
China sudah bergeliat menuju pemulihan, meskipun belum sepenuhnya. Perkantoran dan sekolahan sudah mulai beroperasi.
Roda ekonomi masyarakat sudah mulai berputar. Toko, pasar, mal, jalan raya, stasiun kereta api, bandar udara, dan instansi pelayanan sebagai indikator perputaran ekonomi sudah berfungsi kembali.
China sudah mulai gemerlap lagi. Tidak gelap seperti dulu lagi yang pernah digambarkan sebagai "Raksasa Asia yang Sakit".
"Sekarang Beijing sudah aman. Berbeda dengan bulan Februari dulu yang sangat membahayakan," kata sopir taksi bermarga Wang dalam perjalanan sejauh 80 kilometer dari Bandara Internasional Daxing Beijing (BDIA) menuju Dongzhimen, Jumat (6/11).
Walau begitu bukan berarti penyakit sama sekali tidak ada.
Jumlah kasus positif yang mencapai angka 85.790, termasuk 265 pasien yang masih dirawat dan 4.634 orang meninggal dunia sebagaimana data Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) hingga 24 Oktober 2020 menunjukkan bahwa COVID-19 belum sepenuhnya berpaling dari negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Namun dibandingkan dengan beberapa negara lain, terutama Amerika Serikat dan Eropa, penanganan pandemi di China relatif lebih efektif.
Bahkan China sama sekali tidak khawatir kemunculan kembali COVID-19 pada musim dingin tahun ini seperti pertama kali muncul pada musim dingin tahun lalu.
Melihat keberhasilan China dalam menerapkan efektivitas tindakan pencegahan dan penanggulangan, setidaknya gelombang besar kedua COVID-19 tidak akan terjadi, demikian Prof Zhong Nanshan, pakar sistem pernapasan yang pernah tertular SARS pada 2013.
Efek Indonesia
Munculnya kasus di China belakangan ini memang lebih banyak terjadi oleh para pendatang, baik orang asing maupun warga China sendiri yang kembali dari berbagai negara.
Pada Oktober saja China telah menerima 515 kasus impor. Itu berarti naik 45 persen dibandingkan September.
Dengan memperhatikan situasi tersebut, China mulai Rabu (4/11), melarang masuk warga dari berbagai negara, terutama Inggris, Belgia, Bangladesh, dan Filipina.
Meskipun sudah memegang visa dan izin tinggal sementara (resident permit) yang masih berlaku, warga dari berbagai negara tersebut untuk sementara waktu tidak diizinkan kembali ke wilayah China daratan, kecuali mereka yang masuk sebelum tanggal 4 November 2020 itu.
Beberapa WNI pemegang visa dan resident permit sempat panik dengan kebijakan tersebut, apalagi yang sudah telanjur membeli tiket yang harganya "nauzu billah" itu.
Sejak saat itu grup obrolan WeChat yang anggotanya adalah WNI dan orang-orang asing yang ada di Indonesia hendak kembali ke China gaduh. Siang-malam notifikasi grup tersebut tak pernah mati.
Sejauh ini memang Indonesia belum termasuk negara yang warganya terkena larangan tersebut.
Namun bukan berarti tidak terkena dampaknya. Beberapa orang yang hendak mengajukan permohonan visa baru untuk bertemu anggota keluarganya di China (family reunion) terpaksa harus gigit jari.
Padahal family reunion merupakan salah satu subjek dalam klausul Travel Corridor yang disepakati Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi bersama Menlu China Wang Yi di Hainan pada akhir Agustus lalu.
Selebihnya, persyaratan masuk China juga diperketat. Kalau sebelumnya siapa pun yang hendak bepergian ke China harus menunjukkan hasil negatif tes usap (swab test) dengan batas maksimal 72 jam sebelum naik pesawat, maka syaratnya ditambah lagi dengan tes antibodi lGM.
Kedutaan China tidak akan memberikan sertifikat kesehatan selama hasil negatif kedua tes tersebut tidak disertakan dalam tenggat 48 jam sebelum terbang. Jadi bukan lagi 72 jam!
Penggabungan dua tes tersebut sudah dicoba di beberapa negara lain, ternyata hasilnya efektif, demikian juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (6/11).
Namun masih ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi, siapa pun yang hendak terbang ke China tidak boleh transit di negara ketiga.
Oleh karenanya beberapa maskapai, seperti China Southern Airlines, membatalkan sejumlah jadwal penerbangan yang ada transitnya di negara ketiga.
Hampir semua pesawat dari Indonesia terbang langsung ke China tanpa melalui transit di negara ketiga.
Kebanyakan memang penerbangan carter. Kalau pun reguler, biasanya dari China kosong atau tidak membawa penumpang.
Beberapa penerbangan dari Indonesia tidak ada yang langsung menuju Beijing, melainkan ke beberapa kota, seperti Guangzhou, Shenzhen, Fuzhou, Hangzhou, Kunming, Nanning, dan Chengdu, dengan penumpang mayoritas pekerja asal China.
Sesampainya di kota-kota tersebut mereka diwajibkan karantina selama 14 hari terlebih dulu sebelum melanjutkan penerbangan ke kota tujuan.
Apabila tiga kali tes usap selama masa karantina hasilnya negatif, maka berhak mendapatkan sertifikat kesehatan dari pemerintah setempat. Sertifikat tersebut menjadi bekal pulang ke kampung halaman di China.
Apabila di antara penumpang tersebut, apakah warga negara China atau bukan, yang hasil tesnya positif, maka masuk kategori kasus impor.
Pada penerbangan Xiamen Airlines dari Jakarta menuju Fuzhou tanggal 22 Oktober terdapat satu kasus positif sebagaimana hasil tes usap di Bandar Udara Internasional Changle.
Lalu ada juga penerbangan 30 Oktober dari Manado didapati tiga kasus positif.
Sebenarnya bukan persoalan seberapa besar sumbangan kasus impor yang dibawa penerbangan dari Indonesia.
Namun yang menjadi kekhawatiran sebagian besar warga negara China yang hendak pulang kampung adalah potensi menerima perlakuan berbeda dari lingkungan sekitar.
Seorang anggota grup WeChat khusus penumpang Xiamen Airlines Jakarta-Fuzhou tanggal 22 Oktober memberikan saran kepada rekan-rekannya yang hendak pulang kampung setelah selesai menjalani karantina 14 hari di Ibu Kota Provinsi Fujian itu.
"Kalau mau pulang ke desa, sebisa mungkin rahasiakan. Jangan sampai temanmu tahu. Sebelumnya beberapa teman yang baru pulang dari Indonesia, di desanya ribut dan mendapatkan penolakan dari warga sehingga memaksa teman tersebut langsung kembali ke hotel untuk isolasi lagi," demikian perempuan itu, Selasa (4/11), mengisahkan pengalaman temannya.
Situasi ini sama persis dengan WNI yang baru pulang dari China dalam rentang Januari-Februari 2020. ***2***(T.M038)